Dengan Islam, Nabi Mendamaikan Umat Manusia: Tafsir QS. Ali ‘Imran [3]: 103.

Dengan Islam, Nabi Mendamaikan Umat Manusia: Tafsir QS. Ali ‘Imran [3]: 103.

Fenomena kekerasan dengan mengatasnamakan Islam masih saja terjadi hingga hari ini. Bagaimana cara Nabi mendakwahkan Islam?

Dengan Islam, Nabi Mendamaikan Umat Manusia: Tafsir QS. Ali ‘Imran [3]: 103.

Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Manhaj Al-Salaf fi Fahmi Al-Nushush baina Al-Nadhriyyah wa Al-Tathbiq (tt., 9) menyebutkan bahwa Islam datang untuk mengajak umat manusia agar saling asih, mencintai, menyayangi, dan melarang untuk saling berpecah belah. Bahkan beliau menyebutkan bahwa bercerai berai adalah menjadi sebab segala fitnah dan musibah. Lebih lanjut, bercerai berai melahirkan permusuhan dan kebodohan.

Upaya untuk menelaah pandangan para mufassir sangat penting untuk mendapatkan rumusan pemahaman yang tidak terputus dari wacana-wacana terkait dengan pemahaman para ulama dalam bidang al-Qur’an dan tafsir. Meskipun sebenarnya, argumen Sayyid Muhammad al-Maliki di atas telah menggunakan pendekatan wacana para mufassir, namun dalam kesempatan kali ini adalah untuk membuka lebih jelas lagi.

Persaudaraan, persatuan, dengan kerangka berfikir Sayyid Muhammad al-Maliki di atas, adalah poin penting dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 103 disebutkan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُون

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)

Menurut keterangan dari Al-Zamakhsyari (467-538 H) dalam Tafsir Al-Kasysyaf (1998: Vol. 1, 601), ayat ini adalah sebuah larangan untuk bercerai-berai sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyyah, yaitu saling bermusuhan satu sama lain hingga terjadi peperangan di antara mereka. Ayat ini juga adalah larangan untuk mengucapkan kata-kata yang menyebabkan perpecahan.

Dalam sejarah Arab, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Baidhawi, disebutkan bahwa suku Aus dan Khazraj adalah dua saudara namun anak keturunannya mengalami pemusuhan hingga terjadi peperangan antara keduanya selama 120 tahun sampai Allah memadamkan api peperangan dan kebencian diantara mereka dengan perantara agama Islam (Al-Qaujawi: 1999, Vol, 3, 136).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan banyak riwayat terkait dengan pembahasan ayat ini, diantaranya adalah riwayat dari Qatadah bahwa maksud dari ayat “wadzkuru ni’matallah ‘alaikum idzkuntuntum a’da’an fallafa baina qulubikum” adalah yang terjadi pada masyarakat Arab pada waktu itu adalah saling membunuh, orang-orang yang kuat akan menindas yang lemah sehingga. dengan datangnya Islam melalui perantara Nabi mereka berubah menjadi saudara yang saling mengasihi satu sama lain, demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya saling mengasihi adalah rahmat dan perpecahan adalah adab (Al-Qurthubi: 2001, Vol. 5, 650).

Di sini jelaslah bagi kita bahwa Islam ketika awal kemunculannya adalah untuk menjadi solusi dan sarana menyatukan puing-puing komponen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah. Yang diungkapkan oleh Sayyid Muhammad di atas adalah otentisitas Islam, yaitu sebagai agama yang melarang dan membendung sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan atau menyebabkan perpecahan. Karena perbedaan bukan menjadi alasan untuk bertikai dan berpecah belah, melainkan, sebagaimana dalam istilah al-Qur’an, adalah untuk saling mengenal satu sama lain.

Sejarah yang disampaikan oleh Chaiwat Satha-Anand tentang sikap Nabi ketika mengajak perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat bersama-sama sorban yang di atasnya terdapat hajar aswad, sebagai dasar argumentasi aktivia nir-kekerasan adalah sangat beralasan dan kredibel. Bahkan Satha Anand tidak hanya melihat dari perspektif Islam dalam menggelorakan semangat nir-kekerasan, melainkan dari kombinasi berbagai ajaran agama.

Kesimpulannya adalah bahwa Islam secara dasariah adalah perdamaian. Pandangan diatas dan informasi bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadi penting untuk disadari terutama oleh umat muslim Indonesia maupun dunia. Bahkan rahmat Nabi juga sangat banyak tersebar di berbagai keterangan perihal kemuliaan sifat Nabi dalam kitab-kitab shirah al-nabawiyyah.

Sehingga semestinya arah pemahaman memurnikan agama adalah dengan menjadikan agama sebagai amunisi untuk berdamai dengan orang lain bukan malah dengan agama memecah belah persaudaraan dan kesatuan. Tekanan untuk beragama dalam konteks Indonesia adalah agar setiap warganya menjalin persaudaraan dan menjaga persatuan bukan membenturkan satu sama lain dengan nama agama. Sehingga, trauma yang dirasakan oleh yang menolak untuk beragama terobati, karena agama telah kembali kepada asalnya sebagai juru damai dan pemersatu umat manusia. Wallahu a’lam bi al-shawab.

A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian Tafsir.