Dari pengamatan saya sejauh ini terhadap aktivisme anti konservatisme agama atau anti-islamis pasca gerakan 212, belum ada yang cukup tegas melakukan konter-wacana selain ‘dehijabisasi’. Meski lingkupnya masih kecil kampanye tersebut lebih menyasar pada alasan kesehatan (mencegah defisiensi vitamin D pada perempuan) daripada lainnya.
Demikian sensitifnya topik ini hingga sebagian besar suara golongan ‘nasionalis’ di sosmed lebih dicurahkan untuk kampanye politik (dengan menjadi bagian dari pendukung pemerintah) atau paling jauh mendukung nasionalisasi kultural kecil-kecian seperti ‘Selasa berkebaya’ dan semacamnya. Ataukah karena pembatasan terhadap ekspresi keagamaan Islam merupakan policy yang berbau ‘kanan’ dan pernah diterapkan orde baru maka kaum progresif/kiri enggan melakukannya?
Padahal entah kiri ataupun bukan, menjadikan ide semacam itu sebagai kampanye terbuka pastinya malah akan mengundang kubu lawan untuk melabeli itu sebagai ‘anti-Islam’ bahkan ‘komunis’. Ngeri ‘kan? Di sinilah perlu ada klarifikasi untuk menjernihkan duduk perkara dari ‘dehijabisasi’ dan hubungannya dengan wacana anti-islamisme yg lebih luas.
Pertama, harus ditegaskan bahwa dehijabisasi bukan bertujuan untuk melarang atau membatasi sepenuhnya penggunaan hijab, tetapi sebatas antisipasi untuk membendung atau mencegah hijabisasi menjadi massif–dan proporsinya yg berlebih akan mengeliminasi populasi non-hijaber di kalangan Islam karena tekanan sosial yg terlalu besar untuk menjadi minoritas.
Ia juga bukan identik dengan ekspresi kebaratan dan islamofobik, atau ajakan untuk ‘menjadi telanjang’ dan membuka keran masuk hedonisme yg ‘tidak bermoral’ itu. Itu pikiran hitam putih yg sama sekali menyesatkan.
Dehijabisasi didasari oleh penolakan terhadap konsepsi tertentu tentang rambut sebagai aurat perempuan (yang tidak berlaku bagi laki-laki), tidak lebih. Perempuan hanya tidak harus menutupi rambutnya tapi ia tetap harus berpakaian tertutup dan sopan sesuai konteks tempat dan kebutuhan (saya sendiri lebih prefer perempuan menggunakan gaun atau celana panjang minimal di bawah lutut atau semua tertutup seperti busana muslim tapi tanpa penutup kepala).
Bagi pendukung dehijabisasi menggunakan pakaian apapun baik itu kebaya, kemben atau gaun panjang tanpa penutup kepala adalah sudah menutupi aurat karena memang tafsir dan pengertiannya tentang aurat sudah berbeda.
Dehijabisasi bukan juga berarti permisif terhadap hedonisme, kebebasan seks atau berarti laki-laki yang mendukung itu membiarkan perempuan (istri atau anaknya) diganggu orang yang tidak berhak.
Ada analogi yang sungguh bodoh dan tidak manusiawi yang mengibaratkan perempuan tanpa hijab sebagai ‘seonggok daging tanpa bungkus’ sehingga sudah sepatutnya kalau ‘dicuri’ atau dilecehkan.
Ini bias misoginis yang selalu menganggap perempuan sebagai sumber dosa tapi juga tidak bisa melindungi diri sendiri (kontradiktif bukan : ia harus dilindungi / dibatasi yg berarti lemah, supaya tidak menggoda laki-laki-yang berarti laki-lakinya juga lemah iman karena tidak bisa mengendalikan diri. Jadi siapa sebenarnya yg kuat dan siapa yg lemah?)
Perempuan muslim tanpa hijab tentu tetap harus menjaga moralitas dan berhati-hati dalam perkara seksualitas – menghindari pacaran kalau tidak mampu mengontrol diri misalnya, mengapa tidak?
Kemudian apakah dehijabisasi itu bersifat anti-Islam? Saya kira sebagian besar akan menjawab tidak, tetapi kalau anti-islamisme memang benar. Mengapa bukan anti Islam ya karena hijab itu tidak identik dengan Islam dan memang bukan bagian pokok (rukun) Islam.
