Dalam sebuah karya berjudul Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’, Abu Nu’aim al-Asfahani mengatakan bahwa Daud al-Balkhi merupakan salah seorang syekh senior yang ada di daerah Timur. Akan tetapi, kisah-kisahnya tidak banyak tercatat, bahkan hampir tidak dikenal oleh banyak orang. Sehingga Abu Nu’aim al-Asfahani tidak ingin melewatkan kisah tentangnya, walaupun hanya sedikit.
Daud al-Balkhi sendiri merupakan seorang waliyullah yang hidup semasa dengan Ibrahim bin Adham, Syaqiq al-Balkhi dan Hatim al-Asham. Berbeda dengan ketiga sufi tersebut yang banyak kisah-kisah hidupnya, kisah tentang Daud al-Balkhi sangat sedikit.
Abu Nu’aim al-Asfahani lalu menuturkan sebuah riwayat yang bersumber dari Ibrahim bin Adham, mengisahkan bahwa dirinya pernah menemani seorang laki-laki ketika berada dalam perjalanan antara Kufah dan Mekkah. Laki-laki tersebut ketika melaksanakan shalat dua rakaat, ia merasa cukup dengan dua rakaat tersebut. Dan ketika dia berbicara, perkataannya samar. Sedangkan di sebelah kanannya terdapat sebuah mangkuk besar, dan cangkir cubung. Laki-laki tersebut pun makan, dan memberi makan Ibrahim bin Adham.
Kejadian tersebut membuat Ibrahim bin Adham bercerita kepada para wali yang memiliki karamah yang semasa dengannya. Mereka lalu berkata dan bertanya pada Ibrahim bin Adham, “wahai anakku, itu adalah saudaraku Daud. Tempat tinggalnya berada di belakang sungai Balkh, di desa yang bernama Ash-Shadir. Wahai anakku, apa yang dia ajarkan dan katakan kepadamu?”
Ibrahim bin Adham lalu menjawab, “Allah yang maha agung.” Sang syekh lantas bertanya kembali, “apa itu?”
Ibrahim bin Adham lalu menjelaskan kepada mereka, bahwa nama itu terlalu besar dalam hatinya untuk diucapkan hanya di lisannya. Beliau pernah meminta kepada Allah Swt, lalu ada seorang laki-laki yang datang kepada Ibrahim bin Adham dan menghalanginya, kemudian berkata, “mintalah, maka kamu akan diberikan.” Sang laki-laki tersebut menakut-nakuti Ibrahim bin Adham, hingga beliau merasa takut dari-Nya. Sang laki-laki kembali berkata, “jangan takut dan jangan khawatir. Aku adalah saudaramu al-khadir.”
Ibrahim bin Adham pun kembali berkata tentang sosok Daud al-Balkhi, bahwasanya Daud al-Balkhi telah mengajarkan nama Allah Swt yang agung. Dengan nama-namanya yang agung itulah, Allah Swt meneguhkan hati manusia, menguatkan kelemahan dalam diri manusia, menghilangkan kegelisahan yang ada dalam diri manusia, memberikan ketenangan atas ketakutan yang dialami manusia, dan menolong manusia.
Dan jika orang-orang yang zuhud menjadikan ridha Allah Swt sebagai pakaian, cinta kepada-Nya sebagai selimut, serta perbuatan terpuji sebagai syiar, maka Allah Swt akan memberikan semua kepada mereka.
Dengan keagungan Allah Swt, Dia memberi berbagai karunia dan rahmat kepada para hamba-Nya. Namun, para hamba-Nya banyak yang lupa akan keagungan Allah Swt tersebut. Karena manusia lebih banyak berharap pada sesama makhluk ciptaan-Nya, padahal sesungguhnya tempat berharap paling nyaman adalah kepada Sang Pencipta, melalui do’a-do’a kepadanya, dan menjalani berbagai perintah yang diperintahkannya.
Manusia atau makhluk ciptaan-Nya hanyalah perantara, dan bukti keagungan Allah Swt. Maka dari itu, jangan pernah ragu akan keagungan Dzat yang maha mencipta. Malulah kepada Allah Swt, ketika kita meminta ridha-Nya sedangkan kita sendiri tidak ridha terhadap-Nya.
Walaupun kisah tentang Daud al-Balkhi tidak sebanyak kisah-kisah para waliyullah yang lainnya, namun ajarannya tentang keagungan nama Allah Swt seharusnya membuat kita malu dan kita sadar diri. Karena kadang merasa paling berpengaruh, paling mempunyai kekuatan dan lain sebagainya. Padahal itu semua bukan apa-apa di mata Allah Swt.