Dimensi-dimensi Politik Kegaduhan Desember

Dimensi-dimensi Politik Kegaduhan Desember

Konservatisasi keagamaan yang dipelopori MUI selama beberapa tahun berlakangan, mulai dari diterbitkannya fatwa anti-pluralisme hingga pengharaman Natal – yang diulang-ulang setiap Desember – sebenarnya mengandung konsekuensi politik yang berbahaya.

Dimensi-dimensi Politik Kegaduhan Desember

Pada perayaan Idul Fitri lebih dari tiga tahun lalu, seorang pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Al Andang L. Binawan, menulis sebuah artikel yang menyentuh hati.  Judul tulisan yang dimuat di harian Kompas (8 September 2010) itu adalah “Terima kasih, Islam” — http://nasional.kompas.com/read/2010/09/08/07461835

Tulisan itu ditulis dengan gaya mirip surat pribadi, semacam renungan mengenai peran umat Islam Indonesia sebagai integrator bangsa, perekat hubungan-hubungan sosial-kultural yang harmonis, dan pengemban toleransi dalam kehidupan antar-golongan.

Saya tahu bahwa penulisnya tahu bahwa ketika dia menulis tulisan tersebut pada 2010, kejadian-kejadian kekerasan yang dipicu oleh aksi beberapa kelompok fundamentalis sebenarnya sudah mulai merebak. Penulis artikel itu seperti mengabaikan begitu saja peristiwa-peristiwa tersebut. Ia lebih suka memilih angle positif mengenai peranan konstruktif umat Islam dalam pembentukan wadah bersama untuk menyelenggarakan kehidupan kolektif yang inklusif. Ia menghargai pilihan umat Islam untuk melebur diri menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Menurutnya, pilihan itu adalah semacam pengorbanan karena umat Islam rela meredupkan identitas partikularistiknya – sambil menyembunyikan klaim mayoritarialnya – dan lalu menempuh sebuah strategi politik kebudayaan untuk memberi tempat bagi semua kelompok lain dalam kedudukan yang sama dan setara. Dengan politik kebudayaan semacam itu, kebesaran hati dan kepercayaan diri yang tinggi ditunjukkan oleh umat Islam. Mereka menempuh strategi itu karena keyakinan bahwa kehidupan kolektif sebagai bangsa adalah ladang amal, sebuah arena fastabiq al-khairat, di mana mereka membuka diri dan mengajak semua golongan lain untuk berpartisipasi di dalamnya. Dalam sejarah, kita mengetahui bagaimana pandangan Mohammad Hatta tentang pilihan itu – sebuah pandangan yang akhirnya juga dianut oleh Hadikusumo, Natsir, dan tokoh-tokoh Islam lainnya.

Melihat dengan perspektif seperti itu, penulis artikel di atas menilai bahwa umat Islam berjasa menciptakan format besar kehidupan publik dan civic di mana kelompok-kelompok minoritas bukan hanya memiliki hak untuk dilindungi tapi harus bisa merasa nyaman menjadi bagian inheren sebuah common-good. Untuk itulah ia merasa berkewajiban mengucapkan terima kasih yang tulus, karena umat Islam berhasil menerapkan ajaran Islam mengenai rahmatan lil-alamin. Ucapan terima kasih itu dikemukakan pada saat umat Islam merayakan Idul Fitri, tiga tahun lalu.

***

Sekarang, tiga tahun setelah ucapan terima kasih itu dikemukakan, saya tidak tahu apakah Andang Binawan masih berpikir seperti itu. Pada hari Natal yang akan segera dia rayakan tahun ini, dia pasti sudah atau sedang menyaksikan umat Islam kalang kabut dan ribut bertengkar dengan sesamanya sendiri mengenai boleh tidaknya mereka ikut merayakan hari besar itu dengan sekadar memberi ucapan selamat kepada orang-orang Kristen.

Makin tahun makin nyaring kelompok-kelompok umat Islam yang mengharamkan ucapan suka cita itu. Mulai dari spanduk-spanduk di jalanan terbuka, fatwa MUI, pernyataan resmi beberapa organisasi Islam, hingga sms anak-anak Muslim usia sekolah dasar, keributan menjelang Natal semakin meluas. Dan ini tak terhindarkan menimbulkan kesan bahwa ekspresi-ekspresi ekslusioner Muslim terhadap Kristen sesungguhnya masih sangat kuat, dan mudah dikobarkan. Mereka yang mengobarkan sentimen anti perayaan Natal berusaha memperlihatkan wacana bahwa perayaan Natal yang dilakukan kaum Nasrani adalah semacam agresi terhadap wilayah akidah kaum Muslim.