Hijab adalah ‘budaya religius’ Timur Tengah yang dianjurkan dalam agama-agama semitik, tingkat urgensinya hampir setara atau sedikit di di bawah khitan (sunat) bagi laki-laki, atau haramnya babi di kalangan Yahudi dan Muslim. Makanya biarawati Kristen juga mengenakan penutup kepala atau kerudung sebagai simbol kesucian dan devosi / penyerahan diri kepada Tuhan. Tetapi dengan menguatnya islamisme pasca keruntuhan blok komunis sehingga menjadi kekuatan global tersendiri di luar Barat dan Cina (yang muncul sebagai super power ekonomi di Asia), politisasi identitas di kalangan muslim juga menguat di mana hijabisasi menjadi bagian terpenting.
Hal ini karena penggunaan hijab akan sedikit banyak mengeliminasi perbedaan kultural dan mengintegrasikan orang Islam dalam komunitas trans-nasional islamis yang lebih monolitik (seragam) dengan dalih ‘kesatuan islam’ (tentu saja kesatuan menurut versi doktriner mereka sendiri).
Mengapa pendukung dehijabisasi bisa dituding ‘anti-islam’ tentu saja karena bagi para islamis, apa yang tercakup dalam ‘islamisme’ seperti penerapan syariah di ranah publik dan politik, memandang Islam sebagai pandangan hidup total (holistik atau ‘kaffah’) itu adalah ajaran Islam itu sendiri, bukan tafsir yang muncul belakangan
Anti islamisme atau dehijabisasi sebagai policy sifatnya sementara. Itu hanya supaya orang Indonesia tidak kebablasan dan tetap berpikir rasional dan berimbang, serta respek pada kemanusiaan. Ia bisa dilakukan sebagai inisiatif dari bawah tanpa harus terlalu melibatkan negara. Sebab jika sudah terlalu melibatkan negara ia bisa menjadi reaksioner.
Kita mengenal dari sejarah bahwa kebijakan anti-islamis pernah dijalankan secara keras oleh negara kolonial Hindia Belanda. Penggagas dari itu adalah orang yang bernama Christiaan Snouck Hurgronje, sarjana kolonial ahli Islam dan penasihat urusan bumiputra. Setelah melakukan studi seksama terhadap Islam dan masyarakatnya (tahun 1880-an hingga 1890-an) ia menyatakan bahwa ‘Islam politik’ (islamisme) harus dipisahkan dari ‘Islam kultural’ yg lebih bernuansa mistik (sufisme) dan berbaur dengan tradisi lokal nusantara.
Tentu saja penguasa kolonial berkepentingan terhadap eliminasi Islamisme karena membahayakan negara kolonial dan hegemoni Eropa Kristen atas mayoritas penduduk yg beragama Islam. Tapi tidak hanya itu, sebab negara kolonial juga menjalankan policy anti-komunisme karena telah menghasut kaum pekerja untuk mogok dan melawan kaum kapitalis industri yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial – dan mengadakan pemberontakan (1926-27)
Sadar akan potensi islam dalam gerakan anti-kolonial, Sukarno yg nasionalis menganjurkan untuk mengakomodir Islamisme untuk bersatu dalam gerakan kemerdekaan. Gagasan itu ia tuangkan dalam risalah ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’ (1926). Demikian juga Tan Malaka, sang komunis nasionalis membela pan-islamisme di hadapan kongres Komintern. Tapi harus diingat bahwa Bung Karno mendukung Islamisme sejauh ia yakin bahwa Islam dapat menjadi kekuatan progresif.
Ketika Islam digunakan untuk tujuan reaksioner atau anti kemajuan ia mengkritik mereka dengan keras dalam tulisan ‘Islam Sontoloyo’. Apakah kaum nasionalis berarti mengekor penjajah ketika untuk sementara bersikap anti-islamis?
Justru dalam hal ini orde baru di bawah Soeharto lebih menyerupai negara kolonial ketika melakukan depolitisasi Islam dan memberlakukan anti-komunisme secara brutal. Jadi jelas bukan kapan islamisme itu dapat diakomodasi dan kapan ia tidak bisa ditolerir.