Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Dua minggu terakhir, gelombang aksi para akademisi di berbagai pendidikan tinggi, mulai UII, UGM, UI, hingga Unpad, mengeluarkan petisi serupa, yakni mengingatkan pemerintah agar menggelar Pemilu 2024 secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Untuk itu, petisi yang dikeluarkan oleh para Guru Besar, akademisi, hingga mahasiswa di berbagai kampus dan perguruan tinggi ini mendesak Jokowi, aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik di belakang presiden, untuk segera kembali kepada koridor demokrasi. Demokrasi kita sedang diobok-obok oleh aktor-aktor yang seharusnya menjaga dan menjalankannya.
Beberapa instrumen negara tersebut dianggap telah melakukan beragam penyimpangan, mulai dari pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang bergulir, hingga pernyataan Jokowi tentang diperbolehkannya presiden dan menteri untuk berkampanye dan memihak pasangan capres-cawapres tertentu.
Pernyataan Jokowi tersebut terlihat “mempelintir” atau menafsirkan secara serampangan regulasi untuk memberikan akses kepadanya dan instrumen negara lainnya, untuk bisa mempengaruhi atau “memenangkan” jagoannya. Para akademisi tersebut menilai Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan kepada prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan serta keadilan sosial yang merupakan esensi nilai Pancasila.
Sayangnya, di TikTok hingga di berbagai kesempatan diskusi di televisi atau siniar berbagai saluran Youtube, para akademisi ini malah dituduh partisan atau memihak paslon lain. Dengan kata lain, aksi mereka dianggap telah menguntungkan paslon lain. Seorang Guru Besar sempat mengkritik keras juru bicara Prabowo-Gibran, yang menuduh aksi-aksi dan petisi di berbagai kampus yang dimotori Guru Besar tersebut adalah ungkapan mendukung paslon lain.
Bagaimana (seharusnya) posisi intelektual di tengah kebobrokan demokrasi hari ini?
Menara Gading adalah sinonim untuk menyebutkan tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan; atau tempat untuk menyendiri, misal tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Tempat ini biasanya disematkan pada para Guru Besar atau para akademisi, karena tidak mengurusi apa yang terjadi atau urusan masyarakat luas.
Jika seorang intelektual, seperti Guru Besar atau akademisi, malah tidak kritis atau berdiam diri atas kondisi kita yang bobrok, maka sinonim menara gading sering melekat kepada mereka karena memilih berada di ruang yang memberikannya beragam kemudahan dan kenikmatan, karna status mereka sebagai intelektual.
Namun, kita juga harus mengulik pendapat seorang filsuf asal Perancis bernama Julien Benda. Lewat karya berjudul Pengkhianatan Kaum Cendikiawan, Benda mengulas istilah “Pengkhianatan.” Benda menggambarkan pengkhianatan yang dilakukan terhadap panggilannya sebagai intelektual.
Dalam buku Pengkhianatan Kaum Cendikiawan, Benda melihat kaum intelektual telah dipisahkan dari generasinya atau masyarakatnya. Mereka hanya bergelut dengan ilmu pengetahuan yang tidak membela umat manusia, apalagi membebaskan. Ilmu hanya hadir untuk ilmu pengetahuan belaka.
Benda menulis kritik keras, “semua orang (baca: para cendikiawan) yang kegiatannya pada hakikatnya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis, semua orang yang mencari kesenangan dalam praktik suatu seni atau ilmu pengetahuan atau spekulasi metafisik, singkatnya dalam kepemilikan benda-benda non-fisik.” -keuntungan materi.” Posisi intelektual di sini hanya menghadirkan ilmu untuk perkembangan ilmu saja.
Intelektual (seharusnya) hadir di ranah masyarakat. Mereka harus turut berjuang melakukan pembelaan dan melawan penindasan yang dialami masyarakat, dengan menghadirkan beragam kajian dan pengetahuan untuk terus membakar semangat perjuangan dan menjelaskan di mana kesalahan para penguasa. Oleh sebab itu, para cendikiawan harus mengambil jarak dengan penguasa.
Ahmed Kuru, akademisi, pernah mengulas kedekatan para ulama (baca intelektual) dengan negara malah membawa sejarah Islam kehilangan masa keemasannya. Menurut Kuru, faktor paling krusial yang menyebabkan mengapa masyarakat Muslim tidak lagi bisa mencapai posisi terhormat di ranah intelektualitas, yaitu kedekatan para ulama dengan penguasa.
Kondisi tersebut menimbulkan dampak yang sangat negatif untuk ulama dan agama. Mengapa? Dalam posisi tersebut, agama malah digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik dan mengerdilkan peluang demokratisasi. Walhasil, para politisi atau penguasa semakin sulit dikritik, karena dibentuk, diglorifikasi, hingga disakralkan oleh orang-orang saleh atau para ulama. Mereka yang mengkritik pun dianggap bukan Muslim yang baik, bahkan ada yang sampai dilabeli murtad atau penista agama.
Bahkan, lebih jauh, Benda menggambarkan bahwa para intelektual atau cendikiawan malah bisa melegalisasi atau menggunakan narasi intelektual dalam menjustifikasi penindasan yang dilakukan oleh negara. Kedekatan yang digambarkan Kuru dan Benda seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, bahwa intelektual memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Berkaca dari apa yang dijelaskan Benda dan Kuru, apa yang dilakukan oleh para akademisi, Guru Besar, hingga mahasiswa seharusnya mulai memposisikan diri mereka di lini depan perjuangan menegakkan hukum dan menghadirkan demokrasi yang kokoh.
”Diam adalah Pengkhianatan”
Sebuah adagium yang sering dipakai oleh gerakan Mahasiswa terasa relevan, “Diam adalah pengkhianatan.” Kalimat ini menggema di berbagai aksi-aksi mahasiswa seharusnya bisa menjadi renungan bagi kita, termasuk para akademisi atau cendikiawan. Kondisi demokrasi di Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja seharusnya menjadi peringatan bagi kita untuk bergerak.
Hari ini, kaum cendikiawan atau intelektual di berbagai kampus atau universitas mulai memenuhi tugasnya, menjadi pembela dan pejuang bagi rakyat. Tuduhan partisan atau berpihak pada salah satu paslon tidak terbukti, cita-cita mereka adalah penegakan demokrasi dan hukum, demi terciptanya Pemilu yang damai, adil, jujur, dan bermartabat.
Ketika para cendikiawan telah hadir di depan demi membela dan menegakkan demokrasi, maka apa yang disebutkan oleh Benda dan Kuru bisa dihindari. Kala negara telah mulai rusak oleh oknum-oknum yang rakus pada kekuasaan, maka para cendikiawan atau ulama yang dekat dengan penguasa tidak akan berani berada di depan membela rakyat.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin
(AN)