
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu, telah memicu perdebatan luas di berbagai kalangan. Perubahan ini memungkinkan personel militer aktif untuk menduduki lebih banyak jabatan sipil serta memperpanjang usia pensiun perwira tinggi. Pemerintah beralasan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Namun, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa perubahan ini justru akan menghidupkan kembali dominasi militer dalam ranah sipil dan mengancam demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi 1998.
Sejak runtuhnya Orde Baru, salah satu pencapaian terbesar reformasi adalah pemisahan antara institusi militer dan sipil guna memastikan supremasi sipil dalam pemerintahan. UU TNI yang disahkan pada 2004 menegaskan bahwa peran TNI terbatas pada pertahanan negara dan tidak boleh terlibat dalam politik maupun jabatan sipil, kecuali di lembaga tertentu. Namun, dengan revisi terbaru, personel militer kini diizinkan untuk menduduki jabatan di berbagai institusi negara, termasuk di bidang hukum dan keamanan dalam negeri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pelemahan kontrol sipil terhadap militer, yang dapat mengarah pada dominasi militer dalam kebijakan publik.
Supremasi sipil merupakan prinsip mendasar dalam sistem demokrasi yang menempatkan otoritas sipil di atas militer dalam pengambilan keputusan. Jika militer semakin banyak terlibat dalam pemerintahan, maka ada potensi besar terjadinya kemunduran demokrasi. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan peran militer yang kuat dalam pemerintahan cenderung mengalami penurunan indeks demokrasi dan keterbatasan dalam kebebasan sipil. Dalam konteks Indonesia, revisi ini berisiko membawa kembali pola hubungan sipil-militer yang pernah terjadi pada masa Orde Baru, di mana militer tidak hanya mengelola urusan pertahanan tetapi juga memiliki peran besar dalam birokrasi dan politik.
Menurut Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia, “dominasi militer dalam pemerintahan Indonesia telah berlangsung lama, dan reformasi 1998 memberikan peluang bagi supremasi sipil untuk mengoreksi keterlibatan militer yang terlalu dalam dalam kehidupan politik” (Crouch, 2007: 219). Namun, jika UU TNI yang baru ini diterapkan tanpa pengawasan yang ketat, kita mungkin akan melihat kembali pola lama di mana militer kembali memiliki posisi dominan dalam berbagai sektor sipil.
Belajar dari Myanmar dan Thailand
Beberapa negara telah mengalami dampak negatif dari meningkatnya peran militer dalam pemerintahan sipil, yang berujung pada kemunduran demokrasi dan meningkatnya otoritarianisme. Myanmar adalah contoh nyata bagaimana dominasi militer dalam politik dapat menghancurkan demokrasi. Setelah reformasi politik negeri Su Kyi ini pada 2010, militer tetap mempertahankan pengaruh besar dalam pemerintahan melalui konstitusi 2008 yang memberi mereka 25% kursi di parlemen serta kendali atas kementerian pertahanan, dalam negeri, dan perbatasan.
Pada 2021, militer melakukan kudeta dengan alasan kecurangan pemilu, yang berujung pada krisis politik dan kemanusiaan yang berkepanjangan. Kasus Myanmar menunjukkan bahwa tanpa pemisahan yang jelas antara sipil dan militer, demokrasi bisa dengan mudah dikendalikan atau dihancurkan oleh kekuatan bersenjata.
Thailand juga menjadi contoh bagaimana intervensi militer dalam pemerintahan dapat menghambat demokrasi. Sejak 1932, militer telah beberapa kali mengambil alih pemerintahan melalui kudeta, dengan yang terbaru terjadi pada 2014 ketika Jenderal Prayuth Chan-o-cha menggulingkan pemerintah terpilih. Meskipun konstitusi baru disusun pada 2017, militer tetap memiliki pengaruh besar dalam politik, termasuk dalam penunjukan anggota senat yang memiliki kekuasaan signifikan dalam pemilihan perdana menteri.
Dalam konteks Indonesia, penguatan peran militer dalam pemerintahan sipil berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara aparat militer dan birokrasi sipil. Selain itu, proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan dapat menjadi lebih tertutup, mengingat militer memiliki tradisi hierarkis yang berbeda dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dianut dalam sistem demokrasi. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, kebijakan yang dibuat oleh pejabat militer di lembaga sipil dapat mengarah pada keputusan yang lebih mengutamakan kepentingan keamanan dibandingkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Tokoh yang Bisa Diteladani
Jika kita mencari siapa nama tokoh yang bisa dijadikan panutan dalam konteks ini. Maka saya bisa menyebut satu nama: K.H Abdurrahman Wahid. Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sangat tegas dalam menegakkan supremasi sipil di Indonesia. Sebagai presiden yang berasal dari kalangan sipil, ia memahami betul bahwa demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika militer berada di bawah kendali otoritas sipil. Salah satu langkah progresif yang diambilnya selama menjabat adalah membatasi peran TNI dalam politik dan institusi sipil, sejalan dengan semangat reformasi 1998 yang ingin menghapuskan Dwifungsi ABRI.
Menghormati warisan Gus Dur berarti menjaga agar demokrasi Indonesia tetap berjalan di atas prinsip supremasi sipil, transparansi, dan kebebasan sipil. Jika prinsip ini diabaikan, maka apa yang diperjuangkan dalam reformasi bisa terkikis sedikit demi sedikit, membuka jalan bagi potensi otoritarianisme yang bertentangan dengan cita-cita demokrasi Indonesia.
Menurut Marcus Mietzner dalam Military Politics, Islam, and the State in Indonesia, “Gus Dur memahami bahwa reformasi militer adalah elemen kunci dalam transisi demokrasi Indonesia, dan ia berusaha menghapus pengaruh militer dalam politik dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh presiden sebelumnya” (Mietzner, 2009: 312). Upaya ini harus terus dijaga agar demokrasi Indonesia tetap berada pada jalur yang benar.
Untuk menjaga keseimbangan antara pertahanan nasional dan supremasi sipil, perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap implementasi revisi ini. Pemerintah harus memastikan bahwa perluasan peran militer dalam jabatan sipil tidak mengarah pada intervensi militer dalam politik dan kebijakan publik. Selain itu, peran parlemen dan masyarakat sipil dalam mengawasi kebijakan ini harus diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan demokrasi.
(AN)