
Bertahun-tahun saya menonton debat-debat di Youtube, terutama debat Islam dan Kristen, dengan aktor-aktor para teolog (sebenarnya, bukan akademisi serius). Para teolog ini umumnya tidak punya pendidikan akademik yang serius dalam studi Islam atau studi Kristen (kecuali mungkin satu atau dua orang).
Untuk paham Al-Quran, orang bukan hanya harus bisa bahasa Arab, tapi juga ilmu-ilmu bantu yang serius: Ulumul Quran (ilmu-ilmu Quran dengan cabang kajian yang banyak: Asbabun Nuzul, ‘Am dan Khas, Makkiyah dan Madaniyah, Amtsalul Quran dan lain-lain), sejarah hidup Nabi, Ushul Fikih dan lain-lain. Untuk paham Alkitab, orang harus bisa bahasa-bahasa yang dipakai oleh para penulis Alkitab (seperti Ibrani, Latin dan lain-lain), juga paham betul teologi Kristen, teologi Biblika, teologi sistematika, hermeneutika Biblika, sejarah, adat istiadat, pikiran, geografi ketika Alkitab ditulis dan lain-lain. Menurut saya ini berat, bukan perkara mudah. Orang tersebut harus mendalami studi Islam dan studi Kristen minimal 8 sampai 10 tahun, maksimal 14 tahun. Artinya, orang Islam yang mau mendebat Kristen harus punya kredensial akademik studi Kristen minimal 10 tahun-lah. Begitu pula orang Kristen yang mau mendebat Islam. Bukan cuma bermodal kitab suci terjemahan Indonesia.
Tapi lihatlah dalam debat-debat kusir Islam dan Kristen itu. Umumnya yang diaduk-aduk adalah “kelemahan” “kecacatan” “inkonsistensi” dan “kesesatan” agama lawan debatnya. Umumnya hanya bermodal mushaf terjemahan Al-Quran, Alkitab terjemahan Indonesia, dan beberapa buku teologi, yang sebenarnya lebih tepat buku dakwah.
Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa debat kusir itu tidak mengandung maslahat religius dan tidak banyak manfaatnya untuk para pemeluk agama.
Pertama, kita harus sadar betul bahwa persoalan agama adalah soal “Yang Suci” “Yang Sakral”, tentang “The Holy” dan bersifat sangat emosional. Keyakinan tentang tuhan kita, tentang akidah kita dan tentang kitab suci kita adalah “keyakinan suci”. Ini sangat suci dan prinsipil bagi kita, persoalan hidup-mati yang gak bisa ditawar lagi. Agama yang saya hayati ini, bukan hanya sangat privat, tapi juga memberi saya pengalaman spiritual yang tak terkatakan, memberi saya kebahagiaan dan ketenangan berlimpah, memberi kekuatan untuk hidup saya, dan membuat saya “demam akut” (accute fever) jatuh cinta pada keyakinan keagamaan saya.
Mau dibuat perhelatan debat puluhan, ratusan bahkan ribuan kali yang isinya “merendahkan agama kita”, gak ada pengaruhnya bagi kita. Saat akan berangkat debat atau mendengarkan debat, kita sudah membawa keyakinan yang sangat emosional, tidak melulu rasional. Kita akan membela keyakinan suci yang sangat privat dan emosional ini. Karena itu, debat itu isinya hanya berantem, mempertikaikan masing-masing keyakinan suci itu. Tak terlalu berpengaruh, bahkan tak ada pengaruhnya.
Kedua, Al-Quran bagi umat Islam itu adalah Kalamullah, firman Tuhan yang pasti isinya benar, tidak mungkin ada kesalahan sedikitpun. Al-Quran diberikan kepada Nabi Muhammad huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dengan seluruh maknanya berasal dari Allah. Nabi Muhammad menerima saja. Al-Quran dijaga oleh Allah sendiri. Nabi Muhammad juga adalah pribadi yang ma’shum, pribadinya dijaga oleh Tuhan dari keputusan-keputusan berdasar hawa nafsunya; dijaga dari berbuat maksiat. Nabi Muhammad adalah nabi suci. Sebaliknya, bagi orang Kristen, Alkitab, meskipun ditulis oleh “para penulis” tidak mungkin ada kesalahan, tidak mungkin ada inkonsistensi. “Ilham Roh Kudus” tertangkap dan tersimpan dalam Alkitab. Alkitab itu bersifat Orakuler dan Inerans.
Apa itu orakuler? Orakel artinya “sabda Dewa/Tuhan”. Menurut orang Kristen, kata-kata dari teks asli Alkitab diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada para penulis. Artinya mereka didikte pada waktu menuliskan kata demi kata dari Tuhan, dan sepanjang proses pendiktean itu dijaga secara sempurna oleh Roh Kudus sehingga sampai kepada umat Kristiani dengan otoritas dan wibawa mutlak. Sedangkan Ineransi adalah “meskipun Tuhan memakai pribadi dan kebudayaan penulis yang bisa membuat kesalahan, tapi Tuhan melindungi pewahyuan dan penulisan teks Alkitab dari kesalahan sehingga hasilnya Alkitab bebas dari kesalahan (innerant)”. Jadi sebenarnya sama aja, baik Al-Quran maupun Alkitab—menurut penganut Muslim dan Kristen, sama-sama “firman Tuhan, pasti benar, dijaga dari kesalahan”.
Apa dasarnya Quran dan Alkitab itu sama-sama firman Tuhan yang pasti benar? Dasarnya, ya, Iman. Kalau soal iman, ya, tidak melulu rasional, tidak logis dan tidak bisa dinalar. Jadi, ketika Muslim dan Kristen itu berdebat: memperdebatkan bahwa kitab sucinya lah yang paling benar dan menegaskan bahwa kitab suci lawan debatnya adalah “palsu” “inkonsisten” “banyak cacatnya” “sudah diubah-ubah”, tapi basisnya adalah iman bukan nalar, bukan logika dan pembuktian sains. Basisnya adalah klaim. Itu ibarat dua batu keras dibenturkan. Dua-duanya bisa remuk dan hancur. Bahkan menurut saya, debat soal “kitab suci yang paling benar” itu ibarat dua besi yang dibenturkan. Hasilnya mungkin tidak hancur karena besi itu sangat kokoh dan kuat, tapi sangat berisik. Perdebatan yang berisik yang mengganggu keimanan dan kemanusiaan, tak ada manfaatnya.
Ketiga, si pendebat biasanya menuduh agama lawan debatnya sebagai “tidak rasional”. Biasanya akan bilang: kitab suci saya rasional, agama saya rasional dan koheren. Agama kamu tidak rasional dan banyak kontradiksinya. Lah, memangnya ada agama yang sepenuhnya bersifat rasional? Agama kamu juga sama aja: isinya banyak yang tidak koheren, banyak kontradiksi, banyak kisah-kisah yang tidak masuk akal dan banyak dongeng-dongeng yang sulit diterima “akal sehat”. Sama saja.
Semua agama-agama besar dan kecil, begitu. Banyak aspek yang tidak rasional. Jangan menuntut kepada agama lain semuanya bisa dijelaskan secara rasional dan logis. Makanya, ketika para ilmuwan dan Filusuf Eropa Barat abad ke-19 bilang bahwa ciri utama agama adalah “tidak rasional”, saya meng-aminkan, tidak bisa ditolak seluruhnya tesis itu. Tapi justru keistimewaan agama adalah “yang rasional dan irrasional menyatu dalam agama”. Kalau agama, yang bersifat sangat spiritual, sepenuhnya rasional, apa bedanya agama dengan ilmu pengetahuan? Agama yang melulu rasional adalah agama yang tidak menarik. Harus ada aspek-aspek yang misterius dan tidak rasional pada agama agar hidup ini seru dan basah spiritualitas kita.
Tapi, Pak, yang kita perdebatkan ini adalah agama dan kitab suci pada aspek intelektual, pada aspek intelektualitasnya. Kita mau menguji aspek intelektual dan akademik “kebenaran Islam dan Kristen”.
Kalo mau mengkaji aspek intelektual agama-agama ada pakemnya, ada perangkat metodologisnya, ada pendekatan-pendekatannya. Dalam debat mereka itu isinya sebagian besar cari-cari kelemahan, menjelek-jelekkan dan merendahkan satu sama lain. Kegiatan debat itu sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “kegiatan dakwah”: mendakwahkan keunggulan agama sendiri sambil merendahkan agama lawan debat. Pertanyaannya adalah: apakah pantas dan etis berdakwah dengan cara merendahkan dan menghina agama orang lain?
Debat-debat seperti itu, dika diklaim untuk mengembangkan studi akademik Perbandingan Agama, maka nggak kena; untuk mengembangkan dialog antar agama yang setara dan produktif, juga nggak dapat, yang ada justru sebaliknya: konflik, permusuhan dan kebencian antar umat beragama terus dipelihara melalui debat-debat kusir itu.
Kalo kita yakin agama kita benar dan hebat, mari kita imani, kita hayati, kita tunjukkan pada dunia bahwa agama kita membawa aura positif untuk kehidupan, agama kita sumber kreatifitas yang produktif, membawa maslahat yang agung bagi peradaban kemanusiaan kita. Tinggalkan saja debat-debat yang tidak terhormat dan saling merendahkan itu.
Kecuali kalo kita mengamini pendapat seorang sosiolog bahwa debat-debat Islam-Kristen itu adalah “pesta agama rakyat”. Rakyat Muslim dan Kristen ingin berpesta dengan puas: dengan cara berdebat ngotot bahwa hanya agamanya lah yang paling unggul dan benar sembari merendahkan agama orang lain.
Saya nggak ikut mengamini pesta rakyat seperti itu.
(AN)