Kasus mutilasi yang dialami RHW, manajer HRD PT. Jaya Kobayashi di apartemen Kalibata City, baru-baru ini cukup menyita perhatian publik. Satu hal yang unik dari kasus ini, yaitu pelaku dan korban, keduanya sama-sama orang berpendidikan dan dikenal sebagai orang cerdas.
Pelaku, LAS, berdasarkan pengakuan teman-teman dan keluarganya, dulunya adalah pelajar berprestasi dan dikenal sebagai pribadi yang baik. Dikenal sebagai aktivis kampus, perempuan yang dulunya berhijab ini selalu rangking di sekolah dan rutin mendapat beasiswa. Kuliahnya pun di kampus bergengsi dengan beasiswa bidik misi.
Tak jauh berbeda dengan pribadi korban. Pria yang dikenal supel dan penyayang pada keluarga ini adalah lulusan sastra Jepang UGM. RHW kemudian mendapat beasiswa S2 di Tokyo University yang membawa karirnya menjadi seorang manajer Human Resource Development (HRD) di PT Jaya Kobayashi.
Masih muda dan memiliki kehidupan yang mapan, siapa sangka pria ini akan menutup usianya dengan cara yang amat mengenaskan. Dibunuh dan dimutilasi menjadi 11 bagian. Tak lain oleh LAS, si gadis berprestasi yang menjadi teman kencannya sendiri. Bersama pacarnya yang konon berstatus suami orang, perempuan itu tega membunuh korban dan memotong-motong tubuhnya dengan golok dan gergaji.
Jelas korban adalah pihak yang terzalimi dalam kasus ini. Namun sayang, di antara berita bernada simpati, terungkap pula fakta hubungan gelap antara korban dan pelaku. Mereka adalah teman kencan yang bertemu melalui aplikasi Tinder. Bahkan keduanya tengah melakukan hubungan intim saat peristiwa nahas itu terjadi.
Ada bagian menarik yang patut direnungi dari kasus ini. Bagaimana sosok yang begitu cerdas dan berprestasi bisa menjadi gelap mata hingga mengalami nasib sedemikian tragisnya?
Pelaku, yang di tahun 2019 juga pernah viral sebagai sosok pelakor, sudah pasti kehilangan semua reputasi dan masa depannya. Dia terancam hukuman mati, atau setidaknya penjara seumur hidup. Padahal kalau mau, dengan prestasi dan otak secerdas itu, LAS bisa saja mendapat pekerjaan yang lebih menjanjikan. Toh, dulu dia juga pernah menjadi dosen, dan katanya pernah juga bekerja di sebuah perusahaan farmasi.
Begitu pula korban, sosok yang tak kalah cemerlang. Banyak yang menyayangkan bisa-bisanya orang sekeren itu kecantol ‘cewek psikopat’ melalui aplikasi Tinder, bahkan sampai berkencan dan berhubungan badan.
Baca juga: Ini Istri Rasul yang Paling Cerdas
Kemana perginya semua kecerdasan itu?
“Cerdas”, dalam KBBI berarti sempurna perkembangan akal budinya. Kata “cerdas” seringkali kita sematkan pada seseorang yang ber-IQ tinggi dan biasanya berprestasi secara akademis. Kata padanannya adalah pintar, pandai, smart.
Umumnya kita menganggap bahwa orang cerdas seharusnya punya kesempatan lebih besar untuk bisa sukses dibanding orang-orang yang tidak atau kurang cerdas. Namun faktanya kecerdasan otak saja tidak cukup menjamin orang untuk hidup sukses. Banyak orang cerdas namun gagal dalam hidupnya. Banyak juga yang “sempat sukses” namun pada akhirnya jatuh karena salah membuat pilihan.
Carl Gugasian, seorang perampok bank paling produktif dalam sejarah Amerika, adalah seseorang yang berpendidikan tinggi. Meraih gelar PhD di bidang statistik, nyatanya dia lebih senang menjalani kehidupan tak normal sebagai seorang penjahat kelas kakap.
Ah, tak perlu jauh-jauh, bukankah di negeri kita pun banyak contoh orang pintar dan berpendidikan namun ternyata berotak koruptor?
Para koruptor itu bukannya tidak mengerti pepatah “sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya pasti tercium juga”. Mereka bukannya tak tahu akibat apa yang bakal diterima seandainya kejahatan mereka terendus KPK. Orang pintar, gitu loh.
Pertanyaannya, kenapa masih juga mereka melakukan korupsi? Padahal karir, jabatan, dan reputasi, sudah pasti dipertaruhkan. Sekali lagi, kemana pergi semua kepintaran dan kecerdasan itu?
Agaknya di sini kita perlu sejenak merenung. Apa sih, sebenarnya yang dimaksud dengan cerdas itu?
Dalam sebuah hadis Nabi pernah bersabda,
عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ: الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا، وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ
“Tahukah kalian, siapakah orang yang cerdas itu? Orang yang cerdas adalah orang yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang dungu adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan dia hanya berangan-angan kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi).
Dalam definisi hadis ini, kecerdasan ternyata tidak diukur dengan otak yang moncer, atau prestasi akademik yang tinggi. Ada dua hal yang menjadi ukuran; kemampuan menginstrospeksi diri, dan kesungguhan dalam mempersiapkan kehidupan akhirat.
Seperti inilah hakikat kecerdasan menurut Islam. Orang baru dikatakan cerdas ketika dia mampu menginstrospeksi diri dengan menimbang setiap langkah yang diambil; baik buruknya, halal haramnya, maslahat dan madharatnya. Syarat kedua, orang disebut cerdas ketika dia memiliki visi jauh ke depan dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan.
Tak perlu IQ tinggi untuk bisa mewujudkan kecerdasan versi Rasulullah ini. Cukuplah iman, keindahan ahlak dan akal sehat yang jadi persyaratan. Ketika orang memiliki iman, tidak akan dia berpikir pragmatis dengan menghalalkan segala cara. Dengan akal sehatnya dia akan berusaha survive, tidak hanya di dunia, tapi juga di kehidupan kedua.
Sedangkan kebalikannya adalah orang dungu, karena orang dungu akan memperturutkan kehendak nafsunya, tanpa peduli halal haramnya. Urusan akhirat? Ah, itu belakangan. Asal hati senang, apa pun dilakukan.
Sampai di sini, termasuk yang manakah kita? Cerdas ataukah dungu?
Mari kita renungi! (AN)
Wallahu a’lam.