Setiap tahun umat Islam di Indonesia selalu memiliki tiga agenda keriuhan yang sama. Perseteruan antara penganut rukyat dan hisab ketika awal Ramadan untuk mulai berpuasa, akhir Ramadan atau awal Syawal untuk hari raya Idul Fitri, serta pada bulan Dzulhijah untuk menentukan waktu Idul Adha.
Untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal sudah berlalu dengan segala macam adu dalil mengenai rukyat dan hisab. Namun masih ada satu lagi yang masih belum selesai dan akan berlangsung dalam waktu dekat, yaitu penentuan 10 Dzulhijah yang memiliki dampak kepada perayaan Idul Adha.
Sebelumnya, mari kita liat sekilas mengenai hisab dan rukyat secara singkat.
Hisab adalah metode penghitungan matematis yang memperkirakan pergerakan bulan untuk menentukan kalender Hijriah. Sedangkan rukyat yang berlaku saat ini sebenarnya adalah gabungan dari metode hisab dan pengamatan bulan sabit atau hilal di lapangan. Jadi jika menurut perhitungan sebenarnya sudah awal bulan tetapi di lapangan masih belum terlihat hilal maka awal bulan ditetapkan menjadi lusa bukan keesokan hari.
Untuk penganut hisab, masalah ini relatif gampang. Hitung-hitungannya jelas. Semuanya sudah selesai bahkan dari awal tahun. Hal ini membuat ibu-ibu tidak perlu galau kapan harus mulai memasak sajian lebaran.
Untuk para penganut rukyat ada tantangan tersendiri. Ini bukan mengenai perhitungan atau metode pengamatan yang dianut tapi mengenai waktu atau jam untuk melakukan rukyat.
Menurut kesepakatan para ulama yang menganut rukyat, hilal itu hanya bisa terlihat sesaat ketika maghrib. Sebelum itu maka mustahil bisa terlihat.
Maghrib itu artinya waktu yang sangat relatif terutama di Indonesia. Untuk kawasan Indonesia bagian barat, maghrib itu dimulai pada pukul 6 atau 7 sore. Sebenarnya mirip dengan waktu di Indonesia tengah dan Indonesia Timur, maghrib dimulai pada pukul 6 atau 7 sore setempat.
Permasalahan yang timbul sebenarnya karena bentang kepulauan Indonesia yang cukup besar dan kurang sadarnya orang-orang di dalamnya. Karena luasnya, Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah waktu yang berbeda. Nah, masalah pembagian wilayah waktu ini yang sering kali terlupakan oleh kita.
Seringkali ini menjadi tantangan yang serius ketika melakukan perencanaan untuk keperluan acara secara daring. Biasanya orang-orang hanya merujuk ke waktu Jakarta yang notabene adalah WIB tapi melupakan peserta yang berasal dari Indonesia Timur. Mereka harus menghitung dan menyesuaikan sendiri dengan waktu di wilayah mereka.
Akibatnya adalah para peserta dari Indonesia Timur seringkali harus mengikuti kegiatan di luar jam wajar mereka. Misalnya ketika janjian jam 7 malam waktu Jakarta, maka itu artinya mereka harus mengikuti acara tersebut pada pukul 9 malam waktu setempat.
Masalah yang sama juga terjadi untuk daerah yang berada di ujung paling barat yaitu Aceh. Jam 7 malam waktu Jakarta artinya adalah waktu maghrib di Aceh. Biasanya mereka baru akan salat lalu makan malam di waktu-waktu tersebut, sementara di Jakarta pada jam segitu sudah mulai senggang dan bersiap untuk agenda kegiatan selanjutnya.
Kembali ke masalah rukyat. Sidang Isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama biasanya dimulai pada pukul 5 sore waktu Jakarta hingga selesai sekitar pukul 7 malam waktu Jakarta.
Untuk wilayah dalam zona WIB tentu saja tidak ada masalah. Mereka masih punya banyak waktu untuk melakukan tarawih (ketika bulan puasa) ataupun takbiran sesuai dengan keputusan dari pemerintah. Wilayah dalam zona waktu WITA masih agak netral, tarawih (ketika bulan puasa) atau takbiran masih tidak terlalu malam karena mereka hanya berselisih satu jam dengan WIB. Tapi untuk wilayah dalam zona WIT maka itu menjadi tantangan tersendiri.
Kalau sidang isbat selesai pada pukul 7 malam WIB, maka itu artinya orang-orang di daerah dalam zona waktu WIT (kawasan Kepulauan Maluku dan Papua) akan mendapatkan kepastian untuk lanjut bertarawih (ketika bulan puasa) ataupun takbiran pada pukul 9 malam.
Walaupun tentu saja persiapan sudah dilakukan sejak sore hari tapi tetap saja menunggu berita kepastian itu tidak enak.
Para emak-emak bakalan galau, apakah ikan kuah kuning akan dimasak malam ini atau besok. Cabai dan bawang apakah akan dirajang malam ini atau besok.
Mungkin sudah saatnya untuk mendiskusikan agar Kepulauan Maluku dan Papua bisa melakukan sidang isbat mereka sendiri. Tentu saja dengan pengawasan dan prosedur yang sesuai dengan standar dari Kementerian Agama. Nanti hasilnya tinggal dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dengan cara ini, paling tidak saudara-saudara kita di Kepulauan Maluku dan Papua akan mendapatkan kepastian pada saat mereka membutuhkannya. Emak-emak di sana juga akan mendapatkan kepastian mengenai masakan mereka, apakah akan diteruskan malam ini ataukah dilanjutkan besok. (AN)