Dalam satu tahap pendidikannya, seorang calon pastor akan ditugaskan live in sebagai pekerja di suatu pabrik. Kami diutus untuk live in bekerja sebagai buruh pabrik kardus di Tangerang selama dua bulan. Teman-teman saya sebagian besar muslim dan tentu saja, saya minoritas. Tak jarang, beberapa teman muslim bertanya tentang Katolik dan beberapa pertanyaan lainnya. Salah satunya bernama Aji, kami seumuran.
Kami berteman cukup dekat selama bekerja di pabrik tersebut. Ia bekerja sebagai buruh harian lepas untuk membiayai kuliahnya. Saya tentu saja senang ketika ia banyak bertanya tentang agama, sama seperti saya bertanya tentang islam kepadanya. Ini bukan karena ingin membuatnya masuk Katolik. Saya senang karena ada orang muda yang berani keluar dari zona nyaman untuk mengenal liyan.
Hingga, pada suatu hari Minggu, kami jalan-jalan keliling Jakarta. Saya berencana mengajaknya pergi ke Gereja Katedral dan memperkenalkan kepadanya tentang Katolik dan apa yang ada di dalamnya. Sambil berkeliling, ia dengan antusias bertanya segala hal mengenai gereja. Kebetulan pula ketika sampai di sana, sedang berlangsung misa. Misa adalah perayaan ibadah umat Katolik yang wajib dilakukan setiap hari Minggu dan hari besar lainnya. Saya mengajaknya mengikuti misa tersebut dan ia mengiyakan.
Setelah misa usai, saya bertanya, bagaimana perasaannya selepas ikut ‘ibadah’?
“Bro, tadi aku takut loh ketahuan kalo bukan orang Katolik tapi ikutan misa. Ntar aku diusir dari gereja, gimana coba?“ Tukasnya.
Ia tampak tampak ragu-ragu, apalagi ketika harus bersalaman dengan umat di sekitarnya. Namun hingga akhir misa ketakutannya tak terbukti.
“Lagu-lagunya tadi bagus dan syahdu banget ya… aku ngrasa damai, kayak waktu denger suara adzan,” selorohnya.
Sontak, saya kaget. Raut mukanya berubah, agak berseri-seri. Ada damai yang saya rasakan ketika melihat itu. Bagi saya, Itu membuka pemahamannya yang sempit selama ini. Mungkin, bisa jadi ia mengira kedamaian hanya ada dalam Islam. Ternyata tidak. Dalam agama lain pun ada kedamaian dan kawan saya ini barusan mengalaminya. Saya sungguh gembira mendengarkan cerita tersebut.
Tak terasa waktu maghrib tiba. Saya menawarinya untuk sholat Maghrib dulu di Masjid Istiqlal yang terletak tepat di seberang Gereja Katedral. Yang tak saya duga, dia menawarkan pada saya untuk ikut sholat Maghrib berjamaah. Spontan saya menolak. Jujur, saya merasa takut.
“Sholat itu kan ada tata aturannya. Saya sama sekali tidak pernah tahu itu. Bagaimana nanti kalau umat di sekitar saya melihat gerak-gerik saya yang aneh, beda dari yang lain? Bagaimana kalau saya ketahuan sebagai bukan umat Muslim? Jangan-jangan saya dipukuli, diusir dari masjid, dan sebagainya,” pikir saya.
Namun saya ingat, Aji, teman saya ini sudah lebih dahulu melakukan yang sama. Ia dengan berani melawan segala ketakutan dan kekhawatirannya sendiri ketika mengiyakan ajakan saya untuk ikut misa. Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk menerima tawarannya. Namun rasa khawatir itu masih tetap membayangi.
Awalnya saya merasa kikuk. Saya mencoba mengikuti gerakan sholat orang di depan saya sambil terus melawan ketakutan saya. Namun aneh, perlahan-lahan saya menikmati gerakan sholat tersebut. Puncaknya saya merasakan kedamaian ketika mendengarkan suara merdu sang imam dalam bahasa Arab. Apakah ini disebut zikir? Saya juga tidak tahu.
Pada titik itu, saya merasa terarah pada Tuhan. Saya pun mengucap syukur kepada-Nya karena memberi saya pengalaman menemukan Tuhan dalam sholat ini. Ini menjadi salah satu pengalaman rohani yang tak terlupakan dalam hidup saya.
Saya menceritakan pengalaman ini pada Aji. Ah, ternyata kami mengalami hal yang sama: rasa takut yang awalnya ada dalam benak kami tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi perasaan damai. Ternyata, rasa takut ini laten, dialami oleh kebanyakan orang ketika berjumpa dengan orang yang berbeda, bahkan agama yang di luar agama yang kita anut.
Hanya lewat keberanian untuk berjumpa, bersentuhan, dan mengalami sendiri dengan agama lain, rasa takut tersebut dapat terlampaui. Ketika rasa takut terlampaui, orang dapat menemukan kedamaian dalam agama lain. Dan, hilanglah prasangka maupun ketakutan lainnya lazimnya tatkala menghadapi hal berbeda.
Bercermin dari pengalaman itu, menurut saya, amatlah penting punya pengalaman bersentuhan langsung sedekat mungkin dengan agama lain. Tuhan ada di Istiqlal dan juga di Katedral. Kami pun kian mencintai agama kami masing-masing. Sekarang semua kembali pada kita, maukah terbuka pada kenyataan itu? Saya dan sahabat muslim saya Aji telah membuktikannya.