Tiba-tiba Kulub tertarik kepada bagaimana kedua nama binatang ini ikut serta meramaikan perayaan pesta demokrasi di negeri ini. Bukan. Bukan pada kenapa kubu yang ini bilang kampret ke kubu yang itu. Pun sebaliknya kubu itu bilang cebong pada kubu ini. Bukan. Bukan itu. Kulub lebih melihat dibalik semua itu; permainan dan skenario para (oknum) pelaku politik dalam upaya meraih kekuasaan.
Kulub teringat Buku Thick Face Black Heart karya Chin Ning Chu. Buku yang judulnya kalau diartikan secara tekstual ke dalam Bahasa Indonesia menjadi; Bermuka Tebal Berhati Hitam. Dari judulnya, sekilas, berkonotasi negatif. Namun, buku ini konteksnya justeru positif: bagaimana agar seseorang bermental baja dan pantang menyerah dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Kulub curiga (semoga bukan su’uddzzhon alias buruk sangka) teori-teori dalam buku yang terinspirasi dari buku Thick Black Theory ini dipakai oleh mereka; para (oknum) pelaku politik.
kata-kata Lee Zhong Wu; “Bilamana anda menyembunyikan kehendak anda dari orang lain, itu namanya mental baja. Bilamana anda memaksakan kehendak anda kepada orang lain, namanya pantang menyerah”, mengawali kalimat-kalimat selanjutnya dalam buku yang dipahami Kulub sebagai buku “how to”.
Kecurigaan Kulub bukan tanpa alasan. Bukankah menyembunyikan maksud meraih kekuasaan dan berusaha memaksakan kehendaknya pada masyarakat, adalah kelakuan yang identik dengan politisi? Meski dengan cara-cara yang seolah-olah tidak memaksa, keinginan berkuasa dan meraih kekuasaan, adalah maksud dan tujuan para politisi, bukan? Berbagai cara pun akan dilakukan. Bahkan Machiavellism yang sebagian orang mengartikan sempit dengan menghalalkan segala cara, pun akan dilakukan. Selama itu bisa membantu mewujudkan meraih kekuasaan.
Sekilas, pernyataan Lee Zhong Wu pada awal buku tersebut terlihat negatif. Terlebih ketika Pantang menyerah yang dimaksud adalah kesanggupan untuk bertindak atau bereaksi tanpa mempedulikan akibat yang akan mempengaruhi orang lain. Negatif, bukan? Sekali lagi, perspektif negatif ini ditekankan pada kata tidak peduli akibat. Karena pantang menyerah yang dimaksud penulisnya adalah fokus pada tujuan dan tidak terpengaruh oleh akibat yang ditimbulkan.
Jika melihat cara-cara para (oknum) pemain politik membangun opini dan mempengaruhi pola pikir masyarakat, terutama menyembunyikan maksud meraih kekuasaan, sepertinya teori inilah yang dipakai. Tentu saja secara negatif. Lihat saja, isu SARA, terutama agama, seperti jamur di musim hujan. Memenuhi beranda media sosial. Sepertinya para pemain politik (oknum) tersebut benar-benar tidak peduli dengan akibat yang akan muncul. Misalnya sentimen dan Konflik antar umat beragama bisa meruncing.
Padahal, pantang menyerah yang dimaksud dalam buku tersebut adalah sikap bijak. Sikap pantang menyerah untuk meraih sesuatu. Seperti cerita seorang pendekar kungfu bernama Han yang dihadang dua penjahat biasa dalam perjalanannya ke suatu tempat, di buku tersebut.
Dua penjahat itu memberi dua pilihan pada Han, pendekar yang terkenal tidak terkalahkan; yaitu berduel sampai mati atau menyerah dengan berjalan merangkak melewati rentangan kaki kedua penjahat tersebut. Han malah memilih menyerah. Tentu saja berita tersebut langsung tersebar ke seantero negeri. Banyak penduduk mempertanyakan perihal tersebut. Bahkan tak sedikit yang mencibir. Semuanya berdasar pendapat dan pandangan masing-masing.
Seiring waktu, Han akhirnya menjelaskan bahwa ia melihat dua penjahat itu hanya penjahat biasa. Bukan tandingannya, tidak selevel dengannya. Ia hanya akan membuat orang-orang berpandangan lain bahwa ia melawan yang bukan tandingannya. Ia menghindari hal-hal yang lebih kejam: ibarat orang dewasa berantem dengan anak TK. Dan ini lebih memalukan. Nah, dari cerita tersebut, pantang menyerah yang dimaksudkan adalah mampu menentukan sikap untuk tetap berada di jalur mencapai tujuan.
Di buku ini dijelaskan pula salah satu prinsip pantang menyerah adalah mengetahui rasa takut. Ya, rasa takut. Rasa takut yang mengajari menghormati hukum alam. Seperti tidak menari-nari di atas kobaran api, kecuali sudah kebal api dan sakti. Dan lagi-lagi agama adalah salah satu hal sakral dan vital kalau tidak boleh menyebutnya sebagai sesuatu yang ditakuti. Para oknum pemain politik sepertinya mengetahui hal ini.
Makanya, Kulub begitu gerah melihat agama mulai dijadikan alat dan dipolitisir untuk meraih kekuasaan. “Andai masyarakat bisa lebih kritis dan tidak menelan bulat-bulat informasi dan pesan-pesan yang masuk di media sosial mereka, mungkin agama tidak akan bisa dipermainkan,” Kulub berandai-andai. Seperti Mbak Inayah Wulandari, putri bungsu Gusdur, yang mengatakan: “pemilu ini untuk memilih preaiden, anggota DPR, dan DPD. Bukan untuk memilih nabi, apalagi memilih Tuhan. Jadi, tak perlu bawa-bawa agama”.
Kia masih berjalan ke sana ke mari membidik burung-burung dengan kamera handphonenya. Kulub masih berandai-andai. “Andai saja masyarakat mengetahui tentang dharma pada buku tersebut,” lanjut Kulub. Ya, buku yang juga terinspirasi The art of war karya Tsun Zu ini juga menjelaskan tentang Dharma; bertindak sesuai kewajiban.
“Andai kewajiban yang katanya membela agama diiringi juga dengan kewajiban belajar seumur hidup, tentu isu-isu yang mengait-ngaitkan serta membawa-bawa agama sebagai isu dalam politik, sepertinya masyarakat akan tetap jernih dalam menentukan pilihan capres yang ada,” lanjut Kulub.
“Pun bekerja menggunakan otak yang di tulis dengan 3P; purpose (tujuan) perseverance (kegigihan) dan patience (sabar) dalam buku tersebut, sepertinya, akan membuat masyarakat lebih bijak dalam bersikap. Tidak ada lagi kata cebong dan kampret yang menghiasi media sosial. Tidak ada lagi sentimen agama. Tidak ada lagi yang renggang persahabatan dan pertemanannya hanya karena beda pilihan. Dan tidak ada lagi masyarakat yang terjebak dan ‘kemakan’ isu-isu buatan para (oknum) pemain politik, terutama isu agama”.
Kia tampak puas dengan jalan-jalannya. “Kak, kapan-kapan kita ke Taman Safari yuk,” ujar Kak dan Kulub hanya tersenyum seraya berpikir, moga aja di sana nggak ada cebong-kampret yaaa…