
Di sebuah sudut warung kopi yang lampunya remang, suara Nasida Ria mengalun pelan. Lagu “Dunia dalam Berita” terdengar lebih seperti ramalan daripada hiburan. Dunia dalam berita, berita dalam dunia. Ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan. Ada yang membangun, ada yang bikin bingung. Lirik itu ditulis puluhan tahun lalu, tapi herannya, masih cocok jadi backsound berita hari ini. Gaza hancur, Ukraina membara, konflik di Iran, dan tambang nikel kita makin rakus.
Buat sebagian anak muda hari ini, qasidah mungkin terdengar seperti nostalgia emak-emak. Musik pengajian, musik tahlilan, atau musik tumpengan. Tapi tunggu dulu, kalau mau bicara soal kritik sosial, soal satire politik, soal dunia yang makin absurd, Nasida Ria lebih dulu turun ke gelanggang. Di saat banyak band sibuk bikin lagu cinta yang isinya cuma “aku dan kamu,” Nasida Ria sudah bicara soal bom nuklir, soal kapitalisme, soal keserakahan manusia.
Ironisnya, lagu itu masih relevan kita nyanyikan hari ini. Artinya apa? Dunia ini seperti kaset rusak. Diputar ulang, tapi yang keluar tetap bunyi serak yang sama.
Nasida Ria membawakan kritik sosial dengan pakaian seragam yang rapi, jilbab warna-warni, dan senyum penuh sopan santun. Tapi jangan salah. Di balik rebana dan senyum ramah itu, ada tamparan halus untuk dunia yang makin gila. Coba dengarkan lagu “Bom Nuklir,”:
Wahai pencipta bom nuklir terlaknat
Mengapa kau undang hari kiamat
Ciptakan saja obat yang berguna
Libatkan dagang hasil pertanian
Bayangkan, ibu-ibu rebana menyanyi soal senjata pemusnah massal sambil tersenyum. Ini satire level dewa. Lembut, sopan, tapi makjleb. Mereka bukan hanya bernyanyi.
Dan lihatlah hari ini, bom bukan hanya nuklir. Ada bom sosial bernama ketidakadilan. Ada bom politik bernama korupsi. Ada bom ekologis bernama deforestasi demi tambang nikel, emas, batu bara. Ibu-ibu Nasida Ria mungkin tak pernah membayangkan bahwa 40 tahun setelah lagu itu dibuat, Indonesia masih berkutat di soal yang sama. Bahkan lebih parah.
Masalahnya bukan lagi perang saja. Kini perang itu ada di mana-mana: di kebijakan, di meja-meja parlemen, di hutan-hutan yang digusur demi tambang. Kita maju dalam teknologi, tapi mundur dalam moral. HP kita canggih, tapi otak kebanyakan pejabat masih seperti mesin tik kuno.
Nasida Ria menulis lagu “Perdamaian” dengan nada sederhana. Tapi justru karena kesederhanaannya, kritiknya terasa menyakitkan. Perdamaian itu impian yang sederhana, tapi selalu gagal diwujudkan karena kerakusan manusia.
Dan lihatlah siapa yang rakus hari ini? Yang paling rakus bukan rakyat kecil. Yang paling rakus justru yang paling sering bicara tentang “kemajuan ekonomi,” “hilirisasi industri,” “green economy,” padahal yang hijau cuma rekeningnya, bukan hutannya.
Nasida Ria itu satir, tapi pakai rebana
Bayangkan, musik tradisional yang biasa dipakai di acara pengajian dipakai untuk menyindir dunia internasional. Ini bukan sekadar musik, ini perlawanan diam-diam.
Hari ini, dunia punya band-band indi yang katanya vokal soal isu sosial. Tapi kalau kita dengar Nasida Ria, mereka sudah melakukannya jauh sebelum internet jadi mainstream. Sementara itu, pejabat kita sibuk ribut soal siapa yang paling berjasa membangun jalan tol, siapa yang paling layak jadi calon presiden, siapa yang paling cepat menyelesaikan proyek tambang. Tidak ada yang bicara soal alam yang mati, tentang sungai yang berubah warna, tentang anak-anak yang batuk-batuk di tepi jalan tambang.
Nasida Ria tidak pernah jadi tajuk utama media besar. Tapi mereka tetap bernyanyi. Mereka tidak punya panggung sebesar festival musik, tapi suara mereka jauh lebih jernih dibanding kebisingan kampanye politik.
Qasidah ini bukan hanya lagu, tapi cermin. Dan ketika kita bercermin, yang terlihat bukan wajah kita yang ganteng atau cantik. Yang terlihat adalah dunia yang belum berubah, dunia yang semakin gila.
Kita sudah hidup di tahun 2025, tapi kenapa kita masih terjebak di lagu tahun 80-an? Jawabannya sederhana: karena yang berubah cuma gedung-gedungnya, bukan akalnya.
Satu hal yang membuat saya selalu geli sekaligus getir mendengar Nasida Ria adalah ini: dunia sudah berubah, tapi masalahnya tetap sama. Ini kayak ganti baju, tapi gak mandi. Indonesia hari ini bangga bilang: kita negara kaya sumber daya alam. Buktinya apa? Ya buktinya hutan kita habis, sungai kita cokelat, dan tambang kita makin galak.
Dan lucunya, para pelaku kerusakan itu selalu tampil paling wangi. Jas licin, dasi kencang, rambut klimis, bicara soal kemajuan bangsa, tentang hilirisasi, tentang green economy. Tapi jangan tanya soal sungai yang keruh, jangan tanya tentang anak-anak di Morowali yang batuk-batuk, jangan tanya soal petani kehilangan ladang. Karena jawabannya pasti: “Itu kan risiko pembangunan.”
Nasida Ria tidak pernah berubah gayanya. Mereka tetap tampil sederhana, tetap membawa lirik-lirik penuh pesan. Di zaman musik digital, mereka masih bisa bikin orang menunduk malu. Karena yang mereka nyanyikan bukan cinta-cintaan picisan, tapi nasihat paling tulus buat dunia yang makin bebal.
Dan ironinya: yang paling keras menolak nasihat itu justru mereka yang merasa paling “modern.” Yang paling serakah justru mereka yang merasa paling “paling nasionalis.” Yang paling rusak justru mereka yang paling rajin bicara tentang “Indonesia Emas 2045.”
Sial betul. Kita ini membangun negeri atau membangun kutukan?
(AN)