
Anthony Reid wafat. Tak banyak upacara yang menyertainya dari lembaga-lembaga resmi di Jakarta, dan barangkali memang tak perlu. Ia bukan bagian dari birokrasi sejarah Indonesia, bukan pejabat publik, bukan penyusun kurikulum nasional. Ia orang luar—tapi bukan orang asing. Ia bukan milik negara, tapi milik sebuah percakapan panjang yang melintasi batas, disiplin, dan bahasa.
Dalam percakapan itulah nama Reid hidup dan akan terus bergema. Di ruang-ruang kuliah yang sunyi, dalam diskusi yang tak disiarkan, di naskah-naskah akademik yang ditulis dengan gugup oleh generasi muda yang sedang belajar melihat negeri ini tanpa tabir doktrin. Tak ada yang menunggu bunga dari lembaga resmi, karena yang diwariskan Reid jauh lebih langgeng dari upacara: sebuah cara membaca, sebuah cara mendengar.
Bagi mereka yang tumbuh dalam lingkar akademik Asia Tenggara, nama Reid bukan sekadar bagian dari pustaka. Ia adalah lanskap itu sendiri. Sebuah topografi yang dibaca bukan dari ketinggian teoretis, melainkan dari dalam, dari pelabuhan, dari pasar, dari riuh rendah orang-orang yang tak sempat menulis kisahnya sendiri. Dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, Reid tidak sekadar memetakan jalur rempah atau mencatat perdagangan laut. Ia mendengarkan ombak, mengendus musim, dan menyisipkan kelelahan para pengangkut dalam ritme ekonomi global yang kadang lebih kejam dari perang.
Sejarah di tangan Reid bukanlah parade pahlawan. Ia adalah serpih keseharian yang harus dikais dari pinggiran, dari pinggul gunung dan teluk sepi yang nyaris tak disebut dalam laporan kolonial. Ia bukan saja membongkar arsip, ia mengendapkannya. Arsip bukan benda, melainkan makhluk yang hanya bicara kepada mereka yang tahu bagaimana caranya mendengarkan. Dalam kerangka itulah sejarah tak lagi milik negara atau kelas dominan. Sejarah menjadi milik mereka yang sempat terluka tapi tak pernah sempat mencatatkan lukanya.
Di Aceh, Reid melihat revolusi bukan sebagai rangkaian pertempuran, tapi sebagai lanskap trauma. The Blood of the People tidak bicara tentang kemenangan, melainkan tentang kehilangan yang diam-diam diwariskan. Ia tidak memberi tempat pada heroisme yang gaduh, tetapi pada rasa takut yang turun temurun, pada sunyi yang tetap mengendap bahkan setelah merdeka diumumkan. Aceh yang ditulisnya adalah ruang di mana sejarah menjadi pelan dan penuh jeda—dan justru karena itu terasa lebih benar.
Ia menulis dengan semacam kesabaran yang kini terasa asing. Dalam dunia akademik yang berlomba cepat, Reid berjalan lambat. Dalam budaya ilmiah yang dipenuhi kompetisi tentang siapa paling teoritis, Reid memilih jadi pendengar. Dalam seminar-seminar yang dibanjiri jargon, ia berbicara dengan tenang dan menolak kelebihan kata. Ia lebih percaya pada kalimat yang jujur ketimbang kutipan yang cemerlang. Ia lebih percaya pada ketelitian sebagai bentuk penghormatan.
Reid tidak membayangkan sejarah sebagai deretan fakta, melainkan sebagai pengalaman yang retak-retak dan kadang tak utuh. Ia tidak menulis untuk menjelaskan segalanya, tapi untuk membuka ruang bagi pertanyaan yang tak kunjung selesai. Ketimbang memposisikan diri sebagai ahli, ia lebih sering muncul sebagai mediator antara masa lalu yang rumit dan pembaca yang gelisah. Ia tidak mendikte sejarah, ia menawarkannya.
