Banyak praktik baik moderasi beragama yang dilakukan di akar rumput, tak terkecuali di kota kecil di Jawa Tengah, Salatiga. Selain dikenal sebagai kota dengan populasi agama yang beragam, Salatiga identik dengan dua kampus besar di dalamnya, yakni Universitas Islam negeri (UIN) Salatiga sebagai kampus Islam negeri dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yang tumbuh dari akar Kristen.
Sebagai kota yang majemuk, Salatiga memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, potensi rentan akan konflik-konflik keagamaan. Seperti gesekan akibat perbedaan agama yang mungkin bisa mengarak ke konflik antar warga. Dengan demikian, moderasi beragama sebagai sebuah praktik penting untuk terus didengungkan supaya masyarakat mampu menghadapi berbagai tantangan tersebut dan membumikan harmoni di kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai tujuan itu, tidak cukup jika moderasi beragama hanya ditampilkan dalam materi seminar maupun tulisan-tulisan di kampus. Ia harus mewujud dalam implementasi dan prakrtik yang baik, seperti yang dilakukan oleh komunitas Diskusi Reboan di Salatiga, yang digawangi oleh civitas akademika dari dua kampus tersebut.
UIN dan UKSW: Sawah Besar yang Wajib Ditanami
Bermula dari inisiatif silaturahmi dan obrolan santai, Diskusi Reboan menjadi majelis yang cukup intens untuk mewadahi pertukaran ide, wawasan, dan gagasan antara mahasiswa Muslim dan Kristen di Salatiga. Pendekatan yang dilakukan pun melalui kajian kritis studi agama, yang membuatnya mampu membongkar fenomena keagamaan dan sosial dari kajian-kajian ilmiah.
Setidaknya ada tiga sosok penting di balik Diskusi Reboan ini, yaitu Rifqi Fairuz dan Ahmad Faidi, keduanya dosen UIN Salatiga, dan Pdt. Izak Lattu yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Teologi UKSW. Secara umum, mereka dipertemukan visi yang sama; terwujudnya ruang diskusi yang inklusif di kalangan antar umat beragama di Salatiga, terutama dalam lingkup kajian ilmiah perguruan tinggi.
Selain karena keseharian mereka yang aktif di kampus, alasannya adalah keberadaan dua kampus keagamaan besar (UIN dan UKSW) di Kota Salatiga. Tentunya dua universitas ini adalah ‘sawah’ besar untuk memupuk semangat moderasi agama yang baik, dalam wacana, pemahaman, dan praktik. ‘Sawah’ besar itu akan sayang sekali jika dibiarkan tidak tergarap.
Ditambah, Salatiga adalah Kota yang menyandang predikat kota toleransi. Dilansir dari jatengprov.go.id, Salatiga menduduki peringkat kedua kota tertoleran se-Indonesia dalam Indeks Kota Toleran (IKT) yang diselenggarakan Setara Institute di Jakarta (6/4/23). Jadi sudah semestinya dalam merawat harmoni, pihak-pihak dari UIN dan UKSW bisa duduk bersama.
Awal mulanya, Fairuz dan Faidi rutin menggelar kelompok diskusi dengan mahasiswa di program studi masing-masing yang mereka ampu. Fairuz sebagai dosen Antropologi di Prodi Pengembangan Masyarakat Islam, sementara Faidi yang mengajar sejarah di Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Salatiga. Dengan menggandeng kelompok mahasiswa UIN, Fairuz dan Faidi memulai inisiatif dengan melakukan diskusi ilmiah ke Pdt. Izzak Lattu yang mengajar di UKSW. Gayung bersambut baik, Pak Izak sapaan akrabnya, sangat antusias atas kunjungan diskusi mereka.
Sesuai namanya, kegiatan diskusi diadakan setiap hari Rabu dua pekan sekali di kediaman Pdt. Izak Lattu, tepatnya di komplek perumahan Gardenia Residence Salatiga. Forum diskusi ini berjalan layaknya diskusi di kampus. Ada yang bertugas mempresentasikan materi diskusinya. Baik berupa makalah, draf artikel ilmiah, dierbolehkan pula presentasi dengan proposal tugas akhir. Audiens yang hadir akan menanggapi dan mendiskusikannya lebih lanjut melalui sesi tanya-jawab.
