Salah satu kemudahan di kota pelajar adalah menikmati iklim akademik dari lintas batas kelompok dan lembaga. Tak jarang, kota besar yang semakin modern membuka ruang-ruang pertemuan yang tidak diduga. Seperti halnya saya sendiri, seorang Muslim sekaligus pengajar di kampus Islam yang mendapat beberapa kali kesempatan untuk mengisi kelas di kampus Kristen sebagai dosen tamu. Sengaja saya sebut Kristen di sini dengan maksud Kekristenan (Christianity), di mana Katolik dan Kristen Protestan ada di dalamnya.
Sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, mengajar di kelas kampus Kristen tidak pernah menjadi beban atau halangan. Setidaknya dari sisi rasa keterancaman bahwa nanti iman akan tercederai. Sebaliknya, saya merasa ini adalah tugas yang harus ditunaikan sebagai warga sipil maupun sebagai Muslim. Untuk membangun jembatan antar warga supaya tidak terjebak dalam tempurung sendiri.
Toh tradisi pesantren – dari dulu – selalu mengajarkan sebuah mantra sakti: khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberi manfaat kepada manusia lain. Kata kunci utama di sini adalah kebermanfaatan bagi manusia dan kemanusiaan. Bukan anfa’uhum lil muslimin atau lil muslimat saja.
Kesempatan mengajar di kampus Kristen ini terjadi berkat sahabat-sahabat saya semasa kuliah Magister. Maklum, saya mengambil program studi Agama dan Lintas Budaya, yang memungkinkan saya untuk berjejaring dan mendapat pengalaman dari teman kuliah lintas agama. Beberapa di antaranya adalah pendeta dan pastor yang mengabdi pada lembaganya masing-masing.
Ada kalanya saya diundang mengisi kelas Sejarah atau Teologi (terima kasih khususnya kepada Romo Heri Setyawan SJ, yang sering mengundang saya di kelas Universitas Sanata Dharma). Terkadang di kelas Kewarganegaraan. Seperti tidak berurutan, tapi semangatnya satu: untuk berbagi paradigma yang unik bagi para mahasiswa di kampus Kristen tersebut dari sudut pandang seorang Muslim Indonesia. Beberapa kali dari kampus Kristen menginisiasi kunjungan balasan ke kampus Islam tempat saya mengabdi yang memang bernaung di bawah yayasan pesantren.
Diam-diam, saya mengagumi inisiatif-inisiatif mereka yang begitu membuka diri untuk berdialog dengan Muslim, terutama lingkungan pesantren. Satu hal yang justru belum banyak saya temui dari pihak Muslim sendiri sebagai populasi mayoritas di negeri ini.
Apakah Saya Kafir dan Layak Dibunuh?
Mengajar di kelas yang berisi mahasiswa mayoritas Kristen punya ceritanya sendiri. Tidak jarang ada pertanyaan-pertanyaan ajaib yang challenging, menantang saya sebagai pribadi Muslim, maupun sebagai seorang yang menjerumuskan diri di wilayah akademik.
Pertanyaan yang bisa diperkirakan akan muncul di kelas kampus Kristen adalah seputar terminologi Kafir. Pertanyaan ini akan sangat lain ketika diajukan oleh orang Kristen langsung. Karena kebanyakan disertai perasaan insecure, disampaikan dengan tidak nyaman. Pertanyaan ini tidak sekali-dua kali saya temui. Tapi berkali-kali.
“Saya bukan seorang Muslim, apakah dengan demikian saya termasuk golongan Kafir yang boleh dibunuh?” Tanya seorang mahasiswa dengan polos. Tapi di balik itu terbayang nuansa keterancaman di sana. Seolah meminta jawaban, apakah keselamatan dan kehormatannya akan terjamin di negara mayoritas Muslim ini?
Terminologi Kafir ini menjadi semacam horor tersendiri bagi kelompok minoritas di Indonesia. Dan bukan tanpa alasan jika mereka penasaran bahkan khawatir terstigmatisasi oleh istilah tersebut. Bisa kita rasakan bersama di masa belakangan, bahwa penggunaan term kafir ini digunakan secara serampangan untuk tujuan mendiskreditkan, dan diselingi nada ancaman (bahkan pembunuhan, naudzubillah!) atas konsekuensi stempel kafir.
