
Perdebatan tentang tambang memasuki babak baru. Isu ini membesar dan meluas karena masyarakat memergoki aktivitas tambang di pulau-pulau kecil sekitar Raja Ampat. Mulai dari lembaga swadaya masyarakat, media arus utama, hingga media alternatif menunjukkan beberapa dampak langsung dari aktivitas tambang, salah satunya di Pulau Gag.
Pemerintah pusat langsung melakukan upaya meredam kemarahan publik dengan mencabut empat dari lima izin tambang. Sesuatu yang kemudian diapresiasi sekaligus dikritisi karena dengan menyisakan satu perusahaan, pemerintah masih akan melakukan aktivitas pertambangan di pulau itu.
Hanya beda stempelnya dari lima menjadi satu. Namun ekskavator yang bekerja bisa jadi itu-itu saja.
Ugal-ugalannya aktivitas tambang sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak pemerintah gencar mempromosikan hilirisasi.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan proses pengolahan bahan mentah menjadi setengah jadi dan jadi. Umumnya merujuk pada aktivitas pertambangan.
Baca juga: Raja Ampat Tanpa Tambang, Menelisik Keputusan Pemerintah dari Sudut Pandang Fikih
Sebelum dihilirisasikan, hasil tambang biasanya diekspor dalam bentuk mentah. Konon, harganya jauh lebih murah. Dengan diolah terlebih dahulu, harapannya bisa mendatangkan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara.
Negara bisa jadi mendapat uang saku yang jumlahnya lebih besar. Namun laporan dari Greenpeace Indonesia memperlihatkan bagaimana dampak aktivitas tambang di Morowali membawa kerusakan luar dalam bagi bumi dan masyarakatnya.
Untuk bernafas saja, warga harus berjibaku dengan ancaman ISPA akibat badai debu yang terus terbang.
Studi lainnya menyebut dampak nikel di sejumlah pulau seperti Obi (Halmahera Selatan) dan Kabaena (Sulawesi Tenggara). Penduduk setempat mengalami ancaman kesehatan yang serius.
Air kencing masyarakat mengandung nikel dalam kadar di atas batas yang bisa ditoleransi oleh tubuh manusia.
Baca juga: #SaveRajaAmpat: Nestapa Masyarakat Adat dan Jejak Kerakusan
Situasi inilah yang memantik solidaritas dari kelompok-kelompok masyarakat. Mereka mendesak pemangku kepentingan untuk menghentikan tambang nikel karena daya rusaknya jauh lebih tinggi dibanding keuntungan yang hanya disadap oleh segelintir manusia saja.
Wahabi lingkungan
Sejak aktivitas tambang menjadi prioritas pemerintah, organisasi berbasis agama diharapkan mampu menjadi penyeimbang. Dalam berbagai literatur, agama menjadi rem dan kopling agar pembangunan tetap selaras dengan kepentingan umat manusia dan ekosistem yang dikelolanya.
Kita bisa berkaca pada kisah Nabi Nuh AS tentang penyelamatan ekosistem ini. Ketika Nabi Nuh AS mendapat wahyu tentang datangnya banjir yang akan menutupi sebagian besar permukaan bumi, ia langsung bergerak membuat bahtera.
Bahtera ini bukan hanya disiapkan untuk manusia, tetapi juga keanekaragaman hayati dan hewani. Walhasil, kita bisa melihat beragam jenis tumbuhan dan binatang setelah bumi direndam air bah selama beberapa waktu.
Kiwari, ada narasi yang menghadapkan antara pelestarian lingkungan versus kepentingan manusia. Menurut salah satu pendapat, kita tidak perlu menjadi puritan dalam isu lingkungan karena dinilai negatif.
Seorang tokoh bahkan melabeli kelompok-kelompok ini menyebarkan fear mongering dan karenanya disebut wahabi lingkungan. Ironisnya, pendapat ini muncul justru dari kalangan agamawan yang diharapkan sebagai rem dan kopling dalam aktivitas pembangunan.
Jika penguasa, pengusaha, dan penceramah sudah berada dalam satu barisan, atau bahkan merangkap peran, pembangunan yang berkelanjutan tinggal angan-angan. Pembangunan kita hanya punya satu pedal yang berfungsi sebagai throttle atau akselerator.
Saya tidak menyangkal bahwa seiring pertumbuhan jumlah penduduk bumi dibutuhkan ruang hidup dan energi yang ekstra untuk menopangnya. Namun energi alternatif memang harus diprioritaskan agar kehidupan manusia tidak bergantung pada aktivitas ekstraktif.
Jika terus-terusan menggunakan energi kotor, peradaban manusia di beberapa dekade ke depan akan menghadapi bencana ekologis dan sosial yang jauh lebih besar.
Penting bagi manusia untuk menempatkan industri ekstraktif sebagai bentuk maksiat ekologis yang dimaklumi sebatas mencukupi kebutuhan darurat manusia. Namun jika sampai menjadikannya sebagai berhala ekonomi, kita akan terperangkap pada kemusyrikan yang tidak terampuni.
Di titik ini, meski dalam praktik beragama saya penganut mazhab Syafi’i, saya rela dicap wahabi untuk mendukung perjuangan para pegiat lingkungan.