Nabi Muhammad SAW tampak bingung, kaum kafir Quraisy mulai berhasil menekan kaum muslimin Mekah. Mereka limbung dengan berbagai fitnah dan intimidasi dari kafir Quraisy. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu keputusan Rasulullah SAW atas tindakan yang akan dilakukan selanjutnya, melawan atau menyerah.
Dua hal tersebut konsekuensinya sama, yaitu mereka harus kembali ke agama nenek moyang mereka dan keluar dari Islam. Peristiwa dilematis ini dikisahkan salah satu istri Rasulullah SAW, Ummu Salamah yang dikutip oleh Ibn Ishaq dalam Sirah an-Nabawiyah.
Saat itu, Rasulullah SAW masih berharap mendapatkan jalan keluar dari pamannya, Abu Thalib, sebagai salah satu pembesar suku Quraisy, namun sayang, Abu Thalib tak bisa berbuat apa-apa. Betapa stagnannya Abu Thalib, hingga Ibn Ishaq menggambarkannya dengan kata-kata, “Wa ammuhu la yashilu ilaihi syaiun.” Ya, otak Abu Thalib benar-benar sudah buntu, padahal sebelumnya ia sangat getol membela keponakannya itu.
Dalam titik yang dilematis dan buntu, tiba-tiba muncul suatu ide dari Rasulullah SAW, suatu ide untuk migrasi ke negeri yang lebih aman. Ibn Ishaq menyebutkan bahwa ide Rasulullah SAW itu menjadi jalan keluar dari seluruh kebuntuan.
“Di negeri Habasyah yang jauh di sana, ada seorang raja yang tak pernah menzalimi rakyatnya. Berangkat dan temuilah raja itu di negerinya hingga Allah SWT memberikan kalian jalan keluar yang baik,” sabda Rasulullah SAW memecah kebuntuan.
إن بأرض الحبشة ملكا لايظلم أحد عنده فالحقوا ببلاده حتى يجعل الله لكم فرجا ومخرجا مما أنتم فيه
Setelah melalui beberapa usaha pencegahan dari pihak Quraisy, akhirnya para pengungsi muslim Mekah sampai di negeri Habasyah (dalam beberapa literatur berbahasa Inggris disebut Axum-Abyssinia). Walaupun telah sampai di Habasyah, kauu Quraisy masih juga berusaha untuk memulangkan mereka kembali ke Mekah, hingga mereka mengirim dua utusan (Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah) kepada raja agar memulangkan para pengungsi Mekah tersebut.
Kedatangan rombongan pengungsi (muhajirin/ refugee muslims) di kerajaan Habasyah ternyata mendapatkan sambutan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Tidak diusir dan dipulangkan, para pengungsi dari Mekah ini malah mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan sang raja, yaitu Najasyi, yang dalam literatur berbahasa Inggris sering disebut Raja Negus.
Diwakili Jafar bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah SAW, sekaligus kakak dari Ali bin Abi Thalib, Raja Negus mengajukan beberapa pertanyaan terkait agama Islam dan pembawanya, Rasulullah SAW.
Ibn Ishaq menggambarkan dengan menarik betapa syahdunya dialog antara Jafar dan Raja Negus tersebut. Kalimat-kalimat yang disampaikan Jafar dan Raja Negus menjadikan dialog keduanya semakin teduh dan bisa menjadi contoh untuk kerukunan antara Islam dan Kristen di masa sekarang.
“Apa agamamu sekarang, hingga engkau dan beberapa kaummu memilih keluar dari agama kaummu sebelumnya?” tanya Raja Negus.
“Wahai raja, kaum kami adalah kaum penyembah berhala, pemakan bangkai, menyakiti tetangga, menghalalkan suatu yang diharamkan, saling menumpahkan darah,” jawab Jafar, sedangkan Raja Negus masih mendengarkan dengan seksama.
“Hingga datanglah seorang nabi dari golongan kami sendiri yang mengajak untuk berbuat baik, menyembah Allah SWT, menyambung tali silaturahim, menjaga hubungan baik dengan tetangga, shalat dan puasa,” pungkas Jafar.
Raja Negus lantas meminta Jafar menunjukkan suatu bukti ajaran-ajaran Rasulullah yang telah ia sampaikan. Jafar kemudian membacakan beberapa ayat dari surat Maryam. Saat mendengar hal itu, Raja Negus terlihat menangis hingga jenggotnya basah, begitu juga para uskup yang hadir.
Reja Negus membenarkan isi dari surat Maryam yang dibacakan Jafar. Menurutnya, isi dari ayat-ayat yang dibaca serta ajaran Yesus datang dari sumber yang sama. Raja Negus pun memerintahkan kepada dua orang utusan Quraisy untuk pergi dan tak akan membiarkan mereka membawa para pengungsi muslim Mekah yang bermigrasi ke negerinya.
Selain itu, ada hal menarik yang disampaikan oleh Jafar saat ditanya terkait apa yang diyakini muslim tentang Nabi Isa. Saat itu Jafar menjawab dengan mengutip pesan dari surat an-Nisa ayat bahwa Nabi Isa yang disebut oleh orang Kristiani sebagai anak Allah itu adalah hamba Allah, kalimatullah, ruh Allah yang dituipkan ke rahim Maryam sang perawan.
Saat mendengar itu, Raja Negus kemudian mengambil tongkatnya dan berkata, “Sungguh, perbedaan pemahaman orang Muslim dan keyakinanku tentang Yesus tidak lebih besar dari tongkat yang aku bawa ini.”
Dalam a History of Christian-Muslim Relation, Hugh Goddard menyebutkan bahwa peristiwa ini menjadi semacam cermin atau referensi bagi Rasulullah SAW saat menyambut kedatangan utusan dari Byzantium untuk melakukan perjanjian damai secara politik dengan Rasulullah SAW, tepatnya sekitar tahun ke-7 Hijriyah.
Sebagaimana disebut oleh Ibn Ishaq, saat itu terjadi dialog antara tiga utusan Byzantium yang datang dengan Rasul, yang akhirnya mereka diminta oleh Rasulullah SAW untuk masuk Islam. Setelah dipertimbangkan, mereka lebih memilih untuk kembali ke rumah mereka.
Rasulullah SAW pun mengizinkan mereka pulang dan meneruskan ajaran Kristen yang mereka anut dengan damai tanpa adanya intimidasi.