
Organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia, tidak hanya dikaitkan dengan premanisme, tapi juga diasosiasikan dengan aktivitas sosial keagamaan, advokasi kebijakan, hingga aksi massa yang mempengaruhi kontestasi politik lokal dan nasional. Namun, peran ormas tidak bisa direduksi pada gerakannya di masa kini; ia perlu dilihat juga sebagai produk historis dari benturan struktur negara, kapitalisme, dan politik identitas.
Tulisan ini akan menelaah singkat historisitas ormas keagamaan serta relevansinya dalam pembangunan kesejahteraan sosial, serta mendudukannya dalam konteks analisis ekonomi politik.
Dari Kolonialisme, Nasionalisme ke Pembangunanisme
Organisasi masyarakat di Indonesia tidak lahir di ruang hampa. Sejak masa kolonial, peran awal ormas memainkan pengaruh menantang kekuasaan kolonial dan membentuk identitas kolektif. Sarekat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), dan Nahdlatul Ulama (1926) muncul sebagai respons atas marginalisasi ekonomi, politik, dan budaya yang dialami bumiputera. Seperti dikemukakan oleh Robert van Niel, “Indonesian nationalism emerged not only from political desire for self-rule but also from social discontent channeled through religious and community organizations,” (van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, 1960).
Ormas tidak hanya mengoperasikan arena mobilisasi politik, tapi juga saluran distribusi sumber daya, pengetahuan, dan legitimasi moral.
Kolonialisme telah menciptakan ketimpangan struktural, dan ormas menjadi sarana artikulasi kepentingan kelas bawah. Dalam konteks ini, Gramsci menyebut organisasi-organisasi sipil sebagai bagian dari società civile yang dapat memainkan peran hegemonik vis-à-vis negara.
Setelah kemerdekaan, ormas mengambil bentuk mengikuti konfigurasi kekuasaan. Kekuasaan dimaknai tidak monolitik melainkan tersebar dan relasional.
Di masa Orde Baru, negara melakukan domestikasi terhadap ormas melalui pendekatan korporatisme negara (state corporatism). Konsep ini merujuk pada pengorganisasian masyarakat sipil oleh negara guna menjaga stabilitas dan mengontrol gerakan sosial (Schmitter, 1974).
Ormas dipaksa masuk ke dalam sistem pembinaan oleh pemerintah dan diatur melalui UU Keormasan. Begitu juga ormas saat tertentu memainkan sejumlah agenda mendukung sistem pasar atau mengimbagi kekuatan pasar.
Organisasi seperti NU dan Muhammadiyah menjadi mitra pembangunan, tetapi dalam kerangka kendali politik. Sebagaimana dicatat oleh Harold Crouch, “The New Order depoliticized mass organizations by integrating them into the state apparatus while maintaining the illusion of participatory development” (Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 1978).
Baca juga: Putri Gus Dur dan 11 Aktivis Gugat Izin Tambang Ormas
Ormas NU dan Muhammadiyah tampak partisipatif namun semu dan bersifat sermonial. Padahal dengan basis sosial yang jelas kedua ormas tersebut penting menyuarakan kepentingan anggotanya. Berbeda lagi dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dalam mengakses sumber daya dan menjaga stabilitas lebih signifikan dalam membangun legitimasi ideologi “Pembangunanisme” negara, di mana tidak sedikit fatwa keagamaan digunakan untuk menyokong kebijakan politik pemerintah.
Ormas kehilangan otonominya, tetapi pada saat yang sama mereka mendapatkan akses terhadap sumber daya pembangunan: proyek-proyek sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Maka, terjadi kontradiksi laten antara fungsi advokasi dengan insentif materialistik dari pemerintah. Bagi kelompok politik yang tidak sejalan dengan kepentingan kekuasaan, akan dibatasi akses terhadap sumber daya dan mengalami marjinalisasi.
Deregulasi, Desentralisasi, dan Re-politikalisasi Ormas
Reformasi 1998 membuka kran kebebasan berserikat. Ormas mengalami booming luar biasa, baik kuantitas maupun spektrum ideologis. UU No. 17/2013 tentang Ormas dan revisinya mengatur keberadaan organisasi kemasyarakatan, tetapi pada praktiknya terdapat ambiguitas antara pembinaan dan represi.
