Di Tempat Ini Kami Berjumpa Susi atawa Bakso Mas Joko

Di Tempat Ini Kami Berjumpa Susi atawa Bakso Mas Joko

Cerita pendek tentang bu Susi dan Bakso

Di Tempat Ini Kami Berjumpa Susi atawa Bakso Mas Joko

MEMUTUSKAN berprofesi sebagai tukang bakso bukanlah hal mudah bagi Joko dan Rukmi. Saban hari mereka menjalani usaha ini dengan kembang kempis, persis perut polisi gendut saat bernapas: sehari untung dan sehari rugi.

Warung bakso yang mereka buka di depan rumah, tak banyak dikunjungi orang. Sebelumnya, mereka pernah berdagang keliling dengan mendorong gerobak. Namun cara ini melelahkan. Selepas hari raya, mereka memutuskan membuka lapak di rumah sendiri.

Sengsaranya, seorang tak dikenal juga membuka warung bakso yang hanya beberapa meter  dari warung bakso Joko dan Rukmi. Mereka lebih laris dan cepat populer.

“Dik, jangan-jangan bakso sebelah pakai penglaris ya?”

“Maksud Mas?”

“Ya mereka pergi ke gunung yang dikeramatkan, melakukan ritual bejat pesugihan, memelihara jin, dan rela menumbalkan keluarganya agar dagangan laris manis.”

“Husssh, Mas ngomong opo tho?

Lho bisa jadi, Dik.”

“Ah, untuk apa kita repot urusan orang lain. Masalah kita sendiri saja sudah terlalu  banyak lho, Mas.”

“Lagian, dia buka warung bakso ndak bilang-bilang dulu. Matanya buta apa, padahal ada kita di sini,” Joko memasukkan saus sachet ke botol, “Kalau warungnya di kampung sebelah ya monggo. Atau kalau tetap di dekat sini, mbok yo jangan bakso, kan bisa soto atau yang lain.”

“Sudah-sudah. Itu ada yang beli, Mas. Aku cuci gelas dulu ya.”

 

BEBERAPA bulan berikutnya, mereka berdua memutuskan pindah. Tempat yang lama sudah sangat menjemukan. Bukan hanya sepi dari pengunjung, tapi bau kali di belakang rumahnya amat menyengat hidung.

Di tempat baru, mereka merasa cukup nyaman. Letaknya juga strategis, dekat dengan keramaian pasar kota. Pengunjung tetap pun mulai mereka hafal. Sesekali para pengunjung tetap itu mengajak rekan-rekannya. Bahkan jika malam minggu tiba, warung bakso Mas Joko tak mampu menampung pelanggan. Pasangan muda-mudi membanjiri. Terpaksa, beberapa orang rela menunggu di luar atau memesannya dengan dibungkus.

“Kira-kira, apa ya Mas yang membuat kita ramai seperti ini?”

“Entah ya Dik, mungkin sudah takdir Tuhan, kita disuruh usaha dulu.”

“Kalau menurut aku, Mas, ada pihak lain yang membantu kita.”

“Siapa?”

“Salah satunya Susi, Mas!”

“Susi siapa?”

“Itu loh, perempuan aneh yang pernah bikin ribut di warung kita.”

“Bukannya setelah kejadian itu uang kita dalam laci ludes?”

“Iya betul, Mas. Tapi kan dari situ hati kita terbuka.”

Joko memejamkan matanya. Napasnya berembus lebih kencang. Mengeluarkan suaranya tak seperti biasanya. Seakan bukan hanya udara yang ia keluarkan. Ada sepotong cerita yang entah diketahui istrinya atau tidak.

 

SUSI perempuan semampai. Sejak kecil tak punya cita-cita yang muluk-muluk. Kalau pun sudah dewasa nanti ia hanya ingin menjadi seorang pembersih lantai atau bekerja di pabrik seperti teman-teman kampungnya.

Orangtuanya melarang ia berkerja sebagai pembersih lantai. Juga sebagai pegawai pabrik yang dinilai terlalu kasar. Bapaknya ingin dia menjadi guru di sekolah anak-anak.

“Aku tidak kuliah, Pak. Mana mungkin bisa menjadi guru?”

