Greg Fealy menulis sebuah buku menarik berjudul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online, Ragam ekspresi Islam Indonesia Kontemporer di tahun 2012. Fealy memotret fenomena beragama Indonesia yang lekat dengan dunia selebritas. Munculnya banyak penceramah di televisi dan radio yang tampil dengan glamor menjauhkan stigma bahwa ustadz adalah sosok sederhana yang jauh dari hingar bingar ketenaran media.
Fealy mengibaratkan dunia dakwah seleb dengan bisnis ibarat gigi dan gusi. Keduanya berbeda tetapi sangat terkait satu sama lain. Dahaga santapan ruhani masyarakat urban bisa dilayani dengan baik oleh ustadz-ustadz seleb yang mampu ‘menyesuaikan diri’ dengan tipe kota tersebut.
Bagi generasi yang gemar mengaktifkan nada sambung pribadi (NSP) pasti pernah menjumpai masa di mana operator seluler menawarkan potongan ceramah sebagai nada tunggu telefon. Saya sendiri pernah mengaktifkan layanan tersebut karena ingin siapa saja yang menelfon mendengarkan ceramah alih-alih nada tut… tut… Ada juga layanan ceramah berlangganan via SMS dengan membayar sejumlah pulsa.
Tak mengherankan para ustadz seleb ini tampil sangat elegan dan modis. Mereka hidup sebagaimana orang kota kebanyakan dengan koleksi motor mahal, rumah mewah, dan kehidupan pribadinya jadi komoditas tontonan. Beberapa di antaranya menjadi model busana muslim untuk produk kelas menengah ke atas.
Saat Fealy melakukan riset tersebut belum banyak ustadz-ustadz baru yang jadi selebtwit atau pun selebgram. Namun arusnya mulai terasa dengan munculnya beberapa ustadz yang punya banyak pengikut di Twitter. Di media sosial, ustadz tidak lagi harus menghafal dalil-dalil agama. Masyarakat urban mulai memafhumi apabila sang ustadz hanya mampu mengambil substansi tanpa pernah bisa melafakan dalil aslinya secara benar. ‘Yang penting substansinya’.
Model dakwah seperti itu sebenarnya banyak dilakukan kiai-kiai kharismatik di pesantren. Saya sangat jarang mendengar kiai pesantren yang mendalil secara panjang lebar ketika dimintai nasihat. Sebaliknya, para kiai mengolah dalil agama yang rumit menjadi bahasa masyarakat sehari-hari.
Yang membedakan ustadz medsos dengan para kiai ini pada aspek bisnis moral dan fatwa online sebagaimana dituli Fealy tadi. Karenanya, saya menyebut model dakwah ustadz medos ini dakwah hibrid, dakwah yang menggabungkan unsur bisnis dengan kesederhanaan cara bertutur agama. Selanjutnya, kemunculan Instagram membuat ustadz medos semakin menjamur dengan pasar yang mulai berekspansi hingga ke pelosok negeri.
Pasar ustadz semakin menjadi-jadi saat istilah hijrah menjadi kosakata baru. Dakwah dikemas ala event organizer dan mulai menciptakan cluster-cluster ustadz hijrah yang banyak di antaranya merupakan artis aktif dan mantan artis. Mereka menjadikan dakwah sebagai jalan ninja hidup melalui kisah pertobatan dan quote-quote yang uwuwuw.
Dampak buruknya, dakwah tak berbeda dengan seminar motivasi. Semua bisa jadi peserta seminar dan tak lama kemudian menjadi trainer. Asal bisa berbicara atau menulis satu dua terjemahan hadis, seseorang dengan mudahnya menjadi ustadz. Di media sosial bahkan kita jumpai ustadz-ustadz yang mulai jualan status mualaf dengan konten yang menjijikkan karena didasari dakwah sebagai fetish, bukan jalan menuju kebaikan.
Misalnya, seorang ustadz medsos menyebut dirinya sebagai mualaf yang dulunya adalah calon pastor berprestasi karena kuliah di Vatikan. Parahnya, ia mengaku anak seorang Kardinal. Padahal ini pengetahuan dasar dan tak perlu jadi mualaf berprestasi untuk mengetahui bahwa yang namanya pastor itu hidup selibat alias menjomblo seumur hidup.
Di sisi lain tanggung jawab moral para juru dakwah ini kian dipertanyakan. Kasus Evie Effendi yang belibetan membaca Al-Quran menjadi contohnya. Yang jadi masalah bukan persoalan sedang belajar, akan tetapi mengapa dia bermain di wilayah yang tidak dikuasainya? Dalam dakwah agama, tanggung jawab ini bukan hanya berhenti di dunia, namun akan ditagih kelak di akhirat.
Seharusnya Evie dan sejawatnya bersyukur apabila banyak alumni pesantren dan kiai yang mulai aktif di medsos bereaksi atas kesalahan tersebut. Al-Quran adalah kitab suci yang sangat dijaga presisinya. Kalau ada orang tahu tapi tidak mengingatkan ya kena getah dosanya. Mbok ya kalau diingatkan ndak usah playing victim dengan membawa sentimen hijrah atau mualaf.
