Jumat (16/12/22), Universitas Paramadina Jakarta bekerja sama dengan penerbit Mizan menyelenggarakan diskusi buku Inilah Mazhabku karya Haidar Bagir yang kembali mengangkat isu perdamaian Sunni dan Syi’ah.
Acara yang dimulai bakda maghrib itu menghadirkan dua narasumber yang merupakan representasi dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Ulil Abshar Abdalla mewakili Nahdlatul Ulama (NU) dan Ahmad Najib Burhani mewakili Muhammadiyah.
Hadir pula Pipip A. Rifai Hasan selaku tuan rumah dari Universitas Paramadina. Acara dipandu oleh Wa Ode Zainab yang merupakan kandidat doktor dari Al-Mustafa International University, Tehran.
Sayangnya, Haidar Bagir sebagai penulis buku sedang berhalangan hadir. Namun, ia telah menyiapkan video pengantar untuk membuka jalannya diskusi.
Ikhtiar Haidar Bagir Mendialogkan Sunni dan Syi’ah Lewat Inilah Mazhabku Diapresiasi Penuh
Upaya Haidar Bagir dalam mendialogkan antara Islam Sunni (Sunnah) dengan Syi’ah lewat buku Inilah Mazhabku bukanlah yang pertama. Direktur Utama Kelompok Mizan ini telah lama memperjuangkan isu ini sejak tahun 90-an.
Dalam video pengantarnya, Haidar Bagir menyampaikan gagasannya mengenai mazhab di atas mazhab, yakni sebuah mazhab yang merangkul semua mazhab.
Sebagai pegiat tasawuf, Ia memiliki pendirian bahwa Islam adalah agama cinta. Oleh sebab itu, poin lain yang digaungkan ialah tasawuf merupakan jalan yang dapat mempertemukan perbedaan mazhab, bahkan agama.
Melihat sejarah pertikaian yang terjadi antara kelompok Sunnah dan Syi’ah, Haidar Bagir menemukan data bahwa isu keduanya telah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw. bukan baru dimulai pasca wafatnya sebagaimana yang umum diketahui.
Perjalanan panjang hubungan panas Sunni-Syi’ah setua dengan kehadiran agama Islam itu sendiri. Meskipun begitu, Ulil Abshar Abdalla memiliki pandangan yang lain.
Gus Ulil, begitu sapaan akrabnya, memberitahu bahwa upaya untuk “go beyond mazhab” justru lebih dominan ketimbang keinginan untuk berpecah. Itu didapatkannya dari karya ulama Sunni ortodoks, terutama dalam kitab Faishal al-Tafriqah karangan Imam al-Ghazali.
Menurut kyai muda NU ini, suara-suara keributan itu hanya terjadi di pinggiran oleh kelompok konservatif yang minor. Namun, gaung mereka di media sosial membuat seakan-akan kelompok ini besar padahal tidak.
Lebih lanjut, pertikaian Sunni-Syi’ah di media sosial seringnya disuarakan oleh kelompok Salafi-Wahabi yang memang secara politik juga berseberangan.
Fakta yang sama diungkapkan pula oleh Ahmad Najib Burhani. Profesor Riset BRIN ini juga melihat kecenderungan politik yang memperkeruh hubungan antara dua mazhab besar dalam Islam ini.
Belum lagi, adanya false virtue yang menjangkiti kelompok konservatif sehingga menganggap jika memusuhi kelompok yang berbeda akidah merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.
Perbedaan antara akidah pada poin tertentu dari Sunni dan Syi’ah memang tak akan bisa disatukan. Oleh sebab itu, upaya yang dilakukan bukanlah untuk menyatukan keduanya melainkan menjembatani.
Gus Ulil: Pentingnya Menyadarkan Umat Jika Toleransi itu Lebih Dominan
Dengan pendirian yang kuat didasarkan penguasaan terhadap kitab Sunni klasik, Ulil Abshar Abdalla optimis jika perdamaian antara Sunni dan Syi’ah dapat dilakukan.
Ia tak menafikan jika kelompok konservatif-ekstrimis itu memang ada, baik di kelompok Sunni ataupun di kelompok Syi’ah. Bahkan, Gus Ulil menyadari jika toleransi terhadap yang berbeda agama lebih mudah dilakukan ketimbang dengan kelompok yang berbeda dalam agama yang sama.
Tradisi dalam menerima perbedaanlah yang justru ditemukan pada mayoritas, sedangkan yang bertikai itu jumlahnya sedikit dan tak bisa mewakili umat. Fakta inilah yang harus disampaikan kepada umat terutama anak muda untuk menyadarkan bahwa bersikap toleransi itu merupakan hal yang dominan di kalangan Sunni.
Wacana diskursus hingga upaya kongkret telah diupayakan sejauh ini dalam mempertemukan kelompok Sunni dan Syi’ah ataupun dialog antaragama.
Mulai dari Risalah Amman yang dilakukan di Yordania pada tahun 2004, Muktamar Muhammadiyah tahun 2015, hingga MTQ Internasional di Iran yang digelar tahunan dengan mengundang qari dari seluruh dunia. Baru-baru ini, Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Thayyeb juga mengadakan dialog agama, termasuk dengan Syi’ah.
Langkah Haidar Bagir dalam mengarang buku Inilah Mazhabku serta adanya diskusi atau bedah buku seperti ini patut diapresiasi. Hal itu karena Ia berani, untuk sekali lagi, menyuarakan di ruang publik soal tradisi toleransi yang implisit ada di umat Islam sehingga bisa didengar oleh masyarakat yang lebih luas.