Suara-suara bising beberapa ulama yang berkeras kepala menyebarkan pandangan di atas – pandangan bahwa mengucapkan selamat Natal kepada orang-orang Kristen bisa merusak akidah – itu seperti mencemari pandangan jernih para ulama lain bahwa tindakan memberi ucapan selamat Natal hanyalah sebentuk praktek etika sosial. Lagi pula, demikian seorang ulama berpandangan, tidak ada masalah sama sekali memberi ucapan selamat menyambut kelahiran Nabi Isa yang dirayakan para pengikutnya.

Sebagian umat Islam menjadi bingung dengan pandangan yang saling bertolak belakang ini. Konflik internal di kalangan umat Islam terjadi, setidaknya pada tingkat percekcokan. MUI menjadi pemicu paling agresif, diikuti oleh beberapa organisasi Islam yang selama ini mendukungnya, sesuai dengan kalkulasi dan tujuan politik masing-masing.

Saya bisa merasakan betapa bingungnya orang-orang Kristen menghadapi sikap kaum Muslim yang terbelah-belah setiap memasuki bulan Desember. Tetapi di tengah-tengah kebingungan itu rata-rata mereka bersikap santai, dengan mengatakan tidak masalah diberi ucapan selamat atau tidak oleh saudara-saudara Muslimnya. Sebagian yang lain bahkan sangat memaklumi dan menganjurkan agar kaum Muslim tidak perlu mengucapkan ucapan selamat apapun jika itu bisa menganggu keyakinan mereka. Hanya sedikit yang bereaksi norak atau marah dan sinis dengan menegaskan bahwa umat Kristen tidak membutuhkan ucapan selamat apapun dari kaum Muslim.

Di tengah-tengah sikap rata-rata orang Kristen itu, perlu juga ditengok sikap rata-rata kaum Muslim pada umumnya yang mengambil pandangan moderat. Mereka dengan enteng tetap saja mengucapkan selamat Natal kepada rekan-rekan Kristennya. Mereka bahkan melihat sikap MUI aneh. Tak jarang kaum Muslim moderat ini mulai unjuk ayat dan dalil untuk menegaskan pandangan mereka bahwa tindakan memberi ucapan selamat itu justru dianjurkan karena kaum Muslim juga diminta menghormati semua Nabi, termasuk Nabi Isa, atau Yesus, alaihisalam. Jadi, mengucapkan selamat Natal bukan saja merupakan praktek etis dalam kehidupan sosial, tetapi juga sikap teologis untuk menghormati salah satu Nabi yang di dalam Qur’an disebut “sangat terkemuka di dunia dan di akhirat” itu.

***

Jadi, dengan melihat moderasi pada kedua kelompok agama itu, sesungguhnya kita perlu melihat kembali kegaduhan berkala di setiap Desember ini. Sementara mainstream pada kedua kelompok agama tidak menginginkan kegaduhan berlanjut menjadi konflik, kita melihat arus lain bekerja ke arah yang sebaliknya. Dan ini sepenuhnya adalah permainan politik belaka.

Upaya konservatisasi agama terus menerus dipertajam oleh agen-agen yang menginginkan konflik sosial berbasis agama makin meluas di sekitar kita. Tak tanggung-tanggung, agen konservatisasi itu adalah MUI sendiri. Ingat, sebelumnya MUI berhasil menelorkan fatwa anti-pluralisme dengan tujuan agar umat Islam menjadi kelompok eksklusif. Dengan cara ini umat Islam terus digosok-gosok ke arah eksklusivisme dalam kehidupan sosial-keagamaannya, dengan konsekuensi agar secara politik makin dikesankan sebagai kelompok yang menolak citizenship. Agenda untuk bertahan dan berjuang sebagai “umat” akan dianggap sebagai pilihan politik yang lebih absah ketimbang berintegrasi sebagai “bangsa.”

Demikianlah, jika umat Islam berhasil diprovokasi untuk bergerak di luar trajektori kebangsaan dan berada “di luar Indonesia,” maka mereka akan terus menjadi kambing congek abadi dalam berbagai dinamika politik nasional. Jika mereka berhasil terperosok ke dalam lobang jebakan itu, maka mereka tentu tak akan punya legitimasi lagi untuk terlibat dalam politik nasional lebih jauh ke masa depan. Jika demikian, alangkah sialnya nasib umat di bawah proyek konservatisasi MUI itu. ***