Duduk Perkara ‘Pariwisata Halal’ di Danau Toba

Duduk Perkara ‘Pariwisata Halal’ di Danau Toba

Bagaimana sih mendudukan pariwisata halal di Danau Toba?

Duduk Perkara ‘Pariwisata Halal’ di Danau Toba

Masyarakat di sekitar Danau Toba dan perantauan bereaksi keras terhadap wacana “Pariwisata Halal” yang dikemukakan pemerintah daerah dan pusat. Reaksi keras ini bisa dimaklumi karena wacana kepariwisataan ini muncul pada saat negeri kita sedang mengalami penguatan identitas suku dan—terutama—agama, yang terjadi sejak era otonomi daerah dan pemilihan langsung, serta mengental setelah Pilgub DKI 2017 yang melahirkan Gerakan 212.

Lantas, wacana “Pariwisata Halal” ini juga dikait-kaitkan dengan penerapan Perda-perda Syariah di berbagai daerah, pelarangan pembangunan gereja, hingga persekusi-persekusi yang kerap dilakukan ormas keagamaan tertentu. Apalagi dalam konteks Sumatera Utara, provinsi ini baru saja melewati ajang pemilihan gubernur/wakil, yang dinilai banyak pihak sarat dengan politisasi agama, sebagaimana terjadi di Jakarta.

Penolakan serupa sudah terjadi lebih dulu di Bali dan NTT, dengan alasan kurang-lebih sama. Sebagaimana kita tahu, mayoritas penduduk di Bali adalah Hindu, Katolik/Protestan di NTT, sementara di sekitar Danau Toba adalah mayoritas Batak (terutama Karo, Simalungun, dan Toba), yang beragama Kristen.

Namun demikian, persoalan ini harus didudukkan pada tempat yang semestinya. Pariwisata Halal merupakan program Kementerian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif, yang tentu juga didukung Presiden Jokowi—pemenang mutlak di sekitar Danau Toba. Intinya, pariwisata ramah Muslim (Muslim friendly) untuk meningkatkan kunjungan wisata penduduk Muslim dunia ke berbagai obyek wisata di Indonesia.

Data menunjukkan, jumlah total perjalanan wisatawan Muslim di seluruh dunia mencapai 117 juta (2015), yang diperkirakan meningkat sampai 167 juta (2020) dan 200 juta (2026), dengan pengeluaran total lebih dari US$ 200 miliar (Rp2,800 triliun lebih) dalam setahun (Tempo, 2 Juni 2019). Bandingkan dengan APBN kita yang “hanya” sekitar Rp2,000 triliun/tahun. Potensi pasar inilah yang kini sedang diperebutkan negara-negara berpenduduk Muslim terbesar seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Turki, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan lainnya.

Dengan demikian, “Pariwisata Halal” adalah label atau “brand” yang diciptakan Pemerintah Indonesia untuk memoles obyek wisata bersaing dengan negara-negara lain tersebut; bagaimana supaya para pelancong Muslim datang berbondong-bondong ke negeri kita. Dengan begitu diharapkan, pendapatan APBN kita dapat meningkat secara signifikan untuk membantu program pembangunan infrastruktur dan SDM yang sedang dan akan digalakkan pemerintah.

Di sinilah dilemanya: antara tujuan ideal yang dipikirkan pemerintah, berbanding terbalik dengan situasi sosial-politik Tanah Air. Pemerintah berpikir secara bisnis, tapi masyarakat luas tak bisa memisahkannya dari aspek-aspek politik. Banyak pihak pasti, atau kemungkinan besar, sulit memisahkan antara “Pariwisata Halal” atau “Pariwisata Ramah Muslim” dengan “Pariwisata Bersyariah”.

Wajar kalau orang-orang di Danau Toba kuatir, apakah nanti dengan “Pariwisata Halal” akan membuat semakin sulit membangun rumah ibadah, dilarang makan daging babi, akan ada polisi wisata Syariah, pemisahan lokasi wisata laki-laki dan perempuan, razia atau sweeping di kamar-kamar hotel oleh Ormas yang dikenal garang, dan seribu satu tanya lain yang bernada cemas. Bukankah hal semacam ini semakin lazim terjadi di negeri kita dan pemerintah selalu terlihat gamang menyikapinya? Bukankah “Pariwisata Halal” dengan sendirinya akan melahirkan stigma “Pariwisata Haram”, yang berpotensi menjadi benturan sosial?

Oleh karena itu, Pemerintah Jokowi lebih baik mengambil jalan tengah. Untuk mendongkrak kunjungan wisata Muslim ini, ada baiknya “Pariwisata Halal”—kalaupun istilahnya harus disebut demikian—dikembangkan di daerah-daerah wisata yang secara sosial mendukung seperti Aceh, Sumatera Barat, NTB, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan lainnya. Hal ini pun tentu sangat perlu dilakukan dengan hati-hati, agar wacana ini tidak semakin memperkeruh masalah pengentalan segregasi sosial yang terjadi pada masyarakat kita belakangan ini.

Di daerah-daerah yang secara sosial tidak memungkinkan, seperti Danau Toba, pemerintah sebaiknya mengembangkan pariwisata dengan nilai-nilai universal, pariwisata yang ramah terhadap semua latar belakang sosial-agama, tanpa label (brand) yang asing di telinga penduduk lokal. Adapun penyediaan fasilitas khusus dan hal-hal lain yang mendukung bagi kaum Muslim, kenyataannya bukanlah sesuatu yang sulit ditemukan di sekitar Danau Toba kini, hanya perlu diperbaiki dan ditingkatkan.

Begitu juga penduduk di Danau Toba, tak perlu bereaksi secara berlebihan terhadap wacana ini dengan rencana-rencana yang justru kontra-produktif: festival makan babi, melepas babi berkeliaran di jalan-jalan di Danau Toba, atau kegiatan-kegiatan yang terdengar lucu tapi tak kalah konyol.

Karena bagi insan pariwisata, ada satu hukum universal yang tidak bisa dilanggar: jadilah “tuan/puan rumah” yang ramah bagi pengunjung. Pariwisata memang identik dengan kebersihan, keramah-tamahan, kejujuran, dan pelayanan. Lebih baik kita, apalagi pemerintah daerah, memikirkan hal-hal itu serta menciptakan iklim yang mendukung bagi datangnya para wisatawan berbondong-bondong dan ingin tinggal berlama-lama di sini.