Menurut Syekh Ali Jum’ah, ulama yang masuk dalam partai politik tertentu tidak boleh mengatasnamakan agama, karena agama tidak mengatur bentuk atau batasan ciri partai politik.
Dalam suatu kajian, Syekh Ali Jum’ah (Syekh Ali Gommah) ditanya oleh salah satu muridnya. Muridnya bertanya tentang kebolehan Azhari (ulama/alumni Al-Azhar) ikut bergabung dalam partai politik.
“Boleh, namun bukan dalam rangka menjadikan partai politik bagian dari agama, melainkan dalam koridor menjadi warga negara untuk melayani masyarakat,” jawab ulama senior Al-Azhar Mesir ini.
Ungkapan mantan mufti besar Mesir ini perlu menjadi renungan bagi kita, terutama di Indonesia, mengingat ada beberapa orang yang mengatasnamakan partainya sebagai partai Islam dan menuduh partai lain sebagai partai non-Islam.
Menurut Syekh Ali Jumah, politik memiliki dua arti, pertama, bermakna yang lebih luas yaitu mengurus masalah kebangsaan baik dari luar maupun dari dalam. Politik dalam artian yang pertama ini menjadi tugas setiap orang, tidak hanya anggota partai politik saja.
“Siapa yang tidak memperhatikan urusan umat, maka dia bukan bagian dari umat tersebut,” ungkapnya.
Kedua, politik yang bermakna partai. Setiap partai memiliki program masing-masing. Seperti memperbaiki perekonomian, sosial, pendidikan, politik, menejemen birokrasi, dll. Hal seperti ini oleh agama tidak ditentukan caranya secara khusus oleh agama.
“Sebagaimana agama tidak menentukan bentuk bangunan masjid, misalnya, bentuk rumah, pakaian, juga makanan,”
Nabi, contohnya, tidak mau makan dhabb (biawak Arab), namun beliau membolehkan para sahabat untuk memakannya. Hadis ini biasa kita kenal dengan hadis taqriri, yaitu diamnya Rasul menandakan kebolehan berbuat sesuatu.
Syekh Ali Jumah mencontohkan bahwa Rasul tidak makan biawak itu bukan karena Rasul mengharamkan biawak tersebut melainkan karena makanan tersebut bukan makanan yang biasa dimakan oleh beliau dan kaumnya. Sehingga wajar saja jika beliau tidak doyan dengan makanan tersebut.
Hal ini bisa kita qiyas-kan dengan kondisi masyarakat desa yang tidak pernah melihat atau makan pizza, saat ditawarin pizza pasti mereka akan menolaknya. Apalagi setelah makan sedikit, ia merasa bahwa makanan tersebut adalah makanan yang aneh.
Begitulah menurut Syekh Ali Jumah, tidak dilarang harus ikut partai politik yang mana. Sehingga jika ada ulama yang masuk partai politik, jangan mengatasnamakan sebagai perpanjangan tangan dari agama. Menjadi anggota partai tertentu atau menjadi pendukung partai tertentu tidak sama dengan menjadi pengikut agama tertentu. Selama partai tersebut memperjuangkan dan melayani masyarakat dengan programnya tanpa ada penyelewengan, maka itu boleh saja. (AN)