Takbir bersahut-sahutan dalam rumah-rumah keluarga Bani Alawy yang melihat foto-foto itu. Sebagian mengatakan suasananya mirip Arab Spring atau revolusi Rabaa di Mesir. Sungguh, tak terbersit sedikit pun di benak saya beberapa waktu sebelumnya, bahwa seorang habib dan massa Bani Alawy akan terlibat dalam peristiwa seperti itu. (Baca tulisan sebelumnya, Dinamika Habaib: islam politik Rizieq Shihab)
Dan ternyata HRS bergerak lebih jauh, ia mengancam akan meletuskan revolusi jika Ahok tidak ditangkap. Maka sebuah aksi unjuk rasa yang lebih besar digelar, kali ini bernama “Aksi Damai Bela Islam 212”. Massa dari berbagai pelosok negeri kembali berkumpul di Monas, di bawah komando HRS dengan orasi dan lagu-lagu marsnya yang membakar semangat umat.
Bersama umat lainnya, Bani Alawy dari berbagai kalangan; tua dan muda, lelaki dan perempuan, Sunni dan Syiah, kaya dan miskin, terdidik dan tidak terdidik, berduyun-duyun mendatangi Monas memenuhi panggilan Imam Besar, sebuah terma yang juga tak lazim di dunia habaib.
Perjuangan masih berlanjut saat masa kampanye Pilkada DKI tiba. HRS terus bergerak memobilisasi dukungan demi kemenangan Anies-Sandi melawan Ahok-Jarot. HRS mengharamkan orang muslim memilih pasangan Ahok-Jarot. Ia mendoakan orang muslim yang memilih pasangan itu agar ditimpa musibah. HRS juga menyatakan penolakan untuk mensalati jenazah orang-orang muslim yang memilih Ahok-Jarot.
Akhirnya Anies-Sandi memenangkan pertarungan Pilkada DKI dan Ahok divonis 2 tahun penjara. Kenyataan ini semakin mengukuhkan kebesaran HRS. HRS menjadi figur kebanggaan bagi sebagian besar Bani Alawy. Ia memperoleh dukungan dari berbagai kantung-kantung otoritas spiritual dan lembaga resmi kekerabatan Habaib. Pada bulan Ramadhan, dari tempat pengasingannya di Saudi, orasinya diperdengarkan melalui sambungan jarak jauh pada saat acara-acara keagamaan di beberapa makam habaib dan pada acara halal-bihalal Rabithah Alawiyah di Jakarta.
Habib Rizieq Shihab dan Tarekat Alawiyah
Dari kenyataan-kenyataan di atas, memunculkan kesan bahwa HRS telah berhasil mengubah elan habaib dan meletakkan batu pertama bagi sebuah tradisi baru dalam ruang kulturalnya, yaitu aktivisme politik, dalam hal ini perjuangan Islam politik.
Selain dianggap pembaharu yang mampu mendorong habaib ke kancah politik, HRS juga dijadikan semacam role model bagi habib-habib muda. Salah satunya yang paling terkenal dan paling dielu-elukan adalah Habib Bahar bin Smith yang ceramah-ceramahnya dikenal sangat keras. Lalu belakangan ada Habib Hanif al-Athas, menantu HRS sendiri. Habib muda ini meniru gaya dan nada ceramah HRS[i] secara persis.
Kesan itu tentu memantik pertanyaan bagaimana posisi HRS dan eksistensi Tarekat Alawiyah dalam konstelasi perubahan kultural ini? Dari pembicaraan dan perdebatan di lingkungan habaib yang sempat saya ikuti, muncul beberapa pendapat yang mungkin bisa dikemukakan sebagai pembacaan atas fenomena tersebut.
Baca juga: Dinamika Habaib: Islam Politik Rizieq Shihab dan Pedang Patah Faqih Muqoddam (Bag-1)
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Tarekat Alawiyah tidak terusik bahkan sebaliknya kian kokoh karena HRS tidak membuka jalan dakwah baru melainkan meneruskan yang sudah dibentangkan oleh Tarekat Alawiyah. Dengan kata lain, gerakan Islam poltik HRS selaras belaka dengan prinsip amar makruf nahi munkar yang tentunya diemban juga oleh Tarekat Alawiyah.
Dalam konteks ini, tafsir tentang pematahan pedang Faqih al-Muqaddam menjadi pangkal persoalan. Menurut para habaib pendukung HRS, aksi simbolis Faqih al-Muqaddam itu dimaksudkan bagi sesama muslim, namun tidak bagi musuh-musuh Islam dan kemungkaran. Dengan demikian HRS dianggap justru mereaktualisasi Tarekat Alawiyah sesuai perkembangan zaman.
