Diskusi Karikatur Nabi Muhammad di Kelas, Seorang Guru di Prancis Dipenggal

Diskusi Karikatur Nabi Muhammad di Kelas, Seorang Guru di Prancis Dipenggal

Seorang guru berdiskusi seputar karikatur Nabi Muhammad di kelas. Beberapa pekan kemudian, diskusi kelasnya berujung maut.

Diskusi Karikatur Nabi Muhammad di Kelas, Seorang Guru di Prancis Dipenggal
Situasi berkabung di College du Bois d’Aulne, sekolah tempat Samuel Paty bekerja di daerah Conflans-Sainte-Honorine, daerah luar kota Paris. (Michel Euler/AP)

Seorang guru di Prancis berdiskusi seputar kebebasan berekspresi dengan menujukkan karikatur Nabi Muhammad di kelas. Beberapa pekan kemudian, diskusi kelasnya berujung maut. Kepalanya dipenggal saat perjalanan pulang dari sekolah.

Samuel Paty (47), seorang guru sejarah di pinggiran Paris, mungkin tidak menyangka bahwa materi pelajarannya di kelas berujung petaka. Guru sejarah ini tidak sempat menikmati libur akhir pekannya, sebab pada Jumat (16/10) lalu, ia dibunuh secara brutal. Seorang remaja menghadangnya saat jam pulang sekolah. Ia dibuntuti, dan sebelum hari Jumat berakhir, kepalanya telah dipenggal secara brutal.

Si pelaku pembunuhan sadis tersebut telah diidentifikasi bernama Abdoullakh A., seorang remaja berusia 18 tahun kelahiran Chechnya, Rusia. Abdoulakh merupakan imigran dari Rusia yang pindah ke Prancis sejak usia enam tahun, dan bukan siswa dari sekolah tersebut.

Menurut pihak kepolisian Prancis, Abdoullakh sudah menguntit di sekitar sekolah sejak Jumat siang. Ia bertanya kepada beberapa siswa sekolah tersebut untuk menunjukkan kepadanya seorang guru yang bernama Samuel Paty, sebelum ia membuntutinya dan membunuhnya pada Jumat petang lalu.

Apa yang diajarkan oleh guru sejarah ini, sampai ia dibunuh dan dipenggal dengan sadis?

Samuel mengajar materi sejarah di Sekolah Menengah Collège du Bois-d’Aulne, sebuah daerah di pinggiran kota Paris. Di awal bulan ini, Samuel Paty menunjukkan karikatur Nabi Muhammad dalam sebuah diskusi kelas sebagai bagian dari pelajaran tentang kebebasan berekspresi. Untuk mengilustrasikan topic diskusi tersebut, sang guru menjadikan kasus karikatur media satir Charlie Hebdo sebagai contoh kasus kebebasan berekspresi.

Pasca berlangsungnya kelas tersebut menjadi masa yang menyibukkan bagi sekolah tersebut akibat rangkaian protes dan sikap keberatan dari wali siswa dari kalangan Muslim atas materi pelajaran di kelas yang diasuh oleh Paty.

Cécile Ribet-Retel, ketua PEEP de Conflans, asosiasi wali siswa nasional, mengatakan bahwa kelompoknya mendapatkan informasi dari sekitar 20 wali siswa, yang mengungkapkan kemarahan atau dukungan mereka kepada sang guru. Para wali siswa bertemu dengan pejabat sekolah dan menurut Ribet-Retel, kedua belah pihak sebenarnya telah untuk mencapai kesepahaman. Sang guru pun telah menyadari kekeliruannya dan menurut Newyorktimes, Paty telah mengirimkan email berisi permohonan maaf atas kekeliruannya.

“Tapi kemudian informasi ini menyebar di media sosial, makin menguat dan terdistorsi,” kata Ms. Ribet-Retel. Ketika sudah sampai di media sosial, masalah ini jadi tidak terkendali. Informasi tersebut jadi viral di kalangan warga Muslim Prancis, bahkan diunggah dan disebarkan oleh akun resmi masjid dan komunitas Muslim di Prancis. Distorsi informasi di sosial media ini lah yang akhirnya sampai di gawai milik Abdoullakh, yang notabene bukan siswa dari sekolah tersebut.

Sebagai seorang guru, tentunya dia paham dan berhitung konsekuensi dari materinya yang sangat sensitif bagi kalangan Muslim di Prancis. Karikatur Nabi Muhammad jelas berpotensi menyinggung perasaan siswa imigran Muslim yang dia ajar di kelas.

Samuel Paty bahkan dinilai sebagai guru yang baik bagi kalangan siswa Muslim sendiri. Menurut penuturan salah seorang wali siswa, Samuel Paty sudah berusaha sesensitif mungkin terhadap potensi ofensif dari gambar yang ingin dia diskusikan di kelas. Nordine Chaouadi, orangtua dari salah satu siswa Muslim di kelas Paty, mengatakan kepada AFP (Agence France-Presse) bahwa Paty telah mempersilakan siswa Muslim untuk meninggalkan kelas selama diskusi itu berlangsung.

“Dia tidak pernah bermaksud untuk melecehkan Muslim – itulah yang dikatakan putra saya kepada saya,” kata Nordine.

Kasus pembunuhan yang terjadi di daerah sepi pinggiran Paris ini langsung mendapat perhatian dari otoritas tinggi pemerintah Prancis. Presiden Emanuel Macron tidak segan menyerukan bahwa ini adalah “serangan terorisme kelompok Islamis”.

“Ini adalah perang kita, dan persoalan ini eksistensial!” Ungkap Macron pada Jumat lalu.

Publik Prancis mengaitkan pembunuhan ini dengan Charlie Hebdo. Awal September lalu, persidangan terhadap 14 tersangka kaki tangan dalam serangan Januari 2015 di kantor Charlie Hebdo dibuka. Kantor surat kabar satir tersebut menjadi sasaran serangan dua orang afiliasi al-Qaeda Prancis karena sebelumnya telah menerbitkan karikatur Nabi Muhammad. Dua belas orang, termasuk sembilan jurnalis dari surat kabar tersebut, tewas pada serangan tahun 2015 lalu.

Kasus pembunuhan terhadap guru ini merupakan aksi serangan kedua setelah persidangan Charlie Hebdo resmi dibuka. Akhir bulan September lalu, seorang imigran Pakistan berusia 25 tahun menikam dua orang di luar kantor surat kabar tersebut, yang tidak disadarinya ternyata telah pindah ke lokasi baru.

Berbagai rangkaian kasus kekerasan di Prancis ini tentu menjadi tantangan terkini bagi kalangan imigran Muslim di Prancis dan Eropa dalam skala lebih luas. Isu integrasi imigran di tengah masyarakat Eropa menjadi isu sentral di tengah maraknya xenophobia dan Islamophobia yang kembali menguat. Dengan adanya rangkaian kasus kekerasan tersebut, tantangan umat Islam di Eropa untuk berbaur dengan masyarakat Eropa tampak makin terjal dan berliku.