Sebagaimana lazimnya hukum sebuah berita di era revolusi komunikasi ini, secepat kilat menjalar masuk dari satu gawai ke gawai lainnya. Bahasa kekiniannya disebut dengan viral. Demikian pula yang terjadi pada berita pembakaran seorang yang dituduh telah mencuri amplifier masjid di daerah Babelan, Bekasi. Berita itu segera menyebar sesaat setelah kejadian itu berlangsung. Bahkan barangkali sebelum api yang membakar tubuh MA (pelaku yang diduga mencuri amplifier musala) belum padam.
Watak penyebaran informasi seperti ini memang sudah menjadi rahasia umum di abad internet ini. Kecepatan menjadi ideologi. Ironisnya kecepatan tersebut kerap kali membuat kita lupa tentang akurasi sehingga yang terjadi–akibat kita abai terhadap akurasi–adalah berita-berita sampah, fake, hoax, yang judulnya bertabur sensasi. Termasuk dalam kasus pemberitaan dugaan pencurian amplifier ini.
Yang patut disesalkan, pola komunikasi seperti itu ternyata bukan berhenti di dunia maya saja. Wajah-wajah bengis, nyinyir, dan gemar mencaci pihak lain bukan merupakan wajah tunggal makhluk yang berdomisili di dunia maya semata. Di dunia nyata, perangai kita nyatanya tidak kalah bengisnya.
Buktinya, peristiwa pembakaran MA yang diduga mencuri amplifier musala itu membuka peta kesadaran kita, betapa keputusan yang diambil oleh segelintir masyarakat itu basisnya adalah informasi yang kadar keakurasiannya masih sangat rendah.
Tindakan mengadili terduga pencuri amplifier dengan cara membakar hidup-hidup adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan sama sekali ditinjau dari sudut apapun. Jangankan jika terbukti tidak salah, kalaupun terbukti benar ia mencuri tindakan membakar hidup-hidup adalah perbuatan yang sangat keji dan harus dihindari.
Teriakan “maling” dari salah seorang yang mengaku melihat langsung terduga pencuri amplifier itu membakar emosi warga. Tanpa verifikasi lagi, warga mengejar, mengeroyok, dan membakar terduga pencuri amplifier itu. Naas memang. Sadis dan ironis.
Inilah cara kerja “hoax” yang paling nyata. Orang sudah tidak lagi peduli pada verifikasi. Orang sudah abai terhadap akurasi sebuah informasi. Inilah zaman yang disebut oleh Bre Redana sebagai ‘pasca-kasunyatan’.
Wajah perksekusi paling nyata bisa kita saksikan di Babelan. Betapa pembakaran manusia bukan lagi dongeng, namun fakta. Yang bisa kita peroleh dan simpulkan sementara barangkali bahwa kejadian seperti ini tidak mungkin terjadi pada masyarakat yang ‘akal’nya masih waras dan sehat. Hanya paradaban yang rendah yang tega membakar saudaranya hidup-hidup.
Uniknya pada kasus yang menimpa MA ini, ada saja sebagian pihak yang menguhubung-hubungkannya dengan ‘jihad’ membela agama Tuhan. Mencuri amplifier musala adalah mencuri barang milik Allah, maka sudah semestinya pelaku dihukum seberat-beratnya. Barangkali begitu nalar yang ada di dalam benak mereka yang berargumen dengan jihad tersebut.
Di tangan orang-orang yang tidak cakap cara berpikirnya, agama menjadi begitu mengerikan. Saya mendadak teringat apa yang dikatakan Miss Maudie di sebuah adegan dalam Novel To Kill a Mockingbird milik Harper Lee. Ia mengatakan “kadang-kadang kitab suci di tangan seseorang menjadi lebih buruk ketimbang sebotol wiski di tangan orang lain.”
Demikianlah barangkali yang terjadi di kebanyakan kita hari ini. Kitab suci menjelma menjadi alat untuk menghakimi pihak lain. Agama menjadi instrumen untuk mengoreksi orang lain.
Pada etape ini, wajar bila kemudian masyarakat kita melahirkan apa yang oleh Jean Coeteau disebut dengan “delirium religiosum”. Ini istilah asing memang. Gampangnya begini, jika ada masyarakat yang menjadikan agama sebagai ‘kedok’ untuk melegitimasi segala tindakannya, apapun itu, termasuk memberangus liyan, maka itulah yang disebut dengan delirium religiosum atau gangguan mental dalam beragama.
Penyakit semacam ini memang bisa menimpa siapa saja. Dengan kadar dan takaran yang berbeda, namun irisan serta cirinya sama: selalu menjadikan agama sebagai alat legitimasi untuk membenarkan tindakannya, meskipun ia tidak masuk akal dan menyalahi nurani. Padahal kita sama-sama tahu bahwa agama adalah akal, tidaklah beragama orang yang tidak menggunakan akal sehatnya.
Akal menduduki posisi penting dalam beragama. Secanggih-canggihnya wahyu, ia tidak akan ‘bermakna’ jika disodorkan kepada kambing.
Senyampang dengan hal itu, tujuan agama—dalam hal ini syariat—adalah untuk kemasalahatan umat. Jika tidak ada kemaslahatan dalam syariat tersebut maka kita harus mengkaji ulang dan menelaahnya lebih dalam. Mana mungkin ada syariat yang membenarkan tindakan untuk menyakiti liyan? Kecuali dalam konteks mempertahankan diri, agama memang memeperbolehkan. Namun untuk menyerang, mengadili, mempersekusi, mengeroyok, dan membakar hidup-hidup, agama sama sekali tidak membenarkannya.
Barangkali benar nian apa yang dikatakan nabi bahwa kelak akan ada generasi yang fasih membaca al-Quran namun bacannya tersebut hanya tertahan sampai pangkal tenggorokan. Demikianlah, di pangkal tenggorokan itulah mula-mula wabah gangguan mental dalam beragama itu menjalar, salah satunya menjelma menjadi takbir yang malfungsi itu.
Akhirnya, sepertinya kita perlu mengusulkan kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait agar segera membentuk semacam satgas, atau bahkan kalau bisa sebuah institusi yang menangani wabah ini secara serius. Kalau diperbolehkan saya usul nama: Dinas Gangguan Mental Beragama. []