Di Akhirat Kelak, Apakah Iblis Nanti Juga Masuk Surga?

Di Akhirat Kelak, Apakah Iblis Nanti Juga Masuk Surga?

Di Akhirat Kelak, Apakah Iblis Nanti Juga Masuk Surga?

Aliran Asy’ariyyah merupakan salah satu aliran Ahlus Sunnah yang membasiskan pandangan-pandangannya tentang alam semesta kepada hukum probabilitas, hukum yang serba mungkin: kuda bisa saja melahirkan kambing, kenyang bisa saja terjadi akibat tidak makan, manusia bisa menjadi binatang dan seterusnya yang semuanya bermuara kepada ide atau gagasan tentang keserbamutlakan Kehendak Tuhan.

Adalah imam al-Juwaini dalam  karyanya al-Aqidah an-Nizhamiyyah fil Arkan al-Islamiyyah menegaskan tentang hukum jawaz/tajwiz/probabilitas ini bagi gerak laju alam semesta, dan menekankan pandangan mengenai kebebasan Pencipta dan ketidakbebasan ciptaan-Nya; la yajib ala al-Haq sya’un (Allah tidak terbebani oleh hukum apa pun). Ketika kita mencoba membaca al-Aqidah an-Nizhamiyyah fil Arkan al-Islamiyyah karya al-Juwaini, akan terkesan ada dua prinsip pemikiran yang melandasinya:

Pertama, alam dan seisinya bisa berubah menjadi apapun berdasarkan kepada hukum kemungkinan. Batu bisa bergerak dari bawah ke atas,  api bisa nyala ke dari atas ke bawah, arah timur bisa berubah menjadi arah barat dan sebaliknya, dan seterusnya. Tidak ada hukum pasti. Yang ada ialah kebiasaan.

Kedua, bahwa semua yang serba mungkin ini tercipta dan mengandaikan adanya Pencipta, dan Penciptanya inilah yang mampu mengubah alam menjadi salah satu dari dua kemungkinan; misalnya kucing bisa saja melahirkan anjing dan yang menjadikan kucing melahirkan anjing atau tetap melahirkan kucing lagi hanyalah Pencipta yang Maha Berkehendak. Berdasarkan kerangka inilah, muncul kaidah akidah yang menarik di kalangan Asy’ariyyah, yakni bahwa Allah itu Fa’ilun Muridun wa la yajib alaihi syai’un (Allah itu Maha Pencipta dan Maha Berkehendak dan tidak terbebani oleh sesuatu yang berasal dari luar Diri-Nya).

Kaidah ini digunakan dengan sangat menarik oleh kalangan Sufi, terutama dalam menjelaskan fenomena karamah yang terjadi di kalangan para wali.

Ada kitab bagus yang mencoba mengharmonisasikan pendekatan ilmu kalam dan ilmu tasawwuf dalam kaidah-kaidah berkeyakinan bagi orang Islam (al-aqaid). Kitab tersebut berjudul “al-Yawaqit wal Jawahir” yang ditulis oleh seorang Wali besar bergelar al-Quthb ar-Rabbani, Imam As-Sya’rani. Tujuan ditulisnya karyanya ini ialah untuk mensingkronkan akidah menurut ahli pikir/ahli kalam dan ahli kasyaf/ahli tasawwuf.

Kendati tujuannya demikian, sebenarnya Imam as-Sya’rani dalam  al-Yawaqit wal Jawahir ini bukannya mengharmonisasikan pendekatan kalam dan pendekatan kasyaf dalam menjelaskan persoalan-persoalan akidah, namun  malah beliau lebih cenderung mengandalkan metode kasyaf dibanding ilmu kalam, metode yang menurutnya bisa terhindar dari kesalahan.

Meski adanya inkonsistensi dari tujuan yang ingin dicapai dalam menulis karyanya ini, ulasan Imam as-Sya’rani tentang kaidah akidah Asy’ariyyah bahwa Allah itu “tidak terbebani sesuatu dan itu artinya dapat berkehendak secara bebas tanpa dibatasi oleh hukum-hukum apa pun” menarik untuk dibaca lebih lanjut.