Memang faktanya demikian. Maraknya dai dan kajian sebagian kelompok Muslim yang gemar mengkafirkan liyan menyebabkan istilah ini berubah menjadi stempel sah bagi objeknya untuk dikenai serangan kekerasan – baik simbolik, verbal, bahkan fisik.
“Jangankan anda yang berbeda agama, saya sendiri yang sama-sama Muslim juga kadang dikafirkan kok!” Begitu seloroh saya tiap mendengar pertanyaan itu dilontarkan.
Memang begitu adanya. Tidak jarang stempel ini menyasar kepada kelompok Muslim tradisionalis yang memang memiliki lebih banyak ekspresi kebudayaan disamping hanya berpaku pada aspek teologis dan hukum yang ketat ala kelompok Salafisme atau Wahhabisme. Sehingga saya berani melemparkan seloroh seperti tadi.
Secara lebih serius, sering saya tekankan kepada mahasiswa bahwa penggunaan kata kafir ini memang telah mengalami distorsi sehingga menjadi instrumen kekerasan di tengah masyarakat modern.
Harus diakui, istilah kafir secara teologis memang tersedia di banyak literatur Islam klasik, dan menjadi penanda bagi mereka yang menutup diri dari kebenaran Islam. Akan tetapi, dalam ranah sosiologis-politis, istilah ini juga berkembang serta berpengaruh terhadap konsekuensi tindakan kepada kelompok tersebut. Di dalam sebuah negara Islam, terdapat istilah kafir dzimmy, kafir mu’ahad, kafir harby, dan lain sebagainya. Sebuah spektrum kategoris bagi kafir yang harus dilindungi dan dijamin keamanannya secara politis sampai yang memang layak diperangi secara terbuka.
Lantas, bagaimana kategori ini beroperasi di ruang sosial bernama Indonesia, yang memang sejak awal berdirinya tidak didasarkan sebaagai negara Islam? Oleh karena itu terminologi Kafir di sini perlu ditempatkan dalam konteks berbeda.
Beruntung Indonesia punya Nahdlatul Ulama yang telah mangambil langkah berani dengan merumuskan fatwa bahtsul masail yang menegaskan tidak ada kafir di dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Yang ada hanyalah warga negara yang berdiri sederajat. Dengan demikian mereka pun harus dijamin keamanannya. Setidaknya itu sangat melegakan bagi mereka yang beragama minoritas.
Melampaui Surga-Neraka
Selain persoalan kafir, ada sebuah pertanyaan yang sangat berkesan bagi saya, selama berkesempatan mendampingi kelas dari kampus Kristen. Pertanyaan yang sangat personal, dan sangat membekas.
“Sebelum bertanya, perkenankan saya bercerita dulu tentang latar belakang keluarga saya.” Satu mahasiswa memulai dengan sangat hati-hati.
Mahasiswa ini bercerita, dia berasal dari keluarga yang beragam. Seingat saya, ibu mahasiswa ini masuk Kristen sejak menikah. Sementara kakek-nenek dari jalur ibu masih berkomitmen mengimani agama Islam. Dengan terbata-bata, dia bercerita bagaimana beberapa tahun lalu sang nenek jatuh sakit. Secara bergantian anggota keluarga yang beragam bertugas untuk menunggui sang nenek.
Batas umur manusia adalah selubung yang tak diketahui, dan begitu pula hanya Allah yang tahu si nenek ada di penghujung usianya, tepat di saat si mahasiswa dan ibunya sedang giliran berjaga.
“Saat itu hanya saya dan ibu yang berjaga. Tidak ada keluarga lain. Tiba-tiba, nenek sudah menjelang ajalnya. Saya dan ibu kebingungan. Kami tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa di saat-saat terakhir hidup nenek. Kami hanya ingin melepas kepergian nenek dengan layak.”
Mahasiswa ini berhenti sejenak. Tenggorokannya tercekat. Dia menengadah ke langit-langit. Entah berusaha untuk mengingat – atau mungkin ingin melupakan sama sekali pengalaman itu. Tampak matanya yang berkaca menahan tangis.
Dia melanjutkan, “Saya tahu, orang Islam membacakan Yasin untuk orang meninggal. Tapi kami bisa apa? Saya dan ibu tidak bisa membaca al-Quran sama sekali. Terpaksa saya berdoa sebisanya dengan cara Kristen. Di situ saya berharap sekali mendoakan nenek supaya bisa pergi dengan tenang, dan masuk surga.”