Desentralisasi fiskal dan politik membuat ormas menjadi aktor penting perebutan sumber daya di tingkat lokal. Di satu sisi, ini memperluas partisipasi dan kontrol sosial, namun di sisi lain, menciptakan kompetisi yang seringkali berujung pada kooptasi politik.
Dalam studi Marcus Mietzner (Military Politics, Islam and the State in Indonesia, 2009), ormas dianggap kekuatan baru yang memainkan peran mobilisasi massa, lobi kebijakan, hingga penyaluran dana bansos. Ormas berubah dari sekadar kelompok keagamaan atau etnis menjadi entitas yang terlibat dalam politik kesejahteraan (welfare politics).
Kita perlu memberikan apresiasi yang besar bahwa ormas telah menjadi penyedia layanan publik alternatif, dari pendidikan hingga kesehatan. Muhammadiyah, misalnya, mengelola lebih dari 400 rumah sakit dan 1.500 sekolah. NU dengan LP Ma’arif dan jaringan pesantrennya juga mengelola pendidikan dalam skala besar. Dalam analisis James C. Scott, (Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, 1985) praktik ini dapat dilihat sebagai bentuk everyday resistance terhadap negara yang gagal memenuhi hak-hak dasar warganya.
Namun, kehadiran ormas sebagai penyedia layanan sosial juga menyimpan dilema.
Pertama, ia memperkuat privatisasi kesejahteraan: negara merasa tak perlu hadir karena ada masyarakat sipil. Kedua, tidak semua ormas menjalankan peran dan fungsinya dengan prinsip inklusivitas dan akuntabilitas.
Bahkan, dalam beberapa kasus, ormas menjadi alat justifikasi kekuasaan melalui pengelolaan bansos, hibah, dan CSR yang bersifat transaksional. Kesejahteraan berubah jadi komoditas politik yang ditukar dengan loyalitas atau suara. Hal ini sejalan dengan tesis Ferguson tentang anti-politics machine di mana proyek kesejahteraan menyembunyikan relasi kuasa (Ferguson, The Anti-Politics Machine, 1994).
Akumulasi, Kooptasi, dan Resistensi
Dari perspektif ekonomi politik, ormas bukan hanya aktor moral, tapi juga pelaku ekonomi. Mereka mengelola lembaga pendidikan, rumah sakit, koperasi, travel perjalanan, bahkan aset properti. Dalam banyak kasus, ormas telah menjadi entitas semi-korporasi. Sumber daya mereka berasal dari sumbangan, zakat, APBN/APBD, hingga dana hibah asing.
Model ini menciptakan insentif ekonomi untuk memperluas pengaruh, namun juga memunculkan ketegangan internal antara idealisme dan pragmatisme. Dalam kerangka Bourdieu, ormas beroperasi dalam medan (field) di mana kapital simbolik (legitimasi moral), kapital ekonomi (sumber daya), dan kapital sosial (jaringan) saling berinteraksi.
Kooptasi juga terjadi dalam bentuk aliansi politik. Banyak elit ormas yang masuk ke dalam partai politik atau mendukung calon kepala daerah demi melindungi kepentingan organisasinya. Maka terjadi simbiosis antara oligarki politik dan aristokrasi ormas. Ini sejalan dengan kritik Jeffrey Winters bahwa demokrasi Indonesia mengalami oligarchic capture (Oligarchy, 2011).
Namun demikian, ormas juga menjadi ruang resistensi. Dalam konteks desa, banyak ormas lokal mengambil peran dalam advokasi anggaran, pendidikan partisipatif, dan pengawasan layanan dasar. Mereka menjadi bagian dari gerakan inklusi dan akuntabilitas sosial.
Di sinilah pentingnya membedakan ormas sebagai entitas sosial dengan ormas sebagai alat kekuasaan.
Baca juga: Menimbang Risiko dan Kontroversi Kebijakan Tambang Jokowi dan Upaya Kooptasi Ormas Keagamaan
Langkah ke depan adalah bagaimana mendorong ormas agar tidak menjadi bagian dari neo-patrimonialisme, yakni pengelolaan sumber daya sosial berdasarkan patronase dan loyalitas personal. Dibutuhkan desain kebijakan yang mendorong akuntabilitas, inovasi sosial, dan kolaborasi setara antara pemerintah dan ormas.
