
Agama harus logis, begitu klaim para pendakwah populer di YouTube. Dengan narasi ini, mereka kerap “menghajar” praktik Muslim tradisionalis, menuding ritual dan kepercayaan lama sebagai biang kemunduran. Seorang Muslim, kata mereka, wajib rasional. Tapi mengapa tuntutan ini justru menguat di era digital?
Jawabannya ada pada perubahan medium. YouTube tak sekadar platform, tapi ruang baru yang mengubah wajah transmisi agama. Kitab-kitab tebal berganti obrolan ringan, kajian mendalam tersingkir oleh konten 15 menit. Kita menjadi generasi yang mewarisi pengetahuan agama yang terfragmentasi, utuh dalam akses, tetapi dangkal dalam pemahaman.
Fenomena di atas buah dari kelahiran ruang baru berpadu dengan kondisi masyarakat modern. Youtube membuka ruang baru sekaligus mengubah wajah transmisi pengetahuan agama. Agama tidak lagi disusun lewat kajian dan ditransmisikan lewat buku-buku atau kitab-kitab, namun didistribusikan lewat obrolan hangat dan ringan sehingga masyarakat muslim tidak lagi
Perubahan adalah niscaya. Buku atau kitab sebenarnya tidak benar hilang dari plot keagamaan. Namun, kita adalah generasi transmisi terputus, menerima warisan yang tak lagi utuh. Agama telah berubah menjadi obrolan dan konsumsi narasi belaka. Sebenarnya ketakutan kita semua di mana agama tidak lagi dihadirkan lewat kajian mendalam dan kitab-kitab.
Tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Internasional. Buku telah lama menjadi bagian transmisi pengetahuan agama, dan hari ini mulai digantikan oleh konten-konten di media sosial. Di sini kita mendapati titik paradoks dari fenomena di atas. Di satu sisi, kekayaan intelektual muslim kita telah lama diakses lewat kajian-kajian lewat kitab-kitab yang ada
Menariknya, di sisi lain, susunan karya ulama tersebut mungkin “dianggap” belum bisa menjawab banyak tantangan hari ini. Jika buku dan kitab mulai digantikan Youtube dan media sosial lainnya, bagaimana nasib pengetahuan keagamaan kita? Yuk kita ulik bersama.
***
Dalam beragama, Jacques Derrida, filsuf, menganjurkan kita bersikap apofatik, yakni sikap mengakui keterbatasan pengetahuan, terutama pada Tuhan. Fayyadl, kyai, menjelaskan untuk itu kita seharusnya membebaskan iman dari pengandaian yang mengikat, membatasi, membelenggu. Untuk itu iman tak selalu berselaras dengan logika.
Struktur sosial masyarakat modern biasanya menuntut narasi logis dalam beragam hal, termasuk agama. Logika diajukan di masa kini karna masyarakat modern biasanya sangat terobsesi dengan ukuran dan ketepatannya. Jadi, semua hal ingin dapat diukur atau dinilai secara tepat. Agama pun terimbas. Narasi-narasi tahayul, mistis, bahkan spiritual pun seringkali dipinggirkan karna tak selaras dengan keinginan masyarakat modern.
Menariknya, di banyak karya-karya ulama, irisan antara logika dan iman tidak selalu berujung dipaksakan. Mereka mendiskusikan bagaimana ruang tersebut bisa dipahami atau dibahasakan yang bisa dimengerti masyarakat luas. Namun, di sisi lain, mereka menghadirkan ruang luas untuk narasi mistis nan ritmis, untuk masyarakat bisa menyadari bahwa eksistensi dimensi yang tidak akan pernah dipahami sepenuhnya dan bersifat sangat personal.
Buku atau kitab-kitab para ulama membantu masyarakat Muslim selama ini mungkin sudah mulai digantikan dengan media sosial. Menariknya, ruang mistis nan ritmis tersebut seakan diabaikan. Sayangnya, media sosial menghadirkan agama sebagai sesuatu yang terukur, matematis, dan logis.
***
Khaled Abou el-Fadl, akademisi, pernah menuliskan bagaimana Islam hidup dalam bingkai diskursus keilmuan. Menurut Abou el-Fadl, Islam hidup di mana kitab-kitab dari banyak ulama saling berdiskusi, berdebat, saling mengisi, hingga saling menjelaskan. Dengan kata lain, buku (baca: kitab) dihadirkan sebagai bagian dari diskursus keislaman di berbagai ruang hingga belahan dunia.
Hari ini, agama tidak saja hadir di ruang-ruang pengajian ulama. Ia muncul di tengah kompleksitas tranmisi pengetahuan agama. Pelbagai ruang hingga medium digunakan otoritas agama untuk menyebarkan ilmu agama. Bahkan, diksi otoritas agama pun disangsikan. Sebab, batas-batas
Ahmad Rafiq, akademisi, menyebutkan bahwa pembahasan agama hari ini di berbagai model, khususnya literatur sekitar anak muda, terdapat apropriasi. Diksi ini merujuk pada proses mengadopsi, mengambil, atau menggunakan elemen-elemen dari suatu budaya, komunitas, atau kelompok oleh pihak lain (biasanya dominan) tanpa pemahaman, penghargaan, atau izin yang memadai, seringkali disertai dengan dekontekstualisasi atau komersialisasi yang merugikan budaya aslinya.
Menurut Rafiq, literatur keagamaan yang beredar di sekitar anak muda hari ini lebih banyak “meminjam” budaya lain, seperti Manga, untuk menarik perhatian anak muda. Menariknya, aksi ini masih menyingkirkan ruang mistis, karena sebagian besar penggiatnya adalah mereka yang terafiliasi dengan kelompok non kompromi atas narasi spiritual.
Padahal, buku atau kitab keagamaan hari ini harusnya tetap membuka dimensi mistik, karena akan ada sisi agama yang akan sulit dijelaskan jika kita tidak menghadirkan narasi tersebut. Selain itu, buku atau kitab keagamaan tradisionalis memang masih mempertahankan relasi kuasa pengetahuannya lewat aksara dan otoritas. Apakah ini masih bisa bertahan di tengah serbuan demokratisasi pengetahuan?
Saya tidak sedang meromantisasi buku atau kitab sebagai medium paling fenomenal. Namun, kita sebagai muslim harus menyadari bahwa tercecernya buku dan kitab-kitab juga menyimpan sisi gelapnya. Kita akan kehilangan kedalaman, alur logika pengetahuan yang beragam, diskursus intens antar ulama, hingga kurasi otentisitas. Namun, di sisi lain, kita juga mendapatkan aksesibilitas tak terbatas, medium demokratis, hingga relasi kuasa tak ketat.
Buku dan kitab akan bersisian dengan media sosial, seperti Instagram, Tiktok, hingga Youtube. Kita akan menjadi saksi sekaligus aktor sejarah, apakah keindahan Islam di masa perlintasan dan tukar menukar ide lewat buku akan tergantikan dengan media sosial? Entahlah.
Kita juga harus ingat, filsuf dulu juga pernah meragukan kehadiran buku karna hanya akan melemahkan daya ingat dan pikir kita, jadi di titik mana kita bermula hari ini? Begitu.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin