Sebagai salah satu program Madani Film Festival (MFF) 2020, MFF menggelar diskusi buku Memburu Muhammad karya Feby Indirani. Diselenggarakan Selasa (24/11) malam, diskusi ini membincang seputar proses kreatif buku Memburu Muhammad dan istilah Islamisme Magis yang menjadi titik tolak buku tersebut.
Buku Memburu Muhammad merupakan buku kedua dari trilogi Islamisme Maggis karya Feby Indirani. Buku pertamanya yang berjudul Perawan Maria diterbitkan pada tahun 2017 dan mendapat apresiasi luas. Tidak hanya dari Indonesia, buku Bukan Perawan Maria juga sudah diterjemahkan dalam bahasa Italia.
Dalam pengantarnya, moderator Lia Kusumawardani menjelaskan Buku Memburu Muhammad merupakan buku kumpulan cerpen berisi 19 judul cerpen. Buku ini sebagai bagian dari seni, cara ampuh membuka percakapan baru di tengah kebuntuan dan ketegangan percakapan seputar agama. Buku Memburu Muhammad menggali lebih jauh alam kepercayaan Islam yg dipercaya di Indonesia – living Islam.
Nadirsyah Hosen dalam pengantar buku Memburu Muhammad menjelaskan bahwa imajinasi bukanlah sesuatu yang terlarang dalam Islam. Imajinasi bisa menggali kemungkinan baru bagaimana karya dari imajinasi berhubungan dengan upaya memperbaiki keragaman dan keagamaan umat Islam. Di sini, fiksi berfungsi menjadikan pembacanya menjadi lebih peka dan berempati bagi kelompok lain.
Feby Indirani, sebagai penulis buku, mengakui bahwa istilah Islamisme magis yang dia bawa di buku ini mengambil dari istilah realisme magis. Dia menguraikan, bahwa Buku kedua dari trilogi Islamisme Magis ini berakar dari tradisi Islam, mitologi, dan pengalaman sehari-hari seputar tradisi Islam.
Unsur magis yang dibawa adalah, ketika seseorang bicara tentang agama banyak hal yang tidak bisa diindera secara kasat mata. Sebagai seorang yang percaya, itu sangat nyata dan memengaruhi kehidupan fisikal manusia. Magis merupakan konsep real bagi seorang manusia as believer. Magis karena tidak bisa dinalar sepenuhnya.
Diskusi ini menghadirkan Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan Muslim pengampu pengajian online kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Buku Memburu Muhammad, menurut Gus Ulil, bukan sekadar berkisah. Dalam buku ini, Gus Ulil memandang penulisnya berkisah sekaligus berkomentar terhadap kehidupan keberagamaan Indonesia dengan berbagai cara dan pendekatan yang mengagetkan. Masalah yang dihadirkan sudah jamak diketahui, tapi cara penulisnya memandang masalah membuat kita berpikir ulang.
“Feby ini pada dasarnya orang yang galau, yang bertanya, tapi cara menanggapinya beda dengan para pemikir yang memproduksi pemikiran. Dia memproduksi fiksi, kisah yg memberi alusi atau sindiran kepada realitas umat Islam dengan cara yang kadang main-main, terkadang marah.” Ungkap Gus Ulil.
Feby Indirani, penulis buku Memburu Muhammad, mengkonfirmasi penilaian Gus Ulil.
“Saya tidak menawarkan pemikiran baru, tapi yang saya tawarkan adalah percakapan baru, dengan sudut pandang baru. Itu adalah bagian saya sebagai penulis kreatif. Saya percaya diri, karena saya bisa berpaling kepada siapa, yaitu para pemikir Islam progresif ini. Pemikir Indonesia yang progresif ini sebenarnya bisa bicara luas di tingkat global.” Ungkap Feby.
Lebih jauh, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan bahwa para sufi pada masa dahulu banyak menulis kisah yg berisi alusi-alusi atau sindiran terhadap realitas umat Islam. Gus Ulil mencontohkan karya seperti Konferensi Para Burung (Manthiq al-Thair) karya Fariduddin Attar, atau karya Ibnu Thufail yang legendaris berjudul Hayy bin yaqdzan.
Kitab-kitab tersebut, di dunia Islam, merupakan preseden kekayaan khazanah tulisan fiksi, yang sebetulnya alusi terhadap dunia riil umat Islam.
“Salah satu kisah yang saya suka adalah karya Abdullah ibn Muqaffa’, Kalilah wa Dimnah. Kisah-kisah alegoris dari Persia dengan tokoh-tokoh binatang. Itu adalah alusi kepada dunia riil yang apabila dsampaikan secara apa adanya, orang bisa marah. Tapi ini disetting lakonnya binatang. Dunia Islam sudah kaya dgn kisah seperti ini.”
Dalam skala lebih luas, Ulil Abshar Abdalla menilai sekarang ini terjadi perkembangan yang mencemaskan. Menurutnya, imajinasi makin dipersempit ruangnya dan orang makin mencurigai adanya imajinasi. Ada dua yg dicurigai kebanyak umat islam, yaitu imajinasi dan humor.
“Ini pertanda buruk. Umat beragama yang sehat adalah yang bisa menanggapi imajinasi dan humor dengan wajar.” Pungkas Gus Ulil.