Kedua, sebagian lain habaib menilai pidato-pidato dan sepak terjang HRS, telepas ia pernah terjun bersama anak buahnya di Aceh mengangkut dan memakamkan puluhan ribu mayat korban bencana Tsunami, tidak mencerminkan adab manhaj Tarekat Alawiyah dan telah menyeret kehabiban dalam pusaran konflik kepentingan politik. Cara-cara dan aktivisme politik HRS dianggap jauh dari nilai-nilai yang dijunjung Tarekat Alawiyah, dan tidak dicontohkan para salaf.
Seandainya HRS belajar agama di Pesantren Darul Mustafa, Hadhramaut, (yang telah melahirkan Almarhum Habib Munzir al-Musawa, pendiri Majelis Rasulullah, dan Habib Jindan bin Novel yang keduanya dikenal dengan dakwah-dakwahnya yang sejuk) bukan di University King Abdul Aziz, Riyadh, Arab Saudi, tentu retorika dan sepak terjang HRS tidak akan seperti sekarang ini.
Darul Mustafa yang dipimpin Habib Umar bin Hafidz merupakan lembaga pendidikan yang dikenal memiliki ikatan sanad yang kuat dengan para guru dari Tarekat Alawiyah, sementara University King Abdul Aziz tidak. Dalam tradisi Tarekat Alawiyah, mata rantai keilmuan merupakan sesuatu yang sangat fundamental. Argumentasi yang dikemukakan oleh para pendukung HRS bahwa sang Imam Besar juga pernah berguru kepada beberapa habaib di Indonesia, tidak mampu mematahkan persoalan sanad itu.
Menyikapi kenyataan di atas, upaya untuk mengembalikkan posisi Tarekat Alawiyah menjadi pegangan habaib dalam bertutur, bersikap, dan bertindak, terutama dalam merespon persoalan politik, telah dilakukan oleh Habib Jindan bin Novel. Habib Jindan mengkritik keras aksi penolakan shalat jenazah bagi umat muslim pemilih Ahok.
Meski tak pernah secara langsung menyebut nama HRS, namun oleh para pendukung HRS ceramah-ceramah Habib Jindan yang menyerukan dakwah dengan kesantunan dan kelembutan itu, dianggap sebagai kritik untuk HRS, sebagian lainnya bahkan menganggap hal itu sebagai penggembosan.
Dan selang sehari setelah ceramah Habib Jindan di istana Bogor dalam peringatan Isra Miraj, beredar video di media sosial berisi rekaman gambar dan suara seorang habib muda pendukung HRS yang mengecam ceramah Habib Jindan yang antara lain mengatakan bahwa Islam tidak bisa dibela dengan caci maki.
Lalu bagaimana kesimpulannya? Benarkah gerakan HRS tidak bertentangan dengan manhaj Kasru al-Saif dalam Tarekat Alawiyah dan justru HRS telah mereaktualisasi ajaran itu melalui perjuangnnya? Ataukah sebaliknya dengan gerakan Islam politiknya HRS telah melemahkan kedudukan Tarekat Alawiyah sebagai fondasi kultural habaib Indonesia?
Apakah dukungan sebagian besar habaib Indonesia kepada HRS mencerminkan bahwa pada dasarnya Tarekat Alawiyah memang hanya dianut secara formal melalui praktek-praktek ritualnya saja, namun sudah tidak lagi cukup kuat menjadi pegangan bagi habaib Indonesia dalam merespon persoalan politik, terlebih-lebih lagi di bawah pengaruh perubahan lanskap geopolitik global yang cenderung menguat ke arah populisme dan konservatisme agama?
Sejauh mana kekuatan peran tokoh seperti Habib Umar bin Hafidz, yang dipandang otoritatif di kalangan habaib, dalam mengawal eksistensi Tarekat Alawiyah di Indonesia? Begitu banyak pertanyaan yang bisa diajukan sekaitan dengan perkembangan yang terjadi di kalangan habaib, namun tentu diperlukan pengamatan dan penelitian yang mendalam untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dinamika internal tersebut.[]
*Baca 2 tulisan sebelumnya:
Dinamika Habaib: Islam Politik Rizieq Shihab dan Pedang Patah Faqih al Mukaddam (Bag-1)
Dinamika Habaib: Islam Politik Rizieq Shihab dan Pedang Patah Faqih al Mukaddam (Bag-2)