
Diakui atau tidak, di banyak kepulangan jemaah haji, oleh-oleh selalu menjadi impian sebagian masyarakat yang menyambut. Di banyak kelompok masyarakat, oleh-oleh, terlebih oleh-oleh haji, tidak sekedar pemberian barang fisik, namun juga disematkan beragam makna tersemat di dalamnya.
Haji, bagi masyarakat Banjar, tidak sekedar ibadah di tanah suci, Mekah dan Madinah. Ia juga dijejali dengan beragam narasi, makna, harapan, impian, kepercayaan, mitos, hingga sejarah sentimentil di dalamnya. Bagi masyarakat Banjar, banyak hal terkait haji biasanya dihubungkan dengan usaha mereka terhubung dengan sumber kesucian.
Buktinya, banyak masyarakat Banjar, hingga 2000-an awal, memasang karpet bergambar Masjid Haram dan Masjid Nabawi di ruang tamu rumah mereka. Selepas itu, karpet mulai digantikan foto beserta figura berwarna mencolok, bahkan kada dihiasi dengan lampu sorot kecil khusus. Di beberapa rumah kyai, bahkan, sempat saya jumpai stiker dinding bergambar dua masjid suci tersebut. Karpet dan stiker dinding tersebut biasanya didatangkan dari tanah suci.
Kurma, kismis, atau kacang arab mungkin sudah jadi oleh-oleh biasa bagi warga Banjar yang pulang haji. Tapi, tak sedikit jemaah yang membawa barang istimewa dari tanah suci atau sesuatu yang tak biasa. Kyai saya pernah membawa pulang dari tanah suci sekotak penuh pisau tajam, bukan untuk diri sendiri, tapi pesanan khusus dari jemaah dan tetangga.
Lading Herder atau Lading cap Garpu, begitu masyarakat Banjar menyebut pisau buatan perusahaan Jerman, Friedr.
Herder Abr. Sohn GmbH. Perusahaan ini memang legend di dunia pembuatan pisau dengan beragam keperluan. Pisau merek Herder populer di masyarakat Banjar adalah varian pisau dapur bergagang kayu. Menariknya, pisau ini di kota Mekah “hanya” bisa dijual di satu tempat saja, dan ia hanya menjual pisau merek Herder saja.
Menurut beberapa haji, di musim Haji toko tersebut dijejali masyarakat Banjar. Bahkan, mereka mengaku banyak ketemu famili, teman, atau kenalan di depan toko tersebut. Menariknya, di toko tersebut yang masih di tanah suci, banyak masyarakat Banjar melakukan kebiasaan atau kepercayaan mereka dalam membeli pisau, seperti menghitung panjang, mendengarkan detingan kala pisau baja tersebut diketuk, hingga membedakan jenis pisau lewat bentuknya.
Sebagian besar pisau tersebut dibeli untuk keperluan penyembelihan atau pelaksanaan kurban di hari raya Idul Adha. Tak heran, saat pemotongan dan pembagian daging, obrolan pertama yang muncul biasanya soal membanding-bandingkan ketajaman atau merek pisau masing-masing. Biasanya, siapa yang memiliki lading garpu biasanya diposisikan lebih atau dianggap hebat oleh sebagian besar warga yang terlibat di sana.
Oleh-oleh haji bagi orang Banjar selalu sarat makna. Selain kurma, pisau merek Herder dari Mekah jadi buruan banyak masyarakat Banjar, bukan hanya untuk menyembelih kurban, tapi juga penanda status. Di mana kala tiba momen Idul Adha, pemilik lading garpu akan jadi sorotan. Tradisi ini menunjukkan bagaimana haji tak sekadar ibadah, tapi juga bagian dari identitas kultural yang hidup
Tradisi membawa dan memberi oleh-oleh para haji Banjar, termasuk pisau Herder dari Mekah, menjadi bukti di mana pertukaran hadiah berfungsi sebagai perekat sosial. Marcel Mauss, akademisi, mengemukakan pemberian selalu berkelindan pada tiga kewajiban, yakni kewajiban memberi, menerima, dan membalas. Di mana sebilah pisau itu bukan sekadar alat dapur atau masak, melainkan simbol silaturrahmi, prestise, hingga meminjam “kesucian” dari tanah Mekah.
Sebilah pisau untuk keperluan memasak dijual di Mekah dan dibeli jemaah haji asal Banjar, lalu diberikan ke sanak famili, tetangga, rekan kerja, hingga kyai di kampung mereka, memperlihatkan bagaimana benda fisik menjadi medium transformasi spiritual dan status, bahkan sesekali menjadi penanda hierarki dalam komunitas. Teori Mauss menjelaskan kepada kita bahwa pemberian tidak sekedar kebaikan hati belaka.
Lebih dari itu, meski bentuk oleh-oleh haji Banjar berevolusi, dari karpet masjid hingga pisau impor, esensinya tetap sama, yakni pertukaran sebagai bahasa sosial yang kompleks atau usaha mencicipi “sakralitas.” Di balik kisah pisau kala ritual penyembelihan kurban atau pajangan karpet atau foto di ruang tamu, terjadi proses mekanisme kultural yang mengubah tanah suci menjadi sumber kapital simbolis, sekaligus mengukuhkan identitas Banjar sebagai muslim yang terhubung dengan Mekah secara nyata dan imajiner.
Oleh-oleh haji, baik berupa stiker dinding berupa foto Masjid Haram atau sebilah pisau, masyarakat Banjar sering sekali meromantisasi kunjungan ke tanah suci. Foto-foto di dua masjid suci, Mekah dan Madinah, merupakan oleh-oleh yang bisa dinikmati hari ini. Terlebih pasca kemajuan teknologi, foto atau video berlatar beragam tempat di tanah suci atau sekitar Mekah dan Madinah diposting di media sosial, dan biasanya disematkan kalimat yang menggambarkan kerinduan mereka untuk bisa kembali ke sana.
Tradisi oleh-oleh haji Banjar, dari pisau Herder hingga foto digital, adalah cerminan kelindan antara sakralitas dan realitas sosial. Di balik oleh-oleh tersimpan logika pertukaran yang mempertautkan individu, komunitas, dan tanah suci. Dalam setiap pisau yang dipakai kala Idul Adha atau foto yang dipajang, tersirat upaya menjembatani pengalaman spiritual dengan identitas kultural. Dengan demikian, oleh-oleh haji bukan sekadar kenang-kenangan, melainkan simpul yang mengikat memori kolektif masyarakat Banjar akan Mekah dan Madinah, baik sebagai tempat ibadah maupun simbol status.