Ada dua novel yang memprediksi nasib masyarakat masa depan. Pertama, George Orwell Nineteen Eighty-Four (1949), yang menceritakan bagaimana otoriterisme mengubur dan mendikte ulang kebenaran. Si protagonis, Winston Smith, saban hari menyunting headline media jika dirasa menemukan fakta yang berkebalikan Big Brother, sang penguasa negeri Oceania, meskipun pada akhirnya Smith harus berbaring di meja pematah tulang punggung dan memercayai 2 + 2 = 5.
Novel kedua adalah Brave New World (1932) karya Aldous Huxley, melukiskan kehidupan ketika semua orang telah hidup bahagia. Tidak ada lagi persoalan sosial yang perlu dipertanyakan atau tindakan orang lain yang perlu diprotes, sebab peran sosial dan posisi kelas seseorang telah ditentukan sebelum ia lahir oleh politik bioteknologi. Kebenaran tidak ada bukan karena dikubur, tetapi orang dibuat secara sadar untuk tidak lagi membutuhkannya.
Prediksi pertama telah Indonesia alami ketika era Orde Baru. Rezim tangan besi, melalui politik bahasanya, mengontrol aneka suara yang dirasa berkebalikan dengan kehendak dan ideologinya.
Bagi Orde Baru hal terpenting adalah infrastruktur berdiri, masyarakat patuh, negara stabil dan ekonomi melejit. Kritik dan ketimpangan sosial tidak ada karena dihilangkan lewat bahasa, walaupun sehari-hari terbentang di depan mata.
Di masa itu, mimpi-mimpi modern berkelindan dengan budaya gotong royong, menghasilkan mutasi yang bukan-bukan. Proses birokrasi dan kekuasaan berjenjang ada, tetapi siapa dan bagaimana mencapai karir tersebut ditentukan oleh orang dalam.
Tanpa orang dalam, maka kuncinya adalah ABS (Asal Bapak Senang). Dalam aspek ini, jika Nineteen Eighty-Four hanya bercerita soal represi kebenaran di masa perang, maka Orde Baru merepresi kebenaran karena ada ketimpangan dan kongkalikong yang perlu ditutupi.
Setelah 1998, sebagian kalangan yakin Indonesia telah memasuki babak baru yang lebih bebas. Ekonomi pelan-pelan pulih, kebebasan berpendapat dan berkelompok bersemarak, korupsi tetap ada meski tak seugal-ugalan kemarin, dan yang terpenting, rakyat bisa menyelenggarakan Pemilu.
Sepuluh tahun pasca 1998, teknologi digital masuk dan memberi akses hiburan untuk setiap individu. Ada aneka konten yang disesuaikan untuk aneka kelompok usia.
Hidup kemudian terasa lebih cepat sejak invasi konten-konten maya mencacah kehidupan individu tiap 30 detik, dari story ke story dan dari reels ke reels. Keberlebihan informasi (information overload) ini kemudian membuat orang lebih cepat mengetahui sesuatu sekaligus melupakan sesuatu.
Perhatian dan fokus hanya ada saat 30 detik itu juga, bukan 20 tahun lalu atau 20 tahun kemudian. Ini menandai masuknya Indonesia pada babak Brave New World. Invasi hiburan yang sesuai umur mencegah individu mempertanyakan dan memprotes sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi.
Akan tetapi, ini tidak berarti batu bata pembentuk Orde baru sepenuhnya hilang. Gelagat ‘kroni’ itulah yang di masa pandemi diam-diam mengesahkan UU Omnibuslaw, dan politik bahasa yang sama jugalah yang medistorsi agar ‘hasrat berkuasa’ disebut ‘pengabdian’. Dan kritik disebut ‘subversif’ atau ‘melawan’.
Ketika jagat maya menjembatani hampir seluruh realita dan kesadaran, maka di tengahnya muncul celah yang memungkinkan realita itu direvisi dan didistorsi tanpa diketahui oleh individu. Menurut teknik Orwellian, caranya cukup sesederhana menindih realita dengan realita lain.
Namun jika melihat apa yang Brave New World praktikkan, maka biarlah realita itu terhampar, sebab kesadaran individu sudah sejak awal terkondisikan untuk tidak mendeteksinya.
Bagi kesadaran jenis ini, hal terpenting adalah hiburan dan dunianya sendiri. Singkatnya, apati, blissful ignorance, alias kecuekan yang membuat pemiliknya merasa baik-baik saja.
Implikasinya, perhatian hanya ada pada sekarang. Bukan kemarin atau esok. Sebab konsep hidup masyarakat ala Brave New World adalah cacahan, bukan satu rentang garis panjang antara masa lalu dan masa depan yang gelombang kemajuan dan kemundurannya perlu dikontrol dan dipedulikan. Ini menjadi rumit ketika menyangkut persoalan sosial, politik, dan demokrasi.
Kedaulatan warga negara dalam menentukan masa depannya tercerabut bukan lewat cara-cara frontal, tetapi lewat cara-cara halus yang hampir tidak terlihat, khususnya pembiasaan untuk memberi perhatian pada hal-hal berdurasi singkat, bermuatan hiburan, kegemasan, lucu, dan aspek kemasan lainnya, sehingga menutupi hal lain yang sebenarnya mendasar bagi kemajuan masa depan, seperti ketertataan berpikir, keterbukaan terhadap pendapat dan kritik, penghayatan nasionalisme yang dinamis, keluasan wawasan, dan empati.
Sebut saja, presentism, atau candu pada ke-sekarang-an, memungkinkan pengalaman otoriterisme masa lalu menguap tanpa jejak, dan tidak memberi pelajaran atau pertimbangan dalam menentukan keputusan hari ini. Bukan karena dilupakan, tetapi karena ingatan ini memang tidak diberikan. Sehingga, ketika misalnya ada protes terhadap kecenderungan-kecenderungan bangkitnya otoriterisme lama, maka antar warga negara bisa saling menekan sesamanya.
Persoalan-persoalan demokrasi hari ini, seperti kebebasan berpendapat, keamanan digital, ketimpangan ekonomi, konsentrasi kekuasaan oleh segelintir elit, dan supremasi hukum, pada satu sisi membutuhkan komitmen dan tata kelola. Tetapi di lain sisi, semuanya membutuhkan pengawalan dan supervisi dari masyarakat, yang tidak mungkin bisa ada dan terlaksana tanpa mengingat horor bagaimana rezim Orwellian pernah membolak-balik semuanya sesukanya.
Indonesia punya banyak PR demokrasi, dan hampir tidak pernah tidak berdarah dan manipulatif. Seorang translator untuk Harian Rakyat, masyarakat pascakolonial bukan tidak memiliki ingatan tentang dirinya sendiri, melainkan ingatan itu tidak diwariskan kepada mereka.
Premis ini bisa sangat tajam kalau diturunkan dalam bentuk pertanyaan: bagaimana mungkin mereka bisa ingat horornya otoriterisme jika lupa saja tak punya?
Momen Pilpres 2024 ini menentukan patah atau tidaknya pertanyaan ini.