Idul Fitri datang kembali. Idul Fitri bisa diberi banyak pemaknaan. Bagi orang awam, Idul Fitri atau lebaran, berarti berkumpul dengan keluarga, mudik, silaturahmi, reuni, angpao, baju baru, makan enak. Lebaran adalah kebahagian. Sayang, tahun ini, masyarakat merayakannya, elit politik merusaknya.
Elit politik begitu berisik dan sibuk membuat manuver, seolah tak ada hari esok. Seperti sedang berlomba-lomba menjadi yang paling banal. Padahal mereka baru saja meninggalkan bulan puasa. Bukankah hakikat puasa adalah menahan diri? Menahan diri dari apapun, tak hanya makan-minum. Menahan diri dari mencaci maki, mencari aib orang lain, menyakiti dan menggaggu, baik secara lisan maupun perbuatan.
Kita memang tidak berhak menghakimi puasa orang lain. Tapi seakan puasa mereka tidak berdampak apa-apa. Mereka bahkan lebih berisik dari sekawanan parkit. Padahal, sejatinya momen puasa adalah momen pertapaan. Puasa mestinya jadi ajang latihan menekan hawa nafsu, termasuk menahan nafsu berkuasa dengan menghalalkan segala cara (menjual murah agama, misalnya).
Nahasnya, kegaduhan elit politik saat ini justru dimotori elit politik berusia senja, yang darinya kita berharap kematangan dan kebijaksanaan. Memang benar, tingginya usia tidak selalu berhubungan dengan kedewasaan. Tapi elit politik senior yang bersifat kekanak-kanakan ini menjengkelkan betul. Seperti belum tuntas masa bermain mobil-mobilan dan robot-robotan di masa kecil.
Ketika mudik ke kampung halaman saya memperhatikan keseharian kakek saya. Rambutnya sudah memutih total, langkah kakinya tak gesit lagi. Selalu mendirikan salat lima waktu di masjid dekat rumah. Selebihnya makan, tidur dan aktivitas ringan lain. Ia tampak sehat dan bahagia. Kadang saya bertanya-tanya, elit politik yang kebetulan juga berambut putih dan uzur itu apa tidak ingin hidup tenang seperti kakek saya?
Elit politik yang gaduh minta ampun itu memang menyita perhatian. Mau tak mau masyarakat terseret arus. Dua kubu seperti tak henti saling serang. Energi yang dikeluarkan untuk berdebat dan membenci terlampau besar. Amat sangat mubazir. Energi yang luar biasa besar itu harusnya bisa menjadi bahan bakar untuk banyak hal berguna.
Lebih dari itu, perdebatan yang bercampur cacian dan nyinyiran dianggap dapat mengancam kewarasan. Tidak aneh jika beberapa teman saya melakukan bersih-bersih beranda Facebook: unfollow akun-akun yang keranjingan ngomong politik berbusa-busa. Aksi bersih-bersih beranda Facebook atau linikala Twitter tampaknya akan menjadi ritual jelang pilpres, pilgub atau pilkada. Mereka bisa dan berhak melakukannya.
Lebaran identik dengan saling memaafkan satu sama lain. Kupat (ketupat), hidangan khas lebaran, dimaknai orang Jawa sebagai ngaku lepat, mengakui kesalahan. Semua berusaha berbesar hati mengakui kesalahan dan ikhlas memaafkan. Suasana hangat dan penuh persaudaraan hadir di hari lebaran. Pertanyaannya, akankah spirit lebaran seperti itu memenuhi dada para elit politik kita?
Saya termasuk yang ragu. Kalaupun mereka “bermaafan” di lebaran ini, dalam waktu tidak lama mereka akan ribut lagi, berisik tiada henti. Pun demikian, semoga kita selalu punya banyak cara untuk menghadirkan kebahagiaan. Elit politik yang berlaku kekanak-kanakan tak perlu dihiraukan.
Mengenai kemahiran dalam menghadirkan kebahagiaan kiranya masyarakat kita tak perlu diragukan lagi. Di malam lebaran, ketika sedang ngopi dengan kawan saya di sudut Ponorogo, saya melihat anak-anak muda jejogetan dan jejingkrakan di atas mobil bak terbuka diiringi alunan takbir irama remix dan koplo. Di mobil bak terbuka itu pelantang ukuran besar disusun bertumpuk. Takbir yang biasanya syahdu terlantun kini berdentum-dentum menembus telinga.
Anak-anak muda itu tampak gembira di malam lebaran. Seperti tak peduli tingkah polah elit politik “di atas” sana.