Tingginya tingkal intoleransi kehidupan beragama yang dapat dengan mudah dilihat pada kasus yang banyak terjadi di Indonesia. Dapat kita telusuri bersama bahwa kasus vandalisme terhadap rumah ibadah merupakan bagian dari intoleran yang terjadi di banyak daerah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, menyatakan bahwa jumlah kasus intoleran yang merupakan bagian dari kasus vandalisme terhadap rumah ibadah menunjukkan peningkatan setelah masa reformasi.
Jika kita melihat rilis data yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2016 mencatat 208 peristiwa tentang pelanggaran kebebasan beragama. Dan pada tahun 2017, tercatat sebanyak 201 kasus, dalam beberapa catatan kasus kebebasan beragama ini banyak aktor yang berperan, diantaranya negara, dan aktor non-negara atau kelompok warga. Belum lama ini di awal tahun 2019 terhadi penyerangan gereja atau tempat ibadah yang terjadi di Sleman, Yogyakarta.
Peristiwa ini tentu saja menjadi sebuah catatan sekaligus pekerjaan rumah, dan sebagai bahan koreksi diri terhadap perilaku beragama dan bermasyarakat kita. Indonesia yang memiliki kekayaan budaya seharusnya dapat menjadi tempat untuk melakukan rekognisi terhadap pemahaman yang salah tentang beragama. Banyaknya penyebab polarisasi kelompok maupun distorsi pemahaman keagamaan, menjadikan beberapa orang mengalami resistensi terhadap pemahaman yang baru.
Proses penyebaran informasi yang cepat, serta tidak adanya kontrol terhadap proses penyebaran informasi, membuat sebagian orang kebingungan terhadap informasi yang banyak dan baru. Kelahiran praktik-praktik intoleransi dimulai dari penyebaran informasi yang salah dan narasi kebencian ini lahir pada saat situasi tertentu, dengan mudah penghasutan atas nama kelompok seringkali dengan berbagai kepentingan.
Seringkali kita terjebak dalam informasi yang kebenerannya tidak dapat dipertanggung jawabkan, bahkan produksi informasi itu tidak tau. Banyaknya kelompok yang memiliki media informasi berbasis web misalnya. Mereka membuat narasi islam yang sangat fundamental dan dengan melakukan klaim terhadap narasi islam yang tunggal, paling benar dan lain sebagainnya.
Akibatnya adalah beberapa wilayah di Indonesia telah menjadi sarang kasus intoleran atas nama agama Islam dan beberapa diantaranya memiliki kaitan erat dengan premanisme. Jika melihat data yang disajikan oleh Wahid Institute tahun (2009) merilis laporan bahwa telah terjadi 35 pelanggaran kebebasan dalam beragama, 93 tindakan intoleransi. Dan pada tahun (2010) Wahid Institute kembali merilis laporan kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia melalui berbagai penyelidikan ternayat yang diperoleh adalah angka kenaikan yang sangat signifikan yakni menunjukkan angka kenaikan 30 %.
Begitupun juga, aktvitas premanisme dan kegiatan yang lain ini selalu menjadi momok tersendiri bagi umat diluar Islam. Pasalnya jika melihat beberapa kasus yang ada dan catatan angka kekerasan di beberapa wilayah ini selalu ada peran premanisme dibelakang kelompok yang melakukan kekerasan berbalut agama tersebut. Situasi semacam ini tak heran, wajah islam yang memiliki keyakinan dan landasan argumen Islam Rahmatan Lil Alamin ini menjadi tidak ramah.
Apa yang terjadi jika mereka menebar kebencian, streotype dan melakukan tindakan-tindakan anarkis, dan melakukan klaim pemahaman agama yang absolut. Tak heran juga, terkadang dalam situasi ketakutan terhadap kelompok premanisme ini selalu melakukan penggiringan opini dalam menentukan pilihan politik masyarakat (Hadiz, 2010). Penggiringan opini dan pilihan politik ini syarat akan kepentingan kelompok dan selalui menggunakan narasi tunggal tentang pembenaran diri.
Kemunculan kelompok-kelompok seperti ini yang lahir pascar reformasi tahun 1998, yang selalu mengedepankan cara-cara kekerasan, dan dengan berbalut agama. Awalnya memang kelompok ini selalu berdalih karena pemerintah lamban atau lemah dalam menegakkan hukum dan peraturan yang ada. Sehingga kelompok-kelompok ini seringkali melakukan sweeping, dan melakukan tindakan-tindakan main hakim sendiri. Mengapa hal ini terjadi, dengan berbagai kelompok yang memiliki kecenderungan narasi negatif di tengah Islam keindonesiaan.
Hal ini diakibatkan banyak hal, salah satunya mengerasnya pemahaman keagamaan pada diri seseorang dalam kelompok. Seperti yang dinyatakan oleh Aksin Wijaya (2018) dalam buku Dari Membela Tuhan, ke Membela Manusia ; Kritik Nalar Agamaisasi Kekerasan mengerasnya pemahaman keagamaan sampai pada taraf ideologisasi dan sakralisasi cenderung akan melahirkan eklusivisme terhadap pandangan keagamaan lain yang dari luar.
Kemunculan sikap eklusivisme ini sangat membahayan bagi kondisi umat Islam di Indonesia. Jika melihat konteks saat ini yang semakin keras jika dihadapkan dengan permasalahan politik, agama dan ekonomi. Kelahiran identitas seperti ini sangat membahayakan dan mengancam kelompok-kelompok yang masih berpegang teguh dengan keyakinan kultural terhadap budaya. Wallahu a’lam.
Arief Azizy, Peneliti Psikologi Sosial UIN Sunan Kalijaga.