Saya sungguh gregetan dengan ustadz medsos yang aktif berpolitik macam Hilmi Firdausi yang dengan pongahnya menyebut seperti ini di Twitternya (@Hilmi28).
Sy hafal sekali serangan Buzzer thdp para muallaf yg berdakwah, ustadz hijrah dll. Biasanya mrk komen “baru muallaf lsg ceramah!”. “Baru hijrah sdh berani dakwah.” Udh mondok brp thn sih lsg diblg Ust!” Ingat, para sahabat stlh msk Islam lsg berdakwah & berjuang membela agamanya.
Ada tiga kesalahan fatal yang dilakukan oleh Hilmi. Pertama, tuduhan buzzer. Saya tahu persis banyak tokoh yang ‘marah-marah’ dengan kasus Evie bukanlah ustadz politik semacam dirinya. Bahkan ada salah seorang kiai yang dulu sempat aktif di Twitter, lalu tidak aktif selama beberapa tahun, muncul lagi di Twitter untuk ‘mengingatkan’ Evie Effendi. Itu baru reaksi di media sosial. Di dunia nyata, ada banyak santri dan kiai yang lebih keras dalam menjaga ilmu Tajwid.
Dalam mengajar ilmu Tajwid tak jarang seorang guru menggunakan metode ‘ceplok rotan’ untuk memberi tekanan pada murid agar tidak sembrono dalam membaca Al-Quran. Menggeneralisir setiap yang mengingatkan pendakwah dari kalangan mualaf dan hijrah dengan buzzer mengindikasikan cupetnya cara beragama yang bersangkutan. Tapi wajar, sih. Dia kan cuma hafal, tapi tidak paham.
Kedua, kutipan “baru muallaf langsung ceramah!” ini tidak disesuaikan dengan konteksnya. Kalau ada mualaf yang benar-benar belajar agama dan berjuang untuk berdakwah secara baik dan benar, tentu tidak dipersoalkan. Lalu bagaimana dengan fenomena ustadz mengaku mualaf yang didasari kebohongan? Apakah memberi mimbar suci agama kepada mereka justru membuat dakwah Islam tercemar? Contohnya ya ustadz-ustadzan ‘anak Kardinal’ itu tadi.
Ketiga, statement ‘Ingat, para sahabat setelah masuk Islam langsung berdakwah dan berjuang membela agamanya’ membuktikan Hilmi tidak paham ushul fiqih. Ulama di zaman apapun selalu sepakat bahwa era sahabat adalah era terbaik karena para sahabat belajar dengan Nabi Muhammad. Nabi langsung membimbing atas petunjuk wahyu ilahi. Jika ada sahabat yang keliru, Nabi akan mengingatkan secara langsung.
Otoritas semacam itu tidak pernah dijumpai setelah Nabi Muhammad meninggal dunia. Tak lama setelah Nabi wafat, sebagian kaum muslim bahkan menolak patuh pada ulil amri yang baru, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Untuk itu ketika sejarah semakin jauh berjalan, semua ulama ‘centang biru’ alias terverifikasi bersepakat bahwa pengambilan hukum harus ada mekanismenya. Jika tidak, maka akan ada banyak orang sembrono yang suka-suka dalam memahami agama. Maka lahirlah ilmu Ushul Fiqih sebagai panduan dalam menyusun sebuah fatwa.
Untuk itulah di pesantren-pesantren ilmu Ushul Fiqih ini menjadi pelajaran wajib bagi santri yang kelak akan terjun di masyarakat. Mengenal Ushul Fiqih saja cukup membuat seorang santri berhati-hati dalam menyampaikan sebuah fatwa. Padahal yang disampaikan itu fatwa ulama. Jarang ada seorang santri yang berani berfatwa sendiri mengingat kapasitas keilmuan yang dimiliki.
Kiai Sahal Mahfudz (Allah yarham), seorang ulama Ushul Fiqih asal Indonesia yang kitabnya dirujuk pembelajar di belahan dunia saja sangat berhati-hati ketika berbicara tentang agama. Di pesantren yang dulu diasuhnya masih menjaga tradisi pemberian sanad agar keilmuan alumninya bisa dipertanggungjawabkan. Lha, kok ada orang yang berani menyamakan dirinya dengan sahabat Nabi Muhammad SAW. Tak perlu belajar mendalam bisa langsung berdakwah. Su’ul adab namanya. Kalau situ salah njuk yang membenarkan siapa? Wong dibenarkan santri saja sudah baper.
Semoga ke depan para ustadz medsos tidak lagi antikritik dari para santri. Perlu diingat juga bahwa santri itu tidak gila gelar ustadz. Ada banyak alumni pesantren yang tidak berani menyandang gelar itu meski punya murid ribuan.
Sebabnya gelar tersebut punya tanggung jawab yang besar di dunia bahkan di akhirat. Para kiai sepuh pun demikian. Sangking tawadhu’nya, banyak yang enggan dipanggil ulama dan memilih melabeli dirinya ‘al-faqir lil ‘ilmi. Mereka memilih terus dipanggil ‘gus’, ‘cak’, atau pun sebutan lain yang biasa-biasa saja. Wallahua’lam.