Bedanya, di Diskusi Reboan lebih santai. Sembari bertukar pikiran, diskusi berjalan dengan menikmati minuman hangat dan makanan ringan. Selain itu, perbedaan lain adalah intensitas memasukkan perspektif dari dua agama—Islam dan Kristen—dalam diskusi atau analisis. Mahasiswa UIN yang hari-harinya diisi kajian-kajian Islami dan mahasiswa UKSW yang diisi dengan konstruksi berpikir dari teologi Kekristenan, kaya dengan perspektif masing-masing. Tentunya ini hal baru bagi mereka peserta diskusi dari masing-masing kampus, yang memang jarang bersentuhan di interaksi sehari-hari.
Fakta ini disadari betul oleh Faidi, Dosen dan Ketua Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Salatiga ini mengungkapkan, meskipun Kota Salatiga dikenal sebagai kota toleran, tapi kenyataannya adalah masih sedikit mahasiswa UIN yang menjalin interaksi dengan mahasiswa UKSW.
“Pada dasarnya dua kampus ini (UIN dan UKSW) kan representasi dari dua agama di Salatiga. Tapi saya amati, masih jarang sekali mahasiswa kampus kami yang berinteraksi secara ilmiah dengan UKSW. Mungkin kalau mahasiswa aktivis ada ruang-ruang itu, tapi buat mahasiswa yang tidak berkegiatan di luar, ruang itu tampaknya belum ada,” ungkap Faidi.
Selain itu, Faidi juga menuturkan bahwa ia bersama Fairuz dan Pdt. Izak Lattu sangat terinspirasi dengan sosok Kiai Mahfudz Ridwan Allah Yarham. Beliau mampu menggerakkan aktivis-aktivis UIN dan UKSW untuk duduk bersama dan berdialog. Satu inisiatif yang coba ingin terus dilestarikan oleh dosen-dosen kampus keagamaan tersebut.
“Itu cita-cita yang sudah lama saya pupuk bersama Pak Izak,” tambahnya.
Membangun Jembatan Moderasi
Kegiatan Diskusi Reboan sudah berjalan sekitar setengah tahun, sejak pertama kalinya dimulai pada tanggal 14 Juni 2023. Keunikan dari forum diskusi ini antara lain dari materi-materi yang disajikan. Sesuai dengan namanya, critical study of religion, bisa dilihat materinya berakar pada keilmuan studi agama (religious studies). Akan tetapi, kekayaan khazanah UIN dan UKSW membuat rumpun sub-tema topik yang dikaji menjadi beragam juga.
Beberapa judul topik yang didiskusikan mengambil pendekatan kajian kritis. Dari pihak mahasiswa UKSW, pernah mempresentasikan judul antara lain: “Musik dan Relasi Lintas Agama”, “Dinamika Perjumpaan Agama Dunia dan Marapu di Sumba”, dan “Manguni Sebagai Folklore Penyambung Lidah Subaltern Masyarakat Adat di Minahasa”. Sementara dari mahasiswa UIN, pernah mempresentasikan “Dekolonisasi Pendidikan”, “Islam dan Politisasi Agama: Kepemimpinan Non-Muslim”, “Kepemimpinan Kharismatik dan Advokasi Kasus Kedungombo”, dan masih banyak lagi. Saya sendiri pun pernah berkesempatan menyampaikan materi kajian dengan judul “Islam dan Dekolonisasi Ilmu Pengetahuan” yang mengulas perlawanan keilmuan Islam terhadap kolonisasi ilmu pengetahuan Barat. Maka dari situ, belakangan forum kajian ini memiliki nama yang lebih mentereng: Critical Study of Religion. Mengkaji agama dari perspektif kritis.
Forum diskusi ilmiah ini meninggalkan kesan baik bagi para penggeraknya. Salah satunya adalah Valentino Ruminding yang akrab disapa Valen, mahasiswa Magister Sosiologi Agama UKSW asal Palopo, Sulawesi Selatan yang juga aktif di forum diskusi tersebut.
“Diskusi Reboan menjadi sarana bagi saya untuk terbuka belajar dari cara pandang orang lain, dengan begitu saya mengetahui perkara tidak hanya dari perspektif tunggal,” ungkap Valen, sapaan akrabnya.
Selain itu dia menambahkan, bahwa Diskusi Reboan membawa spirit diskusi interdisipliner karena menjembatani perspektif dua agama.
