Dulu Menolak Politisasi Agama, Kini Jadi Politisi Labil

Dulu Menolak Politisasi Agama, Kini Jadi Politisi Labil

Dulu bisa dikatakan Amien menolak politisasi agama untuk kepentingan politik, namun sekarang sebaliknya.

Dulu Menolak Politisasi Agama, Kini Jadi Politisi Labil

Agama memang tidak secara sistematis mengajarkan praktek demokrasi, namun secara esensi telah memberi etos dan spirit yang mendorong terwujudnya kehidupan demokratis.

Menurut Gus Dur, dalam aspek pemikiran politik, umat Islam terbagi menjadi dua, yaitu subtantif inklusif dan legal eksklusif. Dalam paradigma pemikiran, legal eksklusif mempunyai ciri-ciri pemikiran sebagai berikut:

Pertama, Islam bukan hanya agama, tetapi sebuah sistem hukum yang lengkap menyangkut “tiga d” : din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia), sebuah sistem yang lengkap dan paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasaahan.

Kedua, mewajibkan para Muslimin mendirikan negara Islam, karena mencontoh Nabi Muhammad dan sahabat dalam mengatur tatanan kemasyarakatan. Hal ini dijadikan refrensi utama dan modal untuk mendirikan “negara Islam ideal”.

Ketiga, formalisasi syariat sebagai landasan agama dan negara yang mengatur seluruh tatanan masyarakat.

Keempat, aktualiasasi Islam dalam bidang politik (partai Islam) dan eksklusif terhadap perbedaan, serta Memiliki jargon amr ma`ruf nahyi munkar

Sedangkan, subtantif inklusif mempunyai empat ciri-ciri pemikiran: Pertama, nereka memahami bahwa Al Qur’an adalah kitab tentang tanda, bukan mengatur tentang detail. Serta tidak ada satu ayatpun yang menyerukan mendirikan Negara Islam.

Kedua, misi utama Nabi Muhammad bukan mendirikan Negara/kerajaan, melainkan menyempurnakan akhlak/nilai.

Ketiga, syariat yang dinamis tidak terikat atau dibatasi negara, demikian hal nya tidak berkaitan dengan sistem politik dan negara, karena Islam dipandang sebagai sebuah agama bukan sebagai sistem politik.

Keempat, aktualiasasi Islam adalah melalui bentuk kultural, bukan ideologi dan sistem politik, serta memiliki jargon “rahmatan lil ‘alamin

Dari kedua ciri di atas, kita bisa melihat bahwa pemikiran Amien Rais mendekati pemikiran legal eksklusif. Hal ini dapat dilihat dari ciri yang keempat yang tercermin melalui sikapnya, yakni aktualisasi Islam dalam bidang politik bukan budaya.

Jika kita melihat kembali pernyataan Amien Rais yang kontroversial berikut ini:

“Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan.”

Pernyataan tersebut sebenarnya bertentangan dengan tulisannya sendiri pada awal-awal reformasi Indonesia.

Amien Rais pernah mengatakan, “jika ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol keagamaan di gunakan untuk meningkatkan dukungan politik, agama akan menjadi sebuah isu yang memecah belah kaum muslimin, dan prinsip-prinsip serta keyakinan-keyakinan yang sensitif yang mungkin tidak dapat dinegosiasikan akan membebani politik pemilu.” (Amien Rais, “Islam and Politics in Contemporary Indonesia”)

Bisa kita lihat ada sebuah perbedaan antara dulu dan sekarang, dulu bisa dikatakan Amien menolak politisasi agama untuk kepentingan politik, namun sekarang sebaliknya. Apa ini memang sebuah mental politisi yang faham agama kemudian bisa mengatur agama untuk kepentingan politik? Atau ini merupakan Amien Rais yang sesungguhnya?

Wallahu A’lam.

Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya: Menguji Relevansi Partai Allah dan Partai Setan ala Amien Rais