Sejak masa Nabi sudah ada sejumlah orang yang ekstrim dalam beragama, bahkan diantaranya Abdullah bin Dzul-Khuwaishirah yang berani menuduh Nabi tidak adil dan meminta beliau agar bersikap adil sehingga karena sikapnya yang tidak sopan terhadap beliau maka Umar bin al-Khaththab meminta izin kepada Nabi untuk memenggalnya, namun ia tidak diizinkan.
Mereka adalah orang giat dalam beragama dan rajin beribadah, tetapi tidak didasari ilmu yang memadai alias orang-orang bodoh. Mereka ini sangat mudah tersinggung, marah dan gampang menuduh orang lain sesat, munafik, murtad atau bahkan kafir. Mereka gemar menyakiti hati manusia lain termasuk sesama muslim, apalagi terhadap non muslim.
Sesungguhnya ucapan dan perilaku mereka ini sudah jauh menyimpang dari ajaran agama yang dianutnya, namun karena kurang berilmu (baca: goblok) mereka tidak pernah menyadari kekeliruannya dan merasa selalu sejalan dengan ajaran agama dan merasa telah membela agama.
Orang-orang yang terlalu bersemangat dalam beragama namun tidak memahami maksud utama agama ini selalu ada saja sepanjang masa hingga hari kiamat tiba. Mereka membaca al-Qur’an juga namun tidak memahami maksud sebenarnya. Bacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an mereka seringkali menjadi dalih pembenar untuk menyerang orang lain terutama orang-orang yang mereka benci di luar komunitasnya. Mereka menafsirkan al-Qur’an mengikuti hawa nafsunya dan seringkali menempatkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi tidak pada tempatnya.
Di belahan dunia mana pun selalu saja ada yang melampaui batas (ektrim dan berlebihan) dalam beragama dari penganut agama apa saja. Di kalangan umat Islam ada yang mudah menstigma negatif orang berbeda penafsiran dan berbeda ekspresi keagamaannya dengan sebutan kafir misalnya.
Fitnah takfir (pengkafiran) menjadi fondasi utama terorisme atas nama agama. Takfir sebenarnya hanyalah alasan untuk menumpahkan darah, merampas harta benda dan melanggar kehormatan orang lain. Mereka juga menganggap bahwa bentuk-bentuk negara yang ada saat ini seperti republik, kesultanan, kerajaan (monarchi) dan sebagainya adalah dar harb (negara yang harus diperangi) atau dar kufr (negara kafir).
Fondasi lain dari terorisme adalah memusuhi dan berupaya merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan yang sah karena mereka anggap tidak sah. Tidak sah karena berhukum kepada selain hukum Allah atau pemerintahan thaghut. Perlawanan hingga pembunuhan terhadap aparat pemerintahan yang mereka kafirkan itu mereka anggap sebagai jihad atau minimal nahiy munkar (mencegah kemungkaran).
Untuk membenarkan tindakan berdasar asumsi yang sebenarnya keliru itu maka mereka mengutip dalil hadits dari Sa’id al-Khudri dari Nabi shalla Allahu ‘alaihi wa sallama,
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جاءر ( أخرجه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن )
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata yang benar kepada penguasa yang dzalim.” (HR. Abu Daud dan al-Turmudzi)
Tetapi mereka meninggalkan hadits lainnya, yakni sabda Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama,
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده ويخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
( رواه أحمد وابن أبي عاصم بإسناد صحيح )
“Barangsiapa ingin menasehati orang yang berkuasa maka jangan menyampaikannya secara terbuka (di hadapan umum), tetapi ajaklah dan bersepilah bersamanya. Jika nasehatnya diterima maka itulah, tetapi jika tidak diterima maka sungguh ia telah menyampaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan isnad yang shahih)
Al-Syaukani mengomentari hadits di atas sebagai berikut,
ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المساءل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله ( السيل الجرار المتدفق على حداءق الأزهر ج ٤ ص ٥٥٦ )
“Sepatutnya bagi orang yang melihat jelas kekeliruan pemimpin pada sebagian masalah agar menasehatinya dan jangan mempermalukannya di hadapan orang banyak, tetapi sebagaimana disebutkan dalam hadits
bahwa ia perlu menggandeng tangannya, mengajaknya ke tempat sunyi dan menyampaikan nasehatnya serta tidak meremehkan penguasa dari Allah.”
al-Masjid an-Nabawi Madinah
2 Muharram 1439 H.