Belum hilang dari ingatan kita puisi panjang mengandung doa yang dipanjatkan Hj. Titi Widoretno Warisman, dikenal dengan Neno Warisman, di hadapan peserta Munajat dan Zikir 212 di Monumen Nasional, Jakarta, 21 Februari 2019 lalu. Penuh penghayatan, mantan penyanyi pop dan aktris film tahun 1980-an ini menghebohkan sebagian masyarakat oleh karena diksi puisinya. Bagian tengah puisi itu memicu kontroversi karena bersifat memaksa Tuhan mengabulkan doanya. Berikut petikan puisi-doa tersebut.
Namun kami mohon jangan serahkan kami pada mereka
Yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak cucu kami
Dan jangan, jangan Engkau tinggalkan kami..
..dan menangkan kami
Karena jika Engkau tidak menangkan
Kami khawatir ya Allah
Kami khawatir ya Allah
Tak ada lagi yang menyembah-Mu
Bagi yang tahu sebab kemunculan hadis Nabi tentang bantuan dari Allah saat perang Badar, puisi-doa yang Neno panjatkan mungkin ingin terlihat dan dilihat senada dengan doa Nabi saat perang Badar. Doa Nabi saat itu (hadis 1763, Shahih Muslim), “Ya Allah, penuhilah bagiku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah datangkanlah apa yang telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah jika Engkau hancurkan kelompok Ahlul Islam, Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.” Yang membedakan keduanya, dan ini aspek terpentingnya, adalah konteks dipanjatkannya suatu doa.
Nabi Muhammad, sebagai pemimpin umat Muslim dan panglima perang Badar, memanjatkan doa di saat terjadi ketimpangan antara jumlah pasukannya dengan pasukan lawan (309 berbanding seribuan orang). Beliau berharap dibantu Allah dalam rangka mempertahankan komunitas Muslim agar di masa mendatang masih ada orang-orang yang menyembah Allah.
Sementara Neno Warisman, yang berposisi sebagai Wakil Ketua BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo-Sandi, memanjatkan doa yang intinya diberikan kemenangan timnya.
Siapapun yang menyamakan aktivitas puisi-doa Neno di Munajat dan Zikir 212 dengan doa Nabi saat perang Badar sama artinya menyetarakan lawan politik Neno (Jokowi-Amin) dengan lawan Nabi Muhammad di perang Badar saat itu, yaitu musyrik Makkah. Ini jelas menciderai dakwah agama yang suci dan merendahkannya setara hajatan politik sesaat.
Menelaah QS Al-An’am: 76-79 dan QS Al-Baqarah: 22
Sesungguhnya, momen puisi-doa Neno Warisman tidak perlu dan tidak mesti terjadi jika pemahaman atas konteks suatu ajaran agama cukup holistik. Ada banyak buku bacaan terkait hal ini. Dua di antara yaitu: (1) karya Muammar Zayn Qadafy (2015) tentang konteks mikro dan makro turunnya ayat Alquran, di mana tidak saja sebab mikro yang dipertimbangkan melainkan juga sebab makro yang meliputi kawasan Arab saat itu. (2) Karya Abdullah Saeed (2016) tentang cara menafsirkan Alquran di abad 21 melalui metode Tafsir Kontekstual. Sadar konteks sangat dianjurkan sehingga kita sebagai pembaca Alquran dapat mengambil inti dan ruh ayat Alquran tanpa ada kekhawatiran salah dalam memahaminya.
Memang, tidak setiap dalil agama ada sebab turunnya. Namun, adanya sebab turun tidak semestinya diabaikan karena mengandung informasi tambahan yang dapat membantu mengurai kerumitan suatu dalil. Mari kita simak topik pembahasan pada QS Al-An’am:76-79 dan QS Al-Baqarah:22.
Kelompok ayat QS Al An’am:76-79 menceritakan kisah pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim. Diceritakan, Ibrahim yang sedang mencari Tuhan melihat Bintang, lalu Bulan, kemudian Matahari. Sebelum pencarian Tuhan berakhir di Allah SWT, urutan besaran objek pada kelompok ayat tersebut dimulai dari Bintang, lalu Bulan, dan kemudian Matahari. Benarkah urutan besaran tersebut?
Merujuk temuan ilmiah, jawabannya tidak tepat. Sampai di sini, mungkin layak dikemukakan rasa heran kita sebagai Muslim, “Apakah itu kekeliruan Alquran?” Tidak sama sekali. Pengetahuan urutan besaran objek tersebut murni didasarkan pada konteks pengetahuan manusia abad 6-7 M yang pertimbangannya sebagian besar dari kasatmata (apa yang terlihat).
Lain halnya dengan QS Albaqarah:22 yang menyebut Bumi sebagai firaasyun yang makna harfiahnya adalah sesuatu yang tergelar (kasur). Menurut keterangan dari beberapa Sahabat Nabi, sebagaimana dalam Tafsir Al-Thabari (juz 1, hlm 387-388), Firaasyun setara mihaadun yang berarti tempat istirahat.
Sebegitu dirasa nyaman dan tampak begitu lapang terbentang, Bumi tidak boleh disebut datar (flat earth) sekalipun ‘terasa datar’. Perdebatan di masa lalu tentang apakah bumi datar atau bulat wajar mengemuka. Namun, kini hal itu harus diakhiri karena hanya akan menambah daftar panjang kegagalan manusia memasukkan variabel konteks pada topik yang sedang dibicarakan.
Di era modern di mana pengetahuan hampir menemui titik puncaknya, tidak boleh lagi ada yang menyebut bahwa (1) Bulan lebih besar dari Bintang, karena pada dasarnya Bintang adalah Matahari pada tata surya lain di galaksi Bima Sakti atau galaksi lainnya. Atau (2) Bumi itu datar, sementara kita tahu perasaaan datar itu terjadi semata-mata karena gravitasi Bumi. Temuan ilmiah tentang bentuk asli Bumi (bulat) pun telah dibuktikan minimal dari foto-foto Bumi yang diambil dari satelit di luar angkasa.
Sebagai penutup, atas nama konteks, kita sepertinya disadarkan betapa bahayanya seseorang jika tidak memahami konteks atau asbabun nuzul dari sebuah ayat, surat, hadis nabi, ataupun sirah nabawi. Karena ketika seseorang sudah kehilangan konteks—maka apa yang ia pahami tidak akan mendapatkan pemahaman yang utuh (holistik), bahkan fatal—termasuk apa yang telah dilakukan oleh Neno Warisman, yang menyamakan ajang politik yang 5 tahun sekali itu dengan doa perang badar. Wallaahu a’lam.
Ahmadi Fathurrohman Dardiri, penulis adalah pengajar di IAIN Surakarta.