Sekeliling kota Banjarmasin mulai sebulan yang lalu hingga kemarin akhir hari Nahr (idul adha), diramaikan dengan beberapa spanduk iklan soal ibadah kurban dari berbagai organisasi. Target iklan tersebut sangat jelas menyasar kalangan masyarakat kelas menengah muslim yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah kurban. Iklan kurban dipercaya bisa menarik masyarakat untuk menggunakan jasa organisasi mereka dalam menyalurkan daging kurban mereka. Irisan iklan dengan ibadah memang bukan barang baru dalam agama Islam, sebab cukup banyak ibadah sudah dikemas dalam bentuk iklan baik dari sebuah organisasi masyarakat atau perusahaan.
Iklan dan narasi agama di era pascamodern sekarang memang cukup sering beredar di masyarakat yang memiliki kecenderungan keberagamaan yang cukup tinggi. Kehadiran agama di ruang virtual atau visual memang selalu menarik diperbincangkan. Seperti, tidak luntur dalam ingatan kita semua tentang iklan salah satu perusahaan pakaian muslim yang memainkan permainan bahasa dalam menjual produknya.
Iklan di ibadah kurban memiliki keunikan tersendiri yang perlu diteroka secara seksama, karena di dalamnya tidak hanya mengandung tawaran jasa pengelolaan kurban belaka tapi juga menawarkan nilai moralitas dan spiritualitas yang lebih dalam ketimbang penyembelihan tradisional di wilayah terdekat tempat tinggal. Sisi tawaran spiritualitas dan moralitas ini yang cukup menarik diperbincangkan lebih mendalam dengan pertanyaan utama yakni narasi apa yang terselip dalam iklan tersebut.
Narasi yang dikembangkan di sebuah iklan tidak akan berhenti dalam satu posisi pemaknaan yang stais. Dia terus berubah dan bergerak tergantung tanda yang diberi makna oleh sang pengiklan. Iklan kurban tidak hanya menawarkan jasa namun juga spiritualitas dan moralitas baru yang mendekonstruksi model ibadah kurban terdahulu.
Pemodal iklan tersebut bahkan cukup berani memakai jasa dari para artis, tentu yang sedang atau sudah “berhijrah”, sebagai model iklan mereka. Entah dibayar atau tidak, tapi kemunculan artis tersebut menambah ramai narasi yang digunakan oleh pengiklan untuk mencapai targetnya.
Setidaknya ada tiga unsur utama dalam iklan kurban yang berkelindan serasi dan saling melengkapi, yaitu nilai spiritualitas dan moralitas baru, narasi kemakmuran, dan model keberagamaan masyarakat. Dalam sebuah masyarakat yang memiliki spirit beragamanya cukup tinggi, posisi agama menjadi sangat vital. Agama tidak lagi difungsikan sebagai jalan spiritual paling privat antara hamba dan Tuhan, tapi fungsinya menjadi meluas hingga menjadi standar moral paling dipercaya sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kedamaian di dunia.
Dalam posisi doktrin dan dogma agama menjadi jalan satu-satunya dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, standar kehidupan manusia akhirnya diukur dengan seberapa beragamanya dia. Menariknya adalah ukuran atau standar yang dipakai adalah keberagamaan yang bersifat lapisan luar. Seberapa banyak uang yang sudah disumbangkan, berapa kali berumrah atau berhaji, sudah berapa ayat hapal dan lain-lain. Standar yang digunakan tersebut memang tidak bisa disalahkan, namun dalam standar yang digunakan terselip kontestasi kesalehan yang memanfaatkan komodifikasi agama sebagai medianya.
Kurban yang pada awalnya diasumsikan sebagai ibadah seorang hamba yang menyatakan kencintaan dan kebaktiaanya kepada Tuhan. Tapi di sebuah iklan, kurban juga bisa dilihat sebagai kontestasi kesalehan dan dekonstruksi model keberagamaan terdahulu. Model kurban tradisional di setiap langgar tidak lagi bisa menampung model keberagamaan kelas menengah perkotaan yang menuntut lebih dari sekedar berbagi kepada sesama tetangga.