Di banyak ruang akademik, nama Reid hadir seperti udara. Tidak selalu disebut, tapi terasa. Ia adalah bagian dari cara berpikir, cara menyusun narasi, cara meragukan data, dan cara percaya pada kesaksian yang tertinggal di pinggir teks. Para sejarawan muda yang menulis tentang revolusi, nasionalisme, atau perbatasan—mereka mungkin tak selalu menyebut namanya, tapi nyaris semuanya menulis dengan jejak langkahnya di bawah meja.
Ketika Reid membandingkan Revolusi Indonesia dengan Revolusi Prancis, ia tidak sedang mengejar kebaruan. Ia sedang memutar cermin. Dalam pantulan itu, terlihat bahwa Indonesia bukan kutub yang lemah, dan bahwa sejarah Eropa pun penuh cacat dan kebingungan. Perbandingan itu bukan metode untuk menunjukkan siapa lebih hebat, tetapi cara untuk mengganggu narasi dominan yang terlalu yakin pada urut-urutan. Di sana, Reid tak hanya mengajukan perbandingan lintas bangsa. Ia menampilkan kemungkinan bahwa sejarah dapat dibaca dari tepi, dan tepi itu sah menjadi pusat jika diperhatikan dengan cukup serius.
Dalam dunia yang makin tergoda menyederhanakan, pendekatan Reid terasa makin langka. Sejarah yang ia tulis tidak pernah beres, karena manusia tak pernah selesai. Ia tidak menawarkan resolusi, karena dunia tidak pernah benar-benar damai. Ia mengizinkan kekusutan untuk tinggal dalam teks, dan menganggap ketidakpastian bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai bentuk paling jujur dari pencarian.
Reid bukan bintang yang gemerlap di konferensi internasional. Tapi di ruang-ruang kecil—di kelas, di seminar terbatas, di diskusi tak resmi yang berlangsung lewat catatan tangan dan kopi dingin—ia hadir sebagai sumbu. Ia bukan cahaya paling terang, tapi ia titik yang membuat semua garis bisa ditarik dengan tenang. Ia tidak mengisi panggung, tapi menciptakan ruang agar orang lain bisa muncul dengan keyakinan yang tak dogmatis.
Kini, ketika ia telah tiada, orang akan mulai menghitung peninggalannya. Berapa buku yang ditulis. Berapa jurnal yang ia sunting. Berapa universitas yang pernah mencantumkan namanya dalam direktori. Tapi semua itu tidak akan menangkap hal yang paling penting—yaitu kenyataan bahwa Reid telah mengubah cara sejarah ditulis, bukan dengan gebrakan, tapi dengan kesetiaan pada nuansa. Ia mengubah arah tanpa mengklaim arah itu miliknya.
Dan mungkin, justru karena ia tak ingin menjadi pusat, ia menjadi inti dari banyak hal. Dalam setiap kalimat yang menolak menyimpulkan, dalam setiap paragraf yang memuat keraguan, dalam setiap catatan kaki yang tidak menggurui—nama Anthony Reid diam-diam tertulis di sana.
Ia tidak menyebutkan Indonesia dalam setiap halaman. Tapi Indonesia hadir seperti kenangan yang tak bisa disangkal. Ia tidak selalu bicara tentang kekuasaan, tapi kuasa terasa dalam absennya. Ia tidak menuliskan duka sebagai peristiwa, melainkan sebagai suasana yang mengambang di antara baris-barisnya.
Reid, pada akhirnya, tidak menulis sejarah yang selesai. Ia menulis sejarah yang hidup. Dan karena itu, meski tubuhnya telah tiada, kalimat-kalimatnya tetap bergerak. Bukan sebagai doktrin, tapi sebagai cara pandang. Sebuah cara untuk melihat dunia—dengan perlahan, dengan hormat, dan tanpa perlu menutupnya dengan kesimpulan.
Begitulah ia pergi. Tanpa perayaan. Tanpa pidato. Tapi dengan warisan yang akan terus tumbuh di ruang-ruang yang diam.