Di Zaman Gus Dur, Istana Benar-benar Jadi Rumah Rakyat

Di Zaman Gus Dur, Istana Benar-benar Jadi Rumah Rakyat

Di Zaman Gus Dur, Istana Benar-benar Jadi Rumah Rakyat
Proses penjatuhan Gus Dur pict by Laduni

Rocky Gerung, salah satu sahabat Gus Dur berujar : “Gus Dur meninggalkan satu bab tentang kesetaraan dalam kehidupan kita sebagai bangsa.. bahwa sesama manusia mempunyai hubungan yang setara dalam relasi sosial.

Rocky Gerung melanjutkan :” saya bisa bebas bertemu Gus Dur kapanpun, tanpa hirarki tanpa protokoler yang rumit. Bersama Gus Dur kita bebas beradu pikiran yang diselingi guyon untuk mencairkan suasana.

Sekali waktu, di sebuah kafe yang biasa tempat ngumpul para aktivis dan sahabat Gus Dur berdiskusi tentang isu-isu kebangsaan. Rocky Gerung melihat Gus Dur minum obat Dengan secangkir Kopi. Spontan Rocky Gerung nanya :”Lho Gus, minum obat kok dengan kopi ?”. Dengan santai Gus Dur menjawab :” nggak papa di perut nantinya juga sama saja”

Begitulah Gus Dur dalam memposisikan dirinya dalam relasi sosial, ia tidak merasa lebih tinggi dan minta ditinggikan. Padahal, secara nasab, Gus Dur termasuk darah biru, baik dari jalur ibu maupun Jalur ayah.

Dari jalur ayah, Gus Dur adalah cucu langsung KH, Hasyim Asy’ari. Dari jalur ibu, dia adalah cucu KH. Bisri Syansuri. Dua-duanya adalah figur kyai yang alim dan menjadi panutan warga Nahdiyin.

Tetapi, Gus Dur tidak melihat nasab sebagai sesuatu yang luar biasa. Ia memposisikan diri sebagai manusia yang lumrah, yang tidak perlu dilebih-lebihkan karena garis keturunan. Kelumrahan sebagai manusia itulah yang membuat Gus Dur meletakkan kesetaraan sebagai nilai universal dalam seluruh langgam hidupnya, baik sebagai kepala keluarga maupun kepala negara.

Hanya di era Gus Dur sebagai presiden, istana di buka seluas-luasnya untuk rakyat.

Mereka yang berjas rapi dan bersarung bisa masuk istana secara setara bertemu Gus Dur. Panda Nababan menggambarkan :”gorden istana sampai berbau rokok”. Bahkan,, begitu terbukanya Istana, sampai-sampai Paspampres tidak mengenali bahwa Inayah Wahid adalah anak Gus Dur.

Penghayatan Gus Dur pada nilai kesetaraan membawanya menjadi seorang pejuang kemanusiaan. Gus Dur bersama para aktivis berdiri tegak di samping warga Kedung Ombo sampai detik-detik terakhir yang hendak digusur untuk dijadikan waduk, Gus Dur berada di garda depan ketika banyak gereja dibom, dia memerintahkan Banser untuk menjaga Gereja dalam perayaan natal. Gus Dur adalah satu-satunya kyai saat nul Daratista dihujat secara massal karena goyang ngebor, dengan santai Gus Dur bilang : “Inul itu hanya mencari uang”.

Gus Dur adalah satu-satunya kyai yang membela Dorce Gamalama saat berganti kelamin, yang membuat ia berantem dengan MUI. “Masalah dosa itu urusan Dorce dengan Tuhan, kita tidak bisa melarang jika Dorce merasa nyaman sebagai perempuan” ujar Gus Dur santai.

Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang membolehkan orang-orang Papua mengibarkan bendera bintang kejora asalkan di bawan bendera merah putih.

Gus Dur adalah presiden yang mencabut larangan agama Konghucu. Gus Dur adalah presiden yang secara terbuka meminta maaf kepada para korban pembunuhan massal 1965 dan segala bentuk persekusi yang dilakukan negara kepada mereka yang dituduh PKI.

Sekali waktu Gus Dur berujar : “saya tidak membela Kristen, Katolik, Konghucu atau yang lain; yang saya bela adalah hak-hak mereka sebagai manusia”.

Human dignity (martabat manusia) adalah sesuatu yang sakral bagi Gus Dur. Merobohkan human dignity senafas dengan merobohkan peradaban. Tetapi, pemahaman Gus Dur tentang human dognity tidak berakar dari filsafat renaisans Eropa, tidak pula berakar dari revolusi Perancis tentang Fraternity, egality dan liberty.

Pemahaman Gus Dur tentang human dignity berakar dari nilai-nilai spiritual. Mencintai manusia adalah refleksi dari penghambatan kepada Tuhan. Setiap manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada hak seorang manusia merampas hak orang lain secara tidak adil, itu sama saja merampas hak dia sebagai makhluk Tuhan.

Pemahaman Gus Dur terhadap humanisme berakar dari spirit ketuhanan, mencintai manusia senafas dengan mencintai Tuhan. Gus Dur adalah seorang Humanisme-theis, bukan Humanisme-atheis.

Langgam Gus Dur sebagai seorang humanis itulah yang membuat Gus Dur berwasiat jika dia meninggal di batu nisannya ditulis : “di sini dimakamkan seorang humanis”.

Di makam Gus Dur, di kawasan ponpes Tebuireng, kalimat itu tertulis dalam tiga bahasa. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Mandarin.

Selamat memperingati haul Gus Dur ke-15. Menegakkan kesetaraan untuk kemanusiaan. Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.