Greg Fealy menyebutkan telah terjadi “keguncangan identitas” dalam keberagamaan yang dipeluk oleh kalangan kelas menengah muslim perkotaan. Keberislaman mereka disebut Fealy cenderung memiliki selera eklektik yang berpusat pada “diri yang mengkonsumsi”.
Jalur-jalur transmisi pengetahuan agama dan jalan spiritual tidak lagi berpusat pada lembaga otoritatif, agama bagi kelas menengah dipraktikkan lewat praktik-praktik yang terpencar-pencar. Setiap pribadi yang beragama cenderung mencari model keberagamaan masing-masing secara personal, tanpa harus terikat dengan otoritas tertentu.
Dalam kondisi seperti inilah, iklan kurban akhirnya mendapatkan tempat di kalangan kelas menengah yang sedang mencari model berkurban yang lebih ajeg dengan keberagamaan mereka. Tawaran kurban tradisional tidak lagi menarik karena bagi kalangan kelas menengah muslim, kurban seharusnya bisa bermanfaat lebih luas ketimbang hanya dibagikan kepada tetangga sekitar.
Asumsi ini diperkuat dengan semakin berjibun jumlah kurban di wilayah perkotaan, sehingga jumlah daging yang dibagikan juga kian banyak dari tahun ke tahun. Sehingga, efektifitas pembagian daging sebagai bahan makanan kepada yang memerlukan di masyarakat dianggap kurang efektif dan mubazir karena cuma beredar di sekitar wilayah tempat tinggal. Oleh sebab itu, tawaran iklan kurban yang mampu menyebarkan daging kurban ke beberapa wilayah yang dianggap lebih membutuhkan, seakan menjadi oase keislaman kelas menengah.
Alasan di atas memang disandarkan pada ajaran agama Islam yang menyarankan daging kurban lebih bagusnya diberikan kepada yang lebih membutuhkan, tapi di dalamnya ada jebakan sama berbahaya dalam kemudahan yang ditawarkan dalam proses kurban modern. Yaitu, hilangnya kebersamaan dari perjumpaan fisik antar warga hingga empati kepada tetangga terdekat yang dirajut diantaranya dengan pelaksaan ritual yang melibatkan banyak orang seperti pelaksaan kurban.
Di ranah masyarakat pinggiran perkotaan, pelaksanaan kurban bahkan kadang harus dilaksanakan secara arisan untuk menjaga eksistensi peserta kurban. Kondisi ekonomi yang tidak bersahabat turut mempengaruhi prosesi ibadah kurban di masyarakat, yang kadang harus cukup lama menabung untuk melaksanakan ibadah yang satu ini. Jadi, arisan yang dilakukan secara kelompok pengajian, jamaah langgar atau masjid, atau lingkungan RT adalah solusi paling memungkinkan yang bisa ditempuh untuk masyarakat yang dihimpit tekanan ekonomi yang keras, namun memiliki keinginan untuk berkurban.
Dengan kondisi ekonomi yang sulit, masyarakat memang memiliki kreatifitas dalam bernegosiasi keberagamaan mereka. Organisasi yang beriklan kurban bisa saja meniru model yang sama dengan kreatifitas masyarakat, tapi hubungan antar masyarakat cenderung hilang tergantikan dengan hubungan antara pemodal dan konsumen.
Di sinilah ibadah kurban yang memiliki dimensi kemanusiaan, selain teologis, bisa menjadi hambar karena kemanusiaan ala masyarakat modern yang mengglobal dan menembus sekat ruang dan batas wilayah malah menggeser perjumpaan fisik yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Imajinasi akan persatuan umat Islam yang global bisa menjadi berbahaya jika membuat kita terjebak pada bayangan akan komunal yang sempit, seperti pan-islamisme.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin