Defisit Tradisi, Awal Mula Pendangkalan Agama

Defisit Tradisi, Awal Mula Pendangkalan Agama

Bagaimana ketika tradisi dihabisi dan kita menjadi orang yang memilih beragana dengan kaku

Defisit Tradisi, Awal Mula Pendangkalan Agama

Tradisi dan budaya tidak sekadar hasil kreativitas manusia tetapi sekaligus juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhuk lain. Manusia akan tetap menjadi manusia ketika masih berbudaya dan memiliki tradisi. Ketika manusia sudah tidak berbudaya maka sebenarnya dia sudah tidak menjadi manusia lagi. Sebagai makhluk, derajadnya akan tergadrasi menjadi seperti hewan atau malaikat.

Atas dasar ini maka setiap upaya penghancuran tradisi dan kebudayaan sebenarnya merupakan upaya pendegradasian derajad kemanusiaan, sekalipun itu dilakukan atas nama agama. Beragama tanpa kebudayaan akan menjadikan menusia menjadi seperti malaikat yg derajadnya juga berada di bawah manusia.

Berkebudayaan dalam beragama adalah penggunaan nalar kreatif untuk mengamalkan, merealisasikan dan mewujudkan ajaran agama yg abstrak dan universal dalam laku hidup yang kongkrit dan faktual. Berkebudayaan dalam konteks keberagamaan bisa dipahami sebagai proses mendialogkan ayat-ayat qauliyah (teks agama) dengan ayat-ayat kauniyah (realitas alam san kehdupan) secara kritis dan kreatif hingga ajaran agama yang ideal dan ilahiah menjadi manusiawi. Bukan sekedar norma dan nilai2 anstrak yg sulit dijalankan oleh manusia.

Dengan cara pandang seperti ini agama menjadi indah dan mudah diamalkan serta ramah pada kenyataan. Agama menjadi sumber inspirasi atas tradisi dan kebudayaan. Dan pada sisi lain tradisi dan kebudayaan menjadi instrumen/alat (wasilah) dan metode (manhaj) dalam mengamalkan dan memahami ajaran agama. Dengan cara ini agama menjadi mudah dipahami, diamalkan dan membahagiakan. Karena agama bukan lagi menjadi beban dan ancaman yang menakutkan tetapi menjadi laku hidup yang bermanfaat.

Bagi orang-orang kreatif yang arif dan beradab agama jelas bukan menjadi kekuatan yang melindas dan alat memberangus tradisi. Agama bukan menjadi alat legitimasi untuk menista dan merendahkan tradisi yang ada. Sebaliknya agama justru menjadi pelindung tradisi yang baik yang sudah hidup dan berkembang di masyarakat.

Dalam konstruksi masyarakat Nusantara kita bisa melihat hubungan yang harmonis, dinamis dan kreatif antara kebudayaan dan tradisi dengan agama (Islam). Pola hubungan yang seperti inilah yang menyebabkan berbagai ragam corak tradisi dan budaya Nusantara tetap ttetap terjaga dan terpelihara sehingga bisa eksis hingga saat ini, meski kadang terjadi perubahan format dan bentuk. Melalui tradisi inilah para wali dan ulama Nusantara memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Kenyataan ini memcerminkan bagaimana para wali dan ulama Nusantara memiliki pandangan yg lapang, ilmu yang luas dan pemahaman keagamaan yang dalam. Dengan kapasitas seperti ini mereka tidak memandang teks agama sebagai sebagai benda mati dan produlk jadi yang statis dan harus diterima apa adanya.

Para ulama melihat ada beberapa teks agama yg menyebutkan adanya kemungkinan membuka ruang dialog antara ajaran dengan realitas, terutama pada hal-hal yang tidak memiliki ketetapan pasti (qath’i), misalnya pada pelaksanaan ibadah ghairu mahdlah. Pada konteks ini, teks agama dilihat sebagai bahan baku yang perlu diolah dan dihidupkan melalui nalar kreatif agar bisa dijalankan secara kontekstual. Dengan cara ini agama akan tetap aktual sepnjang zaman dan tempat (shoheh fi kulli zamanin wa makanin)

Selain melahirkan berbagai konstruksi kebudayaan dan tradisi, sikap beragama yang berkebudayaan juga melahirkan berbagai konsep dan kaidah keilmuan, misalnya di bidang fiqh lahir konsep ‘urf”, maslakhah mursalah, istikhsan syadud dzara’i. Di bidang qur’an dan hadits lahir ilmu tafsir, ulumul qur’an, balaghah, asbabul nuzul, asbabul wurud, jarh wa ta’dhil dan sebagainya. Semuanya ini merupakan perangkat tehnis akademik untuk menjabarkan ajaran agama yang ada dalam teks yang abastrak dan normatif menjadi praktis dan operasional.

Melalui ilmu-ilmu ini para ulama bisa bersikap ramah dan kreatif terhadap realitas termasuk pada tradisi dan budaya yang ada di masyarakat. Mereka melakukan rekonstruksi kebudayaan dg strategi yang canggih dan efektif. Para ulama tidak main hantam, menista dan melarang berbagai tradisi yang diangap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya.mereka tetap menjaga berbagai tradisi tersebut dengan spirit, nilai dan pemahaman baru yang sesuai dengan ajaran ini.

Dari sini kita bisa melihat, sikap menista, memberangus, melarang dan merusak tradisi merupakan cermin kedangkalan dalam memahami agama sehingga agama menjadi kering, dangkal dan sempit. Jika sudah demikian sikap orang beragama akan cenderung menjadi keras dan kaku. Selain itu, menjauhkan agama dari kebudayaan dan tradisi sama dengan membuat agama menjadi tidak manusiawi karena menjadi sulit dipahami dan diamalkan oleh manusia.

Jika sudah demikian ajaran agama hanya bisa diamalkan oleh malaikan, sebagai mahluk Allah yg tidak memiliki kreatifitas yang bisa melahirkan kebudayaan dan tradisi.

Persekusi terhadap tradisi bisa menyebabkan terjadinya defisit tradisi dan kebangkrutan budaya yang bisa membuat manusia kesulitan memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dari sinilah muncul krisis kemanusiaan yang menjadi sumber bencana sosial.***