Seorang laki-laki paruh baya terlihat membuka gadgetnya. Sesekali ia membuka aplikasi “mesin pencari” dan mengetikkan beberapa kata kunci. Saya mengintip sedikit, terlihat bapak itu mengetik “cara menqadha shalat”. Entah hasil “mesin pencari” itu sesuai dengan harapannya atau tidak, namun bapak itu masih terlihat menikmati video Youtube kajian salah satu ustadz tentang kata kunci yang ia ketikkan tadi.
Nun jauh di sana, Lembaga Fatwa Dubai (Dubai Ifta Departement) malah sudah meresmikan salah satu produk teknologi terbaru khusus untuk menjawab permasalahan keislaman, fatwa dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keislaman melalui “Ifta Virtual” pada Selasa lalu (29/10).
“Virtual Ifta” ini dibuat khusus untuk menjawab permasalahan-permasalahan tentang keislaman dengan “kecerdasan buatan” (artificial intellegence) yang bisa diakses melalui gadget yang tersambung dengan jaringan internet.
“Saat ini “Virtual Ifta” hanya bisa menjawab sekitar 205 persoalan terkait shalat,” ujar Tariq Al Emadi, Head of Fatwa Section, Islamic Affairs and Charitable Activities Department (IACAD) sebagaimana dilansir Gulf News.
Untuk saat ini, menurut Tariq, “Virtual Ifta” baru bisa diakses melalui situs web www.iacad.gov.ae karena masih dalam taraf pengembangan. Namun selanjutnya “Virtual Ifta” ini akan bisa diakses langsung melalui Whatsapp dan menjangkau tema-tema yang lain.
Terkait perkembangan teknologi yang berkaitan dengan fatwa ini, Khoirul Huda, salah satu peneliti media keislaman di el-Bukhari Institute mengungkapkan bahwa bisa jadi ke depan produk ijtihad kemungkinan akan bergeser, dibuktikan saat ini layanan fatwa telah melibatkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intellegence) juga telah dirancang.
“Jika seluruh fatwa selama seribu tahun didatabasekan. Artinya seluruh persoalan keagamaan umat Islam yang pernah terjadi selama seribu tahun belakangan dapat diakses dengan cepat, lengkap dengan sumber dan mekanisme penalarannya,” tutur Khoirul Huda.
Khoirul Huda juga mencatat tiga hal terkait munculnya Artificial Intellegence sebagai salah satu media fatwa dan sumber keislaman. Pertama, menurut Huda, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli hukum Islam, seperti para mufti yang bekerja di dewan fatwa negara-negara Islam, praktisi ekonomi syariah, industri halal, islamic tourism, dan lain-lain.
Kedua, bagi Huda, fatwa yang menggunakan media kecerdasan buatan bisa jadi menghasilkan fatwa yang kurang humanis. Hal ini karena fatwa sangat terkait dengan dinamika di masyarakat, bahkan sangat terkait dengan perkembangan psikologi sosial umat. Bisa jadi fatwa kecerdasan buatan hanya menampilkan pendapat yang rajih (kuat) tanpa mengetahui kebutuhan manusia.
“Hari ini saja, ketika sebagian aliran mengembangkan paham yang didasarkan pada pandangan “rajih” sudah menjadi masalah, contohnya kasus bunga bank. Dilematis. Ada proses dehumanisasi fatwa,” ujar Huda yang kini sedang mengembangkan kajian Islam via Instagram, Harakah Islamiyah.
Ketiga, kecerdasan buatan (AI) akan menggeser otoritas keagamaan. Para pendakwah dan mufti juga bisa jadi tidak akan menjadi rujukan jika ada masalah-masalah keagamaan.
“(Saat ini, adanya) Google dan new media saja sudah mengambil peran para mufti sedemikian rupa,” tandas Huda.