Diplomasi ‘No’: Mengapa Iran Sebaiknya Menolak Negosiasi

Diplomasi ‘No’: Mengapa Iran Sebaiknya Menolak Negosiasi

Diplomasi ‘No’: Mengapa Iran Sebaiknya Menolak Negosiasi

Pada 17 dan 20 Juni 2025, dua ormas Islam terbesar di Indonesia—Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)—merilis pernyataan resmi soal krisis Timur Tengah. Keduanya sepakat: hentikan agresi militer, dan segerakan diplomasi. PBNU menyerukan bahwa perang harus segera diakhiri dan jalur diplomatik harus dihidupkan kembali. Sementara itu, MUI menekankan bahwa Pemerintah Indonesia mesti mengambil langkah diplomatik tertinggi untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza dan sekitarnya.

Namun seruan diplomasi tersebut sejatinya kurang mampu mengakomodasi konteks penting dalam serangan Israel ke Iran: bahwa Iran diserang justru pada saat Tehran sedang berdiplomasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait haknya dalam pengembangan teknologi nuklir damai. Karenanya, dengan konteks tersebut, dan fakta bahwa seruan diplomasi tersebut menggema justru di saat agresi Israel membara dan Iran berjibaku membalas dan mempertahankan kedaulatannya bisa memunculkan tafsir yang lain; seolah umat Islam Indonesia tidak mendukung Iran mati-matian membela diri dan mempertahankan kedaulatan negaranya dari agresi Israel.

Diplomasi sebagai Alat Tekanan

John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politics (2001) menulis bahwa dalam sistem global yang anarkis, negara-negara besar tak sekadar ingin bertahan hidup. Mereka ingin menang. Diplomasi, dalam kerangka itu, bukan ruang netral, melainkan alat strategis untuk mengukuhkan kekuasaan. Maka ketika Amerika Serikat mengajak Iran berunding di tengah agresinya sendiri, bagi Teheran, itu bukan undangan damai. Itu strategi tekanan.

Dari sudut pandang Iran, tawaran semacam itu bukan isyarat niat baik. Itu bagian dari permainan lawan. Meja perundingan bukan tempat mencari keadilan, melainkan untuk menyegel hasil dari agresi. Menolak berunding, dalam kondisi seperti itu, bisa dibaca sebagai usaha terakhir mempertahankan martabat dan menghindari jebakan diplomasi yang hanya akan melegitimasi kekalahan.

Diplomasi dan Martabat Nasional

Dalam teori hubungan internasional, Alexander Wendt pernah mengingatkan bahwa negara-negara bertindak bukan hanya berdasarkan kepentingan, tapi juga berdasarkan identitas.

Sejak Revolusi 1979, Iran telah membentuk dirinya sebagai aktor yang menolak tunduk pada tatanan dunia yang dikendalikan Barat. Maka, diplomasi yang terjadi di bawah tekanan militer justru bertentangan langsung dengan identitas itu. Ia mempermalukan harga diri negara.

Bagi Iran, bertahan bukan semata soal senjata, tapi soal mempertahankan muqāwamah—narasi perlawanan yang telah menjadi bagian dari memori kolektif politik dan spiritualnya. Apalagi, sebagai masyarakat mayoritas Syiah, Iran memuliakan figur Imam Ḥusain sebagai simbol pengorbanan.

Dalam tragedi Karbala, Ḥusain memilih mati mulia ketimbang tunduk kepada kekuasaan yang zalim. Nilai itu hidup, bukan dalam buku sejarah, tapi dalam darah ideologis negara. Maka diplomasi dalam posisi diserang bisa jadi terbaca sebagai bentuk sulḥ al-dhull—damai yang memalukan.

Resistensi terhadap Diplomasi Kolonial

Kritik ini bukan sesuatu yang baru. Edward Said dalam Orientalism (1978) sudah menelanjangi bagaimana dunia Timur kerap dikonstruksi sebagai wilayah yang perlu dijinakkan oleh Barat. Hamid Dabashi menyambung kritik ini dalam Post-Orientalism (2009), dengan menunjukkan bahwa bahkan diplomasi pun bisa menjadi alat disiplin kolonial. Dalam bingkai ini, ajakan untuk berunding justru menyamarkan posisi dominasi.

Iran membaca semua ini sebagai bentuk epistemic disobedience—penolakan terhadap struktur wacana global yang selalu menempatkan negara-negara Muslim sebagai pihak yang mesti ditundukkan, bukan dirundingkan.

Kekalahan Ganda dan Kemenangan Ganda

Inilah yang membuat diplomasi dalam konteks ini terasa berbahaya bagi Iran. Ia mengandung risiko kekalahan ganda. Pertama, kekalahan fisik akibat serangan yang terus berlangsung. Kedua, kekalahan simbolik—karena harus mengakui kelemahan sendiri di forum internasional. Iran paham, berdiplomasi saat roket masih jatuh bisa berarti menyerah sebelum bertempur.