Berangkat dari kaidah ini, Imam As-Sya’rani mengutip ulasan perdebatan at-Tusturi dan Iblis yang disajikan oleh Ibnu Arabi dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah-nya. Dalam al-Futuhat al-Makkiyah, Ibnu Arabi menceritakan perdebatan sengit antara Iblis dan at-Tusturi soal bahwa Iblis bisa masuk ke dalam rahmat Allah dan itu artinya bisa masuk surga. Kedua-duanya menghadirkan argumen yang sangat kuat sehingga masing-masing sampai pada titik kebingungan dan puncak kelelahan.

Namun di akhir perdebatan tersebut, Iblis kemudian membantai at-Tusturi dengan ayat Alquran: warahmati wasi’at kulla sya’in (dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu) dan menegaskan bahwa diri-Nya termasuk ke dalam kata ‘sya’in’ tersebut dan itu artinya ayat ini berbicara tentang keumuman, dan Iblis termasuk ke dalam makna umum ayat ini. Sya’un juga dalam pandangan Iblis merupakan ankarun nukrah (nakirah yang paling nakirah), kata sandang yang sangat umum dan lebih umum dari yang paling umum. Simpulnya, Iblis dan orang-orang durhaka lainnya tetap mendapatkan rahmat-Nya.

Namun pandangan ini dibantah lagi oleh at-Tusturi dengan argumen kebahasaan juga, yakni bahwa ayat itu telah dibatasi keumumannya (taqyiid) hanya bagi orang-orang yang bertakwa. Jadi rahmat yang seolah umum itu menurut at-Tusturi dibatasi oleh ayat yang menegaskan bahwa rahmat Allah hanya bagi orang-orang yang bertakwa. Si Iblis pun mengemukakan argumen yang tak kalah kuatnya dari argumen yang disampaikan oleh at-Tusturi. Kata Iblis: at-taqyiid sifatuka la sifatuhu ta’ala (keterbatasan itu sifatmu bukan sifat-Nya Allah ta’ala). Dibantai demikian, at-Tusturi makin bingung namun kemudian akhirnya ia tersadar bahwa urusan masuk surga atau masuk neraka hanya Allah saja yang menentukan.

Allah-lah yang memiliki kehendak bebas dan karena itu kehendak-Nya tidak diatur oleh batasan-batasan yang kita tentukan. Berangkat dari sini, Iblis bisa saja masuk surga karena rahmat-Nya yang begitu luas.

Setelah menarasikan kisah ini dari kitab al-Futuhat al-Makkiyyah karya Ibnu Arabi, Imam as-Sya’rani (dalam al-Yawaqit wal Jawahir fi Aqaid al-Kaba’ir bisa dibaca ulasan lengkapnya di jilid awal h. 111-112) menegaskan pandangan Ibnu Arabi lagi demikian:

قال الشيخ محي الدين: وكنت قديما ما رأيت أقصر حجة من إبليس ولا أجهل منه فلما وقفت له على هذه المسألة التي حكاها عنه سهل رضي الله عنه تعجبت وعلمت أن إبليس قد علم علما لا جهل فيه فله رتبة الإفادة لسهل في هذه المسألة

“Ibnu Arabi berkomentar terhadap peristiwa ini dengan mengatakan: ‘Dulu aku berkeyakinan bahwa di kalangan makhluk-Nya, tidak ada yang argumennya lebih kosong dan bahkan lebih bodoh dari argumen Iblis namun setelah mengetahui cerita at-Tusturi ini (melalui kasyaf) aku jadi terheran dan sampai berkeyakinan bahwa Iblis itu sangat pandai berargumen, sampai-sampai ia bisa mengalahkan at-Tusturi (falahu rutbatul ifadah).’”

Jadi dalam perspektif ini, melalui cerita yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi secara kasyfi  sebenarnya Imam As-Sya’rani  telah berhasil mensingkronkan pendekatan kalam dan pendekatan tasawwuf. Namun, untuk lebih memperjelas lagi kecenderungan kasyfi-nya, Imam as-Sya’rani tampaknya lebih menekankan validitas kasyfi dalam menjelaskan akidah ketimbang ilmu kalam.

Kasyaf yang mengandalkan olah hati dan jiwa menurut imam as-Sya’rani dipandang lebih aman dari kesalahan (ma’sum/mahfuzh) daripada ilmu kalam yang berdasarkan olah pikir. Alasan terhindarnya kasyaf dari kesalahan dalam menjelaskan akidah disebabkan karena adanya inspirasi ilahi yang terus menerus hadir dalam dzauq seorang wali. Kehadiran inspirasi ilahi ini dapat menghindarkannya dari kesalahan akidah.