“Posisi sebagai akademisi tentu tidak monodisiplin bukan juga multidisiplin ilmu. Tetapi, harus interdisiplin, seperti menambahkan sisi teologis, filsafat dan ilmu pengetahuan dalam diskusi-diskusi. Dengan interdisiplin, kita bisa menemukan jalan tengah, tidak terkecuali dalam beragama. Ini yang saya dapatkan selama ikut Diskusi Reboan,” imbuh Valen.
Saya sendiri yang beberapa kali mengikuti diskusi juga ikut merasakan nuansa baru. Ada hal-hal baru yang selama ini tidak saya ketahui, khususnya dalam memahami dunia Kekristenan.
Ada satu momen obrolan yang saya ingat, berujung pada diskusi yang tak disengaja. Sewaktu selesai mengikuti Diskusi Reboan, saya bersama Fairus Kadomi, dosen muda Sejarah Peradaban Islam UIN, akan beranjak pulang. Setiba di parkiran motor, yang bertepatan disamping lokasi diskusi, seorang peserta diskusi menghampiri kami. Dia adalah Bang Herman Tampubolon, mahasiswa Program S3 Teologi UKSW yang menghampiri kami.
Rupanya Bang Herman masih merasa penasaran dengan topik di diskusi. Sebab sewaktu diskusi, kami membicarakan tentang konsep Islam Nusantara yang penuh dengan istilah Pesantren, Kiai, Gus, Lora, dan istilah lain yang asing di telinga orang Kristen. Dia meminta tolong untuk bisa dijelaskan lebih lanjut istilah tersebut.
Wajar saja, Bang Herman adalah asli orang Medan, sedangkan istilah-istilah itu lebih familiar di kalangan orang-orang Muslim Jawa-Madura. Akhirnya diskusi itu berlanjut di parkiran motor sampai larut malam. Di samping itu, saya dengan Edo, sapaan akrab Fairus Kadomi juga masih bingung dengan perbedaan Romo, Pastor dan Pendeta, dan istilah Kekristenan lainnya. Sebaliknya, Bang Herman dengan senang hati menjelaskan.
“Ternyata ada beberapa hal yang tidak diketahui teman-teman Muslim tentang Kristen, begitu juga sebaliknya. Mungkin karena keterbatasan mengetahui sisi-sisi agama selain yang kita anut, itu yang jadi potensi ekstremisme dan tidak adanya moderasi beragama. Sehingga sikap toleransi juga tidak ada,” ujar Edo.
Secara terpisah, Rifqi Fairuz sebagai salah satu insiator Diskusi Reboan menyebutkan bahwa moderasi beragama masih sebatas menjadi konsep, sehingga perlu untuk diturunkan di wilayah praktik.
“Moderasi beragama bagi saya, harusnya bukan hanya konsep tapi juga dipraktikkan. Bukan sekadar pidato dan materi tertulis. Kalau praktiknya tidak digalakkan juga, ya jadinya cuma di kertas,” tutur Fairuz saat ditemui di sela jam mengajarnya.
Kenyataannya, praktik beragama di masyarakat terkadang masih dihantui konsep keamanan dan ketertiban, di mana umat beragama terlebih umat agama minoritas, harus berhati-hati saat mengekspresikan nilai agamanya agar tetap aman dan bisa diterima dengan baik oleh umat agama lain. Padahal, setiap warga negara memiliki hak untuk memeluk dan mengekspresikan agamanya masing-masing, tanpa harus merasa takut adanya tekanan atau intimidasi dari pihak lain. Artinya, harmoni umat beragama dalam praktiknya harus diupayakan terus menerus, termasuk di wilayah kajian ilmiah.
Dosen Antropologi UIN itu menyebutkan bahwa Diskusi Reboan ini adalah salah satu praktik baik moderasi beragama di kalangan civitas akademika. Duduk bersama dan berdiskusi lintas iman lewat kajian ilmiah adalah salah satu pilihan tersedia bagi para mahasiswa dan dosen. Sehingga, konstruksi berpikir yang ilmiah bisa dibarengi dengan sikap yang inklusif di wilayah praktik, terutama antar umat beragama.
“Harapannya, Diskusi Reboan bisa terus berjalan. Ini penting, ,apalagi kalau jangkauannya semakin meluas ke masyarakat bukan hanya orang-orang kampus. Kalau bisa, kita belajar bareng dari perspektif semua agama dan kepercayaan. Bukan hanya Islam-Kristen saja.” Pungkas Fairuz.