Politik memang kesulitan menghasilkan “yang ideal “, ia selalu berisi kompromi. Namun, hanya melalui politik-lah “yang ideal ” terus diperbincangkan dan menjadi harapan.
Kita sering mengutuk politik sebagai sesuatu yang kotor dan amoral, namun di saat yang sama, melalui jalan politik itulah kita melabuhkan harapan. Melalui jalan politik itulah ide-ide besar dibumikan.
“Yang ideal” dan “hasil kompromi” selalu berdialog dalam politik. Harapan dan kenyataan selalu menjadi perbincangan. Tugas besar politisi, “yang ideal” adalah memperpendek jarak antara harapan dengan kenyataan. Inilah yang kemudian disebut sebagai politisi-negarawan.
Tantangan terbesar demokrasi Indonesia kekinian adalah mencetak sebanyak mungkin politisi-negarawan, yang bekerja mencipta harapan dan sekaligus merawat harapan. Politik menjadi berisi negoisasi harapan, bukan negosiasi kekuasaan.
Kerja demokrasi kita akan bergerak maju, jika setahap-demi-setahap, politik bertransformasi dari penghambaan pada figur dengan bumbu ghibah dan fitnah menuju penghambaan pada harapan dengan bumbu visi dan cita-cita kebangsaan.
Di masa lalu kita pernah punya Johanes Leimena, Mohammad Natsir, Agus Salim, Ida Anak Agung Gede Agung, atau Muhammad Hatta. Politisi bermental negarawan, yang menjadikan politik sebagai alat penghambatan untuk mewujudkan cita ideal kebangsaan. Mereka adalah politisi-politisi cemerlang, tidak hanya dalam kata-kata, tapi juga tindakan.
Pertanyaan lanjutan : apa yang menjadi harapan bersama, atau cita ideal Indonesia?
Jawabannya terpatri di paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945, konstitusi Indonesia. Ada 4 harapan yang menjadi cita kita mendirikan negara Indonesia, yakni :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Empat mantra suci pembukaan UUD 1945 itulah yang idealnya menjadi panduan para politisi-negarawan dalam menapaki kerja-kerja politik. Politik di-ikhtiarkan sebagai alat mewujudkan harapan itu. Sekali lagi, politik hanya alat, bukan tujuan.
Mereka yang menjadikan politik sebagai tujuan niscaya akan jatuh menjadi politisi rakus yang gila kekuasaan, lupa untuk mencipta dan merawat harapan sebagaimana terpatri pada konstitusi.