Peluang besar terbuka dalam bidang teknologi dan digitalisasi. Ormas dapat memainkan peran dalam civic tech, sistem informasi pelayanan sosial, dan transparansi anggaran publik. Tetapi hal ini membutuhkan literasi digital dan etika publik yang kuat. Pendekatan advokasi dibangun dengan pendekatan teknologi sangat dibutuhkan guna menjaga transparansi dan akuntabilitas program pemerintah.
Pendekatan co-production menurut Ostrom, (Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development, 1996) bisa dijadikan kerangka teoritik: kesejahteraan sosial tidak hanya disediakan oleh pemerintah atau pasar, tetapi juga melalui produksi bersama oleh warga dan komunitas, termasuk ormas.
Ormas adalah entitas kompleks yang tidak bisa dibaca hitam-putih. Ia merupakan produk sejarah, medan ekonomi politik, sekaligus laboratorium inovasi sosial.
Untuk tetap relevan, ormas harus memainkan posisi dan jarak kritis terhadap pemerintah dan pasar, serta membangun tata kelola yang transparan, inklusif, dan partisipatif. Kesejahteraan sosial tidak bisa diharapkan jika ormas hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, atau terjebak logika akumulasi modal.
Tantangan Kesejahteraan dan Masa Depan Ormas
Salah satu tantangan ke depan, bagaimana memastikan organisasi masyarakat (ormas) tidak terjebak pola neo-patrimonialisme, di mana relasi sosial dibangun atas dasar loyalitas personal dan kepentingan kelompok, bukan pada prinsip keadilan sosial dan partisipasi publik. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sejatinya telah memberikan arahan normatif yang progresif: ormas dimandatkan meningkatkan kualitas dan kuantitas partisipasi untuk keberdayaan masyarakat, menjaga dan melestarikan norma, nilai, serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimanapun ormas sangat penting membangun dan menjaga moral publik sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan.
Meski praktiknya kerap menunjukkan bias dari mandat tersebut, banyak ormas pada akhirnya bergerak parsial, eksklusif, bahkan transaksional. Tidak jarang ormas berlindung di balik jargon “menjaga persatuan” demi menjalankan praktik intimidatif terhadap kelompok rentan dan lemah.
Di sisi lain, sejumlah ormas lingkungan hidup justru memicu konflik horizontal dengan komunitas lokal karena abai terhadap akar budaya dan struktur kepemilikan ruang. Lebih mencemaskan lagi, terdapat indikasi beberapa ormas telah menjadi kanal kepentingan kekuatan politik global, menjadikan mereka tidak lagi independen dalam tugas dan fungsinya.
Di titik inilah urgensi penataan ulang hadir. Pemerintah perlu memiliki pemahaman lebih strategis, terukur dan terang tentang bagaimana seharusnya menempatkan ormas dalam negara dan kepentingan global. Dibutuhkan desain kebijakan yang tidak sekadar mengatur, tetapi juga mendorong co-production antara negara dan ormas dalam menghasilkan pelayanan sosial, perlindungan lingkungan, dan keadilan ekonomi.
Hal ini mencakup pembiayaan program kerja kepada masyarakat yang adil, standar tata kelola yang transparan, serta ruang deliberasi yang menjamin kepastian partisipasi warga.
Inovasi kesejahteraan tidak bisa digerakkan hanya oleh negara atau pasar. Ormas memiliki peranan unik sebagai jembatan antara kebutuhan riil warga dan kebijakan makro, antara nilai-nilai lokal dan struktur kepentingan global. Tetapi potensi ini hanya akan bermakna jika ormas tidak terperangkap dalam logika akumulasi kapital, kooptasi politik, atau klaim moral yang ilusif. Maka, sinergi antara negara dan ormas harus dibangun bukan atas dasar patronase, tapi atas dasar keadaban publik dan etika tanggung jawab sosial.
Pertanyaan perlu terus kita ajukan: tidak hanya apakah ormas benar-benar sedang memperjuangkan kesejahteraan sosial dengan klaim moral, atau justru makelar kekuasaan dengan mereproduksi ketimpangan bahkan ‘ketakutan’ dalam bentuk berbeda? Lalu bagaimana pemerintah mengambil peran atas hal tersebut?