“Kenapa dulu kamu tidak kuliah saja!”

“Bapak kan yang menyuruh Susi segera menikah?”

“Kapan Bapak menyuruhmu menikah?”

“Itu pas dulu aku dekat dengan tukang bakso yang dagangannya laris manis.”

“Joko itu?”

“Iya…”

“Ke mana dia sekarang?”

“Entah.”

Diam-diam setelah obrolan itu, Susi mencari  tahu keberadaan Joko. Susi sangat mencintai Joko begitu pula sebaliknya. Namun sayang, Joko menghilang tiba-tiba ketika bapak Susi memintanya segera menikah. Joko masih ingin mengembara mengembangkan usaha gerobak baksonya.

Kabar keberadaan Joko akhirnya diketahui Susi. Joko masih berjualan bakso dengan nama yang masih sama, ‘Bakso Mas Joko’. Ia tidak lagi berkeliling dengan mendorong gerobaknya. Melainkan membuka lapak di tempat di mana ia tinggal.

Tapi Susi tidak tahu apakah Joko sudah berkeluarga atau belum. Ia tak mendapatkan informasi terkait itu. Tanpa memikir panjang, esoknya ia memutuskan menemui Joko, di warungnya.

 

“Susi?!”

“Mas Joko?!”

Keduanya sama-sama terkejut. Jeda beberapa detik yang cukup menegangkan. Matanya sama-sama menyapu wajah lawannya. Lamat-lamat dengan teliti. Semakin dalam, semakin banyak memori yang terputar kembali. Susi dipersilakan duduk. Pandangannya masih kosong. Joko tampak belum sadar benar.

Tiba-tiba Rukmi datang membawa beberapa plastik berisi belanjaan. Ia naik ojek dari pasar menuju rumahnya.

“Mbaknya minum apa?” sapa Rukmi buru-buru, tangannya masih menenteng belanjaan. “Es teh, teh hangat atau es teh hangat?” kelakarnya.

“Es teh saja,” jawabnya datar.

“Sebentar ya, saya akan buatkan.”

Joko sibuk menyiapkan bakso untuk beberapa mangkuk. Para pengunjung mulai ramai berdatangan. Malam minggu yang hangat meski hati berdebar kencang.

“Baksonya, Sus. Semoga kamu masih suka baksoku.”

“Itu tadi siapanya Mas Joko?”

“Nanti aku ceritakan, silakan dinikmati dulu.”

Bakso racikan Joko disantapnya dengan perlahan. Ada yang mengganjal baginya. Hingga satu bulatan bakso pun belum sempurna digigit. Berbeda dengan pengunjung lain sedang asyik menyantapnya.

“Mbak, ini es tehnya,” Rukmi menyuguhkannya dengan senyum sopan.

Susi mengamati Rukmi, menatap senyumnya tanpa membalas. Belum berekspresi. Wajahnya datar seperti bakso bulat yang belum ia telan.

“Tidaaaakkkk…. ”

Susi menjerit histeris. Semua orang panik. Makanan yang mereka nikmati ditinggal begitu saja. Orang-orang di luar sana masuk memadati warung bakso Mas Joko. Polisi patroli yang kebetulan lewat pun berhenti. Susi diamankan. Identitasnya tidak diketahui secara jelas.

Satu jam kemudian keadaan kembali normal. Namun apesnya, Joko dan Rukmi yang ditimpa musibah. Uang seharian hasil jual bakso ludes. Laci tempat menyimpan uang dibobol dan dibawa kabur oleh seorang entah siapa. Mereka lupa menguncinya saat keadaan ramai satu jam yang lalu.

“Tak apa lah, Mas. Mungkin ini teguran dari Yang Di Atas, agar kita jangan lupa bersedekah ya Mas. Dan, meski ekonomi kembang kempis, kita harus lebih banyak bersyukur ya Mas diberi akal dan jiwa yang sehat, tidak seperti perempuan tadi.”

Joko tersedak. Kaku. Diam. Tanpa suara.  []

Atunk Oman,  Penulis lahir di Rembang 1990. Berdomisili dan berkarier di Jakarta. Suka membaca, menulis, menggambar, dan traveling. Twitter dan Instagram @Atunk_Oman.