Baru-baru ini, Menag RI Fachrul Razi melemparkan statment kepada media terkait tragedi intoleransi di Solo beberapa waktu lalu. Pihaknya mengatakan bahwasanya tidak ada tempat bagi kelompok intoleran. Sebagaimana saya kutip dari detik[dot]com:
“Indonesia adalah negara majemuk, semua pihak harus saling menghormati. Karenanya, tidak ada tempat bagi intoleransi di negara ini,” katanya.
Sebentar, Pak Menag. Sepertinya kita harus flashback ke kasus yang terjadi di Gereja Santo Joseph Karimun awal Februari 2020 lalu. Dimana Gereja yang berdiri semenjak tahun 1928 -jauh sebelum Indonesia merdeka- itu hendak direnovasi, namun sekelompok massa memprotes dan meminta supaya Gereja direlokasi.
Belum lagi kasus beberapa Gereja yang sampai saat ini pembangunannya terhambat akibat intimidasi dari kelompok intoleran. Sebutlah seperti Gereja di Tlogosari, Semarang.
Itu baru Gereja, Pak. Gimana kalau Masjid? Di tengah pandemi Covid-19 ini, kalau kita cek di berita, ada kasus penyegelan Masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Tasikmalaya oleh Pemkab Tasikmalaya melalui Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat).
Satu lagi yang belum hilang dari memori kita, yakni penyegelan situs bakal makam tokoh Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan pada bulan Juli lalu.
Semoga Pak Menag nggak lupa -atau pura-pura lupa- dengan semua kasus tersebut (meskipun sebenarnya masih banyak kasus lain terkait intoleransi).
Saya pribadi mengapresiasi Pak Menag berani mengucapkan statment kayak gitu. Tapi, ya harus dengan banyak catatan. Kalau emang serius tKemenag tidak menolelir pelaku intoleransi dan kelompok intoleran, harus dibuktikan dengan sikap. Minimal, bersih-bersih internal Kemenag dan juga -kalau bisa- nertibin MUI dari mereka-mereka yang intoleran. Sekelas MUI harusnya bisa jadi pengayom seluruh umat. Sayangnya, lhawung MUI kebanyakan diisi orang-orang yang seperti Tengku Zul, Dkk. Hopeless saya!
Semoga Pak Menag tahu kenapa saya menyebut nama Tengku Zul. Kalau nggak tahu, biar saya kasih tau saja. Tengku zul ini, Pak, salah satu tokoh agama yang hobbinya nyebar provokasi, fitnah dan hoaks di medsos, terutama di platform Twitter. Nggak heran lah kalau kami-kami ini kontra. Sukanya adu ~ayam~ domba antarumat beragama, dan terutama antarumat Islam. Buktinya, silakan Bapak buka twitter beliyo saja, deh. Saya mayan eneg baca tweetnya.
Pak Menag Yang Terhormat, kalau boleh saya usul sebagaimana usulan sebelum-sebelumnya, yakni Kemenag mengadakan screening tokoh-tokoh agama di Indonesia. Tujuannya, supaya mereka lebih tertib aturan dan hukum, lebih hati-hati dalam menyampaikan dakwah, dan nggak intoleran.
Khan awal mula orang-orang berlaku intoleran, nggak lain nggak bukan; berkat sejumlah doktrin dari tokoh agama. Kalau mereka nggak ngasih doktrin, misalnya, “Syiah halal darahnya” pasti nggak banyak kelompok Islam yang gontok-gontokan karena beda akidah. Bukankah begitu, Pak?
Screening ini bisa dilakukan dengan memberikan sejumlah pertanyaan atau meminta tanggapan terhadap sejumlah kasus. Misalnya, Bapak meminta tanggapan Ustad A tentang Khilafah, atau tentang Demokrasi, atau Non Muslim. Kemudian, jawabannya nanti, bisa jadi pertimbangan apakah Ustad A direkomendasikan sebagai tokoh panutan masyarakat atau tidak.
Selain itu, screening kompetensi tokoh agama juga amat penting. Biar kita tahu sejauh mana kemampuan mereka dalam memahami Islam. Misalnya paling dasar saja, Baca Tulis Al-Qur’an dengan tajwid dan makhraj yang benar, baca Kitab gundul, dan juga mentashrif kosa kata bahasa Arab. Kalau ketiganya itu nggak bisa, ya kebangetan, malu dong sama anak-anak TPA?
Screening tokoh agama sangat penting, Pak. Mengingat, di Indonesia banyak orang baru belajar agama instan, langsung dapat panggung dan dijadikan sebagai figur panutan. Kita ambil contoh seperti Sugik Nur Raharja, Felix Siauw, Evie Effendi, dkk. Kapan mereka nyantri, Pak? Kok muncul-muncul langsung jadi panutan publik dan bahkan sok pinter dan sok menyalahkan Kyai kampung yang udah bertahun-tahun nyantri dan ngabdi di masyarakat dan jadi referensi keagamaan masyarakat. Kan bahaya, Pak!
Sekali lagi, kalau Negara khususnya Kemenag serius nggak mentolelir kelompok intoleran, screening dulu deh para tokoh agamanya. Soalnya dari mereka juga khan, kelompok-kelompok intoleran itu lahir.
Ya, itu kalau statment Bapak serius. Saya pribadi sih, enggak bisa menjamin keseriusan Bapak. Soalnya kasus intoleransi di Indonesia ini, kalau boleh saya ngutip pidato Presiden RI Joko Widodo, “Ruwet..ruwet!” Ya memang begitulah, regulasinya ruwet, umatnya ruwet, Pemerintahnya mumet. Adjorr jumm!!!