“Tapi sampai sekarang saya takut, bagaimana kalau doa saya malah mengotori kepergian nenek? Saya cuma khawatir, nenek masuk neraka karena doa saya yang orang Kristen. Kalau seperti itu, apakah nenek saya tetap bisa masuk surga?”
Pertanyaan yang singkat dan menyentuh dasar hati kemanusiaan saya, sekaligus menantang saya baik secara intelektual, spiritual, sebagai Muslim. Saya harus menjawab sebuah pertanyaan dengan bertanggungjawab, sekaligus dengan etika untuk menjaga kehormatan mahasiswa penanya.
Saya coba berpikir keras tapi dengan perasaan tidak mampu, enggan, dan takut jika jawaban yang saya lontarkan kemudian menyakiti hati si mahasiswi penanya. Jika saya adalah seorang Muslim tekstualis, bisa saja menjawab bahwa itu bukanlah momen kematian yang ideal sebagai seorang muslim. Tapi buat apa?!
Potret demikian ini mengingatkan saya atas pesan Habib Ali al-Jufri, dalam buku karya beliau berjudul “Kemanusiaan sebelum keagamaan”. Sekalipun dia seorang Kristen, sebagai Muslim saya tetap wajib untuk menjaga dan memelihara kehormatannya, apalagi di dalam sebuah forum di mana ilmu pengetahuan dan etika dijunjung tinggi.
Doktrin formal agama Islam memang punya ajaran surga dan neraka sebagai balasan atas apa yang diperbuat seorang Muslim di dunia. Pesannya jelas dan lugas. Namun di momen tersebut, wawasan tasawuf dan mistik Islam yang memberi jalan keluar.
Apa sih tujuan kita beribadah dan beramal baik selama di dunia? Betul, kita memiliki orientasi masuk surga dan terhindar dari siksa neraka. Namun rupanya tidak hanya itu. Ada tujuan yang lebih dari sekadar mencicipi indahnya surga. Terutama bagi kaum sufi/mistik, yang tujuan utamanya adalah untuk meraih kerelaan Tuhan (ridha Allah) atas kehidupan kita. Dari sini, surga dan neraka menjadi sangat relatif.
Sebagaimana rapalan doa Rabi’ah al-Adawiyah yang justru enggan masuk surga atau neraka, karena tujuan utamanya adalah untuk menyingkap keindahan Sang Pencipta: “Ya Allah! Apabila diriku menyembah-Mu hanya karena takut akan pedihnya siksaan api neraka yang tiada habisnya, bakarlah habis seluruh tubuh ini di dalamnya. Dan apabila diriku menyembah-Mu karena mengharap nikmatnya kehidupan surga, maka campakkanlah diriku saat berada di dalamnya. Namun, jika diriku beribadah semata-mata demi Engkau ya Allah, maka janganlah Engkau sesekali enggan untuk memperlihatkan keindahan-Mu yang abadi kepada diriku!”
Soal masuk surga atau neraka jelas merupakan hak prerogatif Allah semata. Lebih dari itu, saya hanya mengajaknya untuk berbaik sangka kepada Allah seraya mendoakan si nenek mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Bukankah terdapat sebuah hadis Qudsi bahwa Allah itu sesuai dengan apa yang diprasangkakan oleh hambanya? Sebagaimana saya wajib berprasangka baik kepada si mahasiswa, sekalipun dia berbeda agama dengan si nenek tapi di lubuk hatinya yang terdalam ia pasti menginginkan si nenek untuk mendapat tempat terbaik di sisi Allah.
Dari potret pengalaman sebagai Muslim mengajar di kampus Kristen tadi, saya mengambil pelajaran. Bahwa agama Islam memiliki dimensi yang sangat luas. Tidak hanya berorientasi kepada yurisprudensi hukum dan penghakiman yang bersifat hitam dan putih. Apalagi ketika dihadirkan di tengah kelompok lain, wajah Islam seperti apa yang akan saya tampakkan? Pada akhirnya, kesempatan ini juga jadi sarana bagi saya untuk terus belajar menjadi Muslim – dan menyelami agama yang saya anut – secara lebih baik lagi. Wallahu a’lam bisshawab.
*Artikel ini kerjasama antara Islami.co dan PUSAD Paramadina didukung GUYUB – UNDP PBB