Ketika diwawancarai Tim Blak-blakan detik.com yang tayang 11/12, saya enggan menjawab spesifik terkait dengan AD ART sebuah ormas yang menyebut Islam kafah. Saya lebih tertarik untuk menampilkan dan mengelaborasi 10 prinsip jaringan Jama’ah Islamiyah (JI) yang sudah masuk list teroris internasional.
Saya menyebutkan bahwa prinsip ke 10 dari prinsip dasar JI adalah “Pengamalan Islam kita adalah secara murni dan kaffah dengan sistem jamaah (komunitas), kemudian daulah (Negara), kemudian khilafah.”
Saya lantas menyoroti pemakaian istilah Islam Kafah yang menurut saya adalah sesuatu yang sangat salah kaprah, meski sering dijadikan sebagai parameter dan variabel kesalehan seseorang dan bahkan sebuah komunitas. Kata “kafah” ini dalam kamus-kamus bahasa (Arab, red.) artinya: semua, keseluruhan dan sekalian tanpa kecuali.
Kesimpulan ini saya ambil setelah melakukan pembacaan terhadap berbagai referensi baik dalam bidang tafsir Al-Qur’an, hadis Nabi dan juga ilmu bahasa termasuk filologi. Saya mencoba untuk berpikir “Mausu’iy – Ensiklopedis” dan bukan “Parsial Fragmentaris”.
Saya mendasarkan kesimpulan “penyalah-kaprahan istilah Islam kafah” tersebut dengan bukti bahwa kata “kafah” hanya dipakai 5 kali dalam 4 ayat dalam Al-Qur’an dan selalu berkaitan dengan plural (jamak) dan bukan dengan mufrad (tunggal). Sementara kata kafah dalam surat al-Baqarah ayat 208 yang sering dijadikan sebagai dasar penyebutan Islam Kafah tidak bisa disematkan ke dalam kata “as-silmi” (Islam atau damai) yang berbentuk tunggal (mufrad).
Bukti lain, 35 kali kata kafah disebut dalam al-Kutub al-Tis’ah atau 9 kitab hadis utama yaitu Sahih Bukhari sekali, Sahih Muslim 6 kali, Jami atau Sunan Tirmidzi 2 kali, Sunan Abu Dawud 2 kali, Sunan Nasai 4 kali, Sunan Ibnu Majah, Muwatta Malik, Musnad Ahmad 17 kali dan Sunan Darimi 3 kali. Tidak percaya? Mari buka kitab-kitab tersebut edisi cetakan fisik, ya!
Saya pelajari kitab-kitab tersebut dengan “sanad bersambung” di Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak langsung dengan bimbingan Kyai pada tahun 1981-1983. 35 kata kafah dalam 9 kitab hadis ini juga selalu dikaitkan dengan bentuk jamak (plural) seperti kata an-Nas (manusia) dan al-khalq (makhluk).
Saya kritisi istilah ini karena “Islam kafah” faktanya sering dijadikan sebagai branding bahwa Islam itu harus agama dan negara (religion and state), shalat dan perang, pena dan peluru, lidah dan pedang, hijrah dan khilafah. Pemerintahan yang tidak “ber-Islam-kafah” sering dituduh dengan pemerintahan taghut yang harus “dihancurkan”.
Bagi komunitas tertentu, istilah Islam kafah ini juga sering dijadikan sebagai “alat sakti” pembenar dan justifikasi “pengkaplingan sorga dan kebenaran”.
Penyematan “kafah” sebagai penegasan terhadap kata as-silmi (Islam) bagi saya adalah salah satu bentuk “pemerkosaan epistemik gramatikal”. Tidak pernah kita temukan kata “kafatul Islam” karena Islam itu satu dan tunggal, berbeda dengan kafatul muslimin (semua orang Islam), kafatal mukminin, kafatal musyrikin (seluruh atau semua orang musyrik) dll.
Kita ingat bahwa gramatikal Arab hanya mengenal mufrad (singular), mutsanna (dual) dan jamak (plural). Singular dan dual tidak boleh memakai label “kafah”.
Untuk memperjelas kesimpulan tersebut, saya mencoba menghadirkan memori kolektif ketika belajar Tafsir Jalalain (bukan jalan lain) di depan K.H Asror Kaliwungu dan K.H Ibadullah Irfan (mertua K.H Dimyati Rais) dan Tafsir as-Sawi-nya pada tahun 1980. Juga mencoba menghadirkan kajian Tafsir Munir-nya Nawawi al-Bantani dengan bimbingan K.H Solihin Syafi’i Ngrangkok Kandangan Kediri 1984.
Namun dalam penjelasan wawancara dengan tim detikcom, saya tegaskan bahwa pendapat ini bukan untuk menghegemoni kebenaran karena saya berpegangan dengan filosofi tradisi keilmuan yang mengatakan, “Pendapat kami ini benar tapi ada kemungkinan untuk salah dan pendapat selain kami adalah salah tapi ada kemungkinan untuk menjadi benar.”
Istilah Islam Kafah yang salah kaprah tersebut hanya ditemukan di Indonesia saja (juga Malaysia). Yang jelas jika kita masukkan keyword “al-islam al-kafah (dengan teks arab)” ke dalam mesin google, pasti tidak akan pernah ada jawaban karena google dengan bahasa mesin algoritmanya “paham dan mengerti” kalau istilah tersebut tidak memenuhi syarat gramatikal Arab meski tingkat pemula.
Tulisan ini hanya kegelisahan seorang santri yang masih berproses dari “ketidaktahuan” menuju “sedikit-tahu”. Bukan bertujuan, meminjam mazhab Didi Kempot, “mengambyarkan” sebuah “tradisi kolektif” dalam mempopulerkan diksi Islam Kafah yang salah kaprah tersebut.
Sebagai penutup, saya teringat kata-kata bijak dari Sayyiduna (Sayyidina juga boleh) Umar bin Khattab:
ومراجعة الحق خير من التمادي في الباطل
Kembali secepatnya kepada sebuah kebenaran adalah lebih baik ketimbang harus berlarut-larut dalam ketidak-pastian epistemologis.
Atau diksi dan istilah “Islam Kafah” harus kita masukkan ke dalam kamus “Mu’jam al-Akhtha’ as-Sayyi’ah”???? sebuah kamus yang mengungkap kesalahan istilah-istilah populer tapi tidak memiliki landasan keilmuan. Saran kami, akan lebih elegan kalau kita mengatakan Islam sempurna, komplit, komprehensif dengan berdasar pada Al-Maidah ayat 3. (AN)
Riyadh 17 Desember 2019