Doktrin Terorisme Berkedok Agama dan Literasi Media Kita

Doktrin Terorisme Berkedok Agama dan Literasi Media Kita

Doktrin Terorisme Berkedok Agama dan Literasi Media Kita

Jurnal International Center for Counter- Terorism- The Hague (ICCT) dalam survei opini publik tentang simpati dan dukungan terhadap terorisme Islam yang diteliti Alex P. Schmid (Februari, 2017) menyebutkan tujuh alasan yang memotivasi pendukung jihad terorisme. Tujuh alasan itu ialah jihad teroris dilihat sebagai pembela agama Islam, dipandang sebagai ahli waris salafi sejati, dilihat sebagai pengganti untuk penghinaan dan ketidakadilan, dipandang berani dan sukses, bertujuan spesifik mengenai bantuan luar negeri untuk muslim dan arab, sebagai intervensi militer Barat dan bagian dari atheis anti-imperialis kiri.

Tujuh opini publik tersebut bisa diklasifikasikan dalam dua konteks, agama dan politik global. Poin satu sampai empat menunjukkan besarnya intervensi agama untuk mempengaruhi ideologi. Poin lima sampai tujuh erat kaitannya dengan kepentingan politik suatu negara dan konspirasi global, meliputi; ekonomi, sosial dan militer.

Doktrin agama yang heroik dalam propaganda terorisme menginjeksi pemikiran seseorang untuk meraih kebahagiaan akhirat yang absurd. Pelaku teror mendapat janji akan surga atau bidadari cantik. Sehingga, sering kali dogma normatif agama digunakan sebagai kekuatan pelaku teror untuk melakukan pembunuhan.

Pemahaman agama yang dangkal yang sering disebut fundamental inilah akar dari adanya ideologi kekerasan. Pandangan agama seperti itu telah terjadi berabad-abad lalu, tidak hanya terjadi pada satu agama. Fenomena yang pernah terjadi di antaranya pembunuhan Galileo atas afirmasinya terhadap teori bumi mengelilingi matahari- kemudian menuai ancaman keras dari pihak gereja dan Galileo mendapat hukuman mati atas dasar penistaan agama. Al Hallaj, sufi yang terbunuh atas keteguhannya memaknai “Tuhan ada pada diriku”.

Agama sering menjadi alasan seseorang/golongan untuk melakukan kebencian di lingkungan masyarakat dan di media. Kebencian itu berwujud penghakiman yang membabi buta ketika salah seseorang mencoba memaknai dogma atau menyalahgunakan fasilitas ibadah. Kebencian itu berwujud ujaran kebencian, hoax dan pesan intoleransi di media. Kebencian itu bertambah kompleks ketika media menjadi center of view masyarakat luas.

Propaganda Media

International NGO on Indonesia Development (INFID) dan Jaringan GUSDURian Indonesia tahun 2016 meneliti tentang pesan intoleransi di media sosial. Hasil penelitiannya menyebutkan beberapa pesan intoleransi dengan kata kunci seperti; kafir, sesat, syariat islam, tolak demokrasi, jihad, antek asing, komunis, liberal dan musuh islam. Dengan bantuan mesin, ditemukan 8049 twit memuat pesan radikal dan ekstrimisme. Ada dua kata yang sering muncul di media yakni kafir sebanyak 5.173 dan komunis sebanyak 995.

Perkembangan media menjadi medium pertumbuhan virus radikal-terorisme dikalangan masyarakat. Virus itu tumbuh dan berkembang di media sosial dan siber yang kita miliki. Polusi kebencian melayang lepas di udara dan itu bukan tanpa pengorganisasian. Salah satu ujaran kebencian di dunia maya telah diproduksi secara masif oleh suatu perusahaan media. Perusahan itu ialah PT. Saracen News, produsen kebencian di era Jokowi yang telah ditangkap Divisi Siber Bareskrim Mabes Polri.

Tentu itu adalah salah satu perusahan ujaran kebencian yang tertangkap, adakah lainnya? Penulis meyakini ada, ujaran kebencian berlandaskan doktrin agama yang selalu menjadi isu sensitif di negeri ini terbukti ampuh untuk melangsungkan manuver politik. Sehingga sangat disayangkan jika tidak termasuk bagian dari strategi.

Ujaran kebencian di media sebagai manuver politik terbukti ampuh di era Jokowi. Al Maidah telah dipermainkan sedemikian rupa untuk menjebloskan Ahok ke penjara. Aksi bela Islam terbukti sukses untuk memenangkan Anis-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Aksi bela Islam juga menjadi aksi terbesar dan menjadi bagian sejarah Indonesia yang berasal dari pemotongan video dan huru-hara media sosial.

Begitu banyak pesan intoleransi yang diproduksi untuk mengancam keutuhan negara atas kepentingan tertentu. Begitu banyak sintesa teknologi informasi manipulatif untuk menduplikasi sebaran kebencian. Begitu banyak manusia yang menggadaikan kemanusiaannya untuk kekuasaan dan keduniawian.

Berdasarkan aneka persoalan, penulis berpandangan bahwa di era digitalisasi media yang sangat terbuka, perlu adanya sebuah langkah bersama untuk meng-konter-terorisme melalui narasi ramah, damai dan penuh kasih. Narasi positif itu perlu dilakukan dengan suka cita oleh semua pengguna internet, bersuka cita untuk turut membangun negeri yang penuh ujaran cinta kasih di media online.

Literasi Media Ramah

Literatur kajian Ilmu Komunikasi menyebutkan literasi media merupakan suatu istilah yang digunakan sebagai reaksi atas maraknya pandangan masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan oleh media massa dan online, yang mana cenderung negatif dan tidak diharapkan. Aufderheide mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan suatu pesan dalam berbagai bentuk. Aktivitas itu mengajak berfikir konstruktif dalam membaca media yang ada.

Gerakan literasi media sudah lama dibicarakan di Indonesia. Konsep ini belum dipahami secara luas dalam prakteknya, serta belum mendapatkan tempat yang strategis dalam diskursus yang ada. Sehingga dapat mendorong diskursus alternatif untuk membendung penyebaran paham radikal-terorisme di media.

Literasi media penting untuk dimiliki oleh setiap individu atau netizen. Netizen mempunyai pengaruh penting dalam mengkonstruksi arus informasi yang ada, bahwa penyebaran informasi hoax hanyalah gejala, penyakit sesungguhnya adalah kurangnya keinginan mencari bukti, membaca dan berpikir kritis. Sederhananya, bisa disebut sebagai rendahnya budaya literasi.

Masyarakat yang mapan literasi media nya, setidaknya akan melakukan beberapa hal ketika menerima informasi media. Pertama, setiap individu akan memverifikasi kebenaran suatu informasi yang diterima. Kedua, akan memproduksi konten yang mengoreksi kabar hoax.

Saatnya Indonesia menggerakkan literasi media, sebagai upaya membendung penyebaran paham radikal dan informasi hoax. Saatnya Indonesia memiliki kemapanan literasi yang tertuju pada semua generasi, kemapanan literasi yang bertumpu pada pendidikan. Pendidikan yang mengajarkan cinta kasih dari pada emosi berlebihan. Pendidikan yang membebaskan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahhu a’lam.

Al Muiz Liddinillah, penulis adalah pegiat literasi di Gubuk Tulis dan Garuda Malang. Bisa disapa lewat akun twitter @almuiz_id