Sebaliknya, bagi agresor, diplomasi semacam ini justru mendatangkan kemenangan ganda: menang di medan tempur dan menang di panggung politik. William Zartman menyebut situasi seperti ini sebagai “ripeness” yang dipaksakan—bukan karena dua pihak sama-sama lelah, melainkan karena satu pihak dibuat tak mampu lagi melawan.

Richard Ned Lebow dalam The Tragic Vision of Politics (2003) mengingatkan bahwa diplomasi sering dijadikan sarana untuk “mengunci narasi kekalahan”, agar lawan tidak punya ruang untuk bangkit. Sementara Ken Booth menekankan, dalam Critical Security Studies (2005), bahwa perdamaian hanya mungkin jika semua pihak berada dalam posisi setara. Jika tidak, diplomasi hanyalah ritual penaklukan yang dibungkus kesopanan.

Relevansi bagi Indonesia

Bagi Indonesia—negara yang mengusung politik luar negeri bebas aktif dan menjunjung tinggi perdamaian—diplomasi seringkali dianggap jalan utama. Tapi barangkali kita perlu lebih jujur membaca situasi. Diplomasi yang berjalan di tengah bombardir, tanpa gencatan senjata, tanpa kesetaraan posisi, bukanlah diplomasi. Itu hanya nama lain dari tekanan.

Sejarah Indonesia sendiri menunjukkan bahwa diplomasi yang tidak dibarengi kekuatan di lapangan seringkali berujung pada pengkhianatan. Setelah Proklamasi 1945, Belanda berulang kali menggunakan perundingan sebagai strategi untuk melemahkan posisi Indonesia. Perjanjian Linggarjati (1946) dan Renville (1948), misalnya, dilakukan di tengah tekanan militer dan tidak menghentikan agresi Belanda. Justru, setelah perjanjian Renville, Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 1948 yang merebut ibu kota Yogyakarta dan menawan para pemimpin republik.

Perundingan-perundingan ini, yang tampak damai di permukaan, kerap digunakan oleh Belanda sebagai waktu untuk konsolidasi militer dan legitimasi internasional, bukan sebagai niat tulus mencapai perdamaian.

MUI dan PBNU, dalam seruannya, mengajak kita semua pada kepedulian yang luhur. Tapi publik Indonesia juga mesti kritis membaca bahwa tidak semua proses negosiasi adalah tanda kemajuan. Sejarah kemerdekaan Indonesia sendiri menjadi pengingat pahit akan diplomasi yang bisa menjadi jebakan.

Dalam peristiwa Perjanjian Linggarjati (1946) dan Renville (1948), Indonesia terpaksa menyetujui syarat-syarat yang merugikan karena tekanan militer dan tekanan internasional. Hasilnya bukan perdamaian, tapi kelanjutan agresi Belanda, yang mencapai puncaknya pada Agresi Militer II. Diplomasi, dalam konteks itu, menjadi alat kooptasi, bukan rekonsiliasi. Dalam banyak kasus, terutama di dunia Muslim, diplomasi yang datang tanpa rasa adil justru memperpanjang penderitaan. Jadi, diplomasi yang berjalan di tengah bombardir, tanpa gencatan senjata, tanpa kesetaraan posisi, bukanlah diplomasi. Itu hanya nama lain dari tekanan.

Penutup: Diplomasi yang Setara, atau Tidak Sama Sekali

Diplomasi sejati hanya bisa lahir ketika semua pihak bisa bicara dengan kepala tegak, bukan dengan leher tertekuk. Tanpa penghentian agresi, tanpa penghormatan terhadap kedaulatan, diplomasi hanyalah formalitas yang menutup ruang perjuangan.

Menolak diplomasi dalam konteks semacam ini bukan berarti anti-perdamaian. Itu justru bentuk lain dari perjuangan mempertahankan martabat. Dalam dunia yang kian dikendalikan oleh citra dan simbol, pilihan untuk tidak duduk di meja runding bisa lebih nyaring daripada seribu kata di atasnya. Di titik ini, pernyataan tegas Wakil Sekretaris Jenderal MUI, KH Arif Fahrudin, bisa kita maknai secara penuh; bahwa serangan balasan Iran terhadap Israel merupakan bentuk pembelaan diri atas pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Israel.

“Bagi MUI, tindakan Iran yang menyerang Israel dalam rangka membalas serangan Israel sekaligus menjaga hak kedaulatan Iran yang dirusak oleh Israel adalah perlu didukung oleh seluruh negara pembela hak azasi, pembela cinta damai, dan pembela kedaulatan suatu bangsa yang merdeka,” pungkas Kiai Arif.[]