Puasa Asyura adalah puasa yang dilakukan setiap tanggal 10 Muharram. Puasa ini biasanya dilakukan bersamaan dengan puasa sebelumnya (puasa Tasua) atau puasa setelahnya.
Pada zaman pra Islam, disebutkan bahwa masyarakat suku Quraisy telah melakukan puasa tersebut. Hal ini disebutkan oleh Aisyah dalam salah satu riwayat hadis yang dicantumkan dalam kitab Sahih Bukhari karya Imam al-Bukhari:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُوْمُ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَى فُرِضَ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْهُ.”
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa saat zaman jahiliyah dahulu orang-orang Quraisy melaksanakan puasa Asyura. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtetap memerintahkan umatnya untuk melaksanakan puasa tersebut. Sampai turun kewajiban puasa Ramadhan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagi yang ingin, silakan puasa, bagi yang tidak puasa juga tidak mengapa.”
Hadis tersebut menujukkan bahwa walaupun Asyura telah dilakukan oleh orang Quraisy sebelum Islam datang, namun bukan berarti puasa Asyura adalah perbuatan bid’ah karena dilakukan oleh orang kafir. Hal ini karena puasa Asyura sudah diakomodir oleh Islam lewat sabda Rasulullah SAW di atas.
Lebih lanjut, Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa kebiasan masyarakat Quraisy pra-Islam tersebut disandarkan pada ajaran pendahulu Nabi Muhammad SAW, yakni Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As. Sebagaimana tradisi haji yang mereka lakukan juga bersumber dari kedua nabi pendahulu Rasul SAW tersebut.
Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Minhaj yang merupakan kitab penjelas dari Sahih Muslim menyebutkan bahwa sebelum diturunkannya kewajiban puasa Ramadhan, puasa ini memang sering dilakukan oleh kaum Quraisy, bahkan Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa puasa tersebut wajib sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, sedangkan para pengikut Imam as-Syafii menjelaskan bahwa puasa Asyura masih sunnah sebagaimana di zaman sekarang.
Ibn Mas’ud, salah satu sahabat Rasul SAW pernah berkata, “kunna nashumuhu, tsumma taraka,” (kita melakukan puasa Asyura, kemudian meninggalkannya). Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memaknai bahwa perkataan Ibn Mas’ud tersebut bukan bermakna meninggalkan puasa tersebut selamanya, akan tetapi maksudnya adalah puasa tersebut tidak selamanya harus dilakukan, karena puasa tersebut bukan wajib.
Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa puasa Asyura ini dianjurkan (mustahab). Mengingat dalam sabdanya tersebut Rasul memberikan kesempatan orang lain untuk melakukan atau meninggalkan.
Wallahu A’lam.