Gelombang protes kepada DPR semakin meriah saja. Di Yogyakarta, #GejayanMemanggil (23/9) purna digelar. Begitu pula di Semarang, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, dan beberapa daerah lain. Di Jakarta unjuk rasa masih berlangsung, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.
Suara mereka nyaris sama. Mereka sama-sama menyesalkan kinerja pemerintah yang belakangan ini tampak tidak serius mengatasi berbagai kemelut yang (di)ada(kan).
Tidak ada tuntutan impeachment. Ini menandakan bahwa gerakan massa tersebut masih menaruh harapan pada kepemimpinan Jokowi, kendati tetap dengan catatan.
Sebaliknya, yang ada justru ketidakpercayaan kepada DPR. Kiranya di sini tidak perlu diterangkan apa itu DPR. Sebab, semua juga pasti sudah mafhum kepanjagan dari singkatan itu.
Lebih jauh, sorotan atas kasus Karhutla, Papua, KPK yang dilemahkan, hingga beberapa pasal di RUU KUHP juga menjadi krisis yang tak kalah krusial.
Beberapa waktu lalu, Jokowi mengunggah vlog bersama Jan Ethes, cucunya yang lincah itu, di salah satu kanal medsosnya. Warganet pun “gemas”. Namun, kali ini dalam konotasi yang berbeda. Alhasil, tidak sedikit komentar pedas, mulai dari yang to the point sampai satire, membanjiri kolom komentar unggahan Jokowi.
Ya, unggahan itu memang tidak menemukan momentumnya. Sama dengan lontaran “kotornya sepatu Jokowi” yang disebut tidak lebih kotor dari paru-paru para korban Karhutla, Jan Ethes yang riang gembira bersama rusa-rusa istana itu seolah menunjukan kontras yang sangat tajam dengan perjuangan anak-anak lain seusianya dalam menuntut kelayakan hidup. Memang menggemaskan.
Tentang KPK, ini memang bukan persoalan sederhana. Namun, dengan Jokowi menyetujui DPR merevisi UU KPK, harus diakui bahwa hal itu merupakan manuver politik yang luar biasa blunder.
Analisis tentang hal ini pun sudah terlampau banyak. Intinya, RUU KPK itu fakir legitimasi, baik moral publik maupun secara intelektual. Alhasil, KPK yang semestinya menjadi medium Presiden mengenyahkan para koruptor, kini justru kehilangan fungsi-fungsi setrategisnya.
Selain itu, beberapa RUU KUHP yang digagas DPR memang bermasalah, bahkan tampak konyol. Sadar tidak sadar, sorotan tajam pada RUU KUHP ini merupakan pemantik paling paripurna dari unjuk rasa demi unjuk rasa itu tadi.
DPR pun menjadi bulan-bulanan. Pasalnya, ia dinilai terlalu jauh mengintervensi urusan-urusan domestik yang semestinya bisa diselesaikan antar peternak, penggembala bahkan dukun.
Selain itu, salah satu dari pasal yang tidak kalah kontroversial adalah mengenai “penghinaan presiden”. Tentu saja pasal ini dinilai oleh banyak pihak sebagai karet. Sebab, menghina tidak menghina itu sangatlah subjektif, sehingga dikhawatirkan apabila pasal ini digunakan dengan tidak sebagaimana mestinya.
Lebih konyol lagi, meski dalam rapat konsultasi bersama DPR di Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo mengaku tidak keberatan jika pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP dihapus, senyatanya Komisi III DPR menolak penolakan Jokowi.
Alasannya, pasal tersebut dibuat tidak hanya untuk Jokowi, melainkan untuk kepentingan Negara. Ah, saya jadi semakin yakin kalau orang-orang DPR itu pasti tidak pernah baca komik One Piece.
Apapun itu, sebagai pimpinan tertinggi negara, Jokowi tentu masih punya waktu dan kesempatan— walau sangat tipis—untuk membuat sebuah keputusan radikal dan berani yang berpihak bagi kepentingan orang banyak.
Di titik ini, saya masih percaya kalau Jokowi masih kerja. Namun tagline kerja, kerja, kerja untuk saat ini tampaknya tidak lagi relevan. Sebab, yang mendesak untuk dilakukan bukanlah kerja semata, melainkan berpikir lalu kerja lagi.
Saya jadi teringat khotbah iftitah Sayyidina Abu Bakar manakala diangkat menjadi pemimpin sepeninggal Nabi Muhammad. Begini kira-kira:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka dukunglah. Sebaliknya, jika aku keliru, luruskanlah…”
Ya, Jokowi memang bukan sahabat Nabi. Ia juga tidak perlu berlagak islami. Yang jelas, masyarakat atau warga negara telah berupaya untuk selalu mengawal dan memperingatkan pemimpinnya supaya tetap berada di jalur yang tepat. Dan, aksi massa turun jalan di berbagai daerah merupakan bagian dari upaya itu.
Pertanyaannya, kepada siapa Jokowi akan berpihak? Apakah kepada masyarakat atau pada kepentingan elite yang membelenggunya?
Atau, kalau dalam istilah yang sangat multiple choices seperti dikatakan Puthut EA, pilihannya tinggal dua: a) Presiden Jokowi memilih bersama mahasiswa dengan risiko akan menghadapi tantangan politik dari para elite yang sebagian besar dikuasai oleh para oligarki;
Atau, b) memilih bersama para oligarki yang berarti musti siap-siap mengalami tekanan politik yang keras dari mahasiswa, yang menurut pengalaman sejarah, semakin membesar semakin sulit dibendung.
Jika tidak ada, bolehkah kita sekarang mencari sosoknya, yang dulu hobi blusukan.