Surga itu milik Allah Swt, bukan milik manusia. Yang punya hak untuk memastikan seseorang masuk surga atau tidak itu mutlak hanya Allah Swt, melalui amal perbuatan yang baik dan cocok menurut Allah Swt. Manusia hanya dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan untuk meraih ridho dan rahmat Allah Swt.
Semua apa yang kita perbuat di dunia ini tidak ada jaminan akan diterima atau tidak oleh Allah Swt. Apalagi hanya bergantung pada penilaian manusia. Bahkan ketika kita mengorientasikan ibadah karena surga, sebagian ahli sufi mengkategorikan sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Lantas apa yang harus kita perbuat di dunia ini. Tak lain dan tak bukan berperilakulah sesuai dengan koridor syariat, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengekang.
Anehnya akhir-akhir ini surga seolah-olah milik manusia, seolah-olah mereka punya hak penuh atas surga. Yang sangat menjengkelkan dan bikin geram adalah menjadikan surga sebagai alat politik, sebagai alat untuk meraup kekuasaan dan jabatan. Surga itu sebenarnya bukan milik mereka yang hanya bicara soal agama dan tuhan. Apalagi bicara soal politik yang sarat dengan materialistis.
Kisah yang tak asing lagi adalah Imam Al-Ghazali dan seekor lalat: Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nashoihul ‘Ibad menulis tentang seseorang yang berjumpa Imam Al-Ghazali dalam sebuah mimpi. “Bagaimana Allah memperlakukanmu?” Tanya orang tersebut.
Imam Al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu persatu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.
“Aku (Allah) menolak itu semua!” Ternyata allah menampik berbagai amalan Imam Al-Ghazali kecuali satu kebajikan saat bertemu dengan seekor lalat.
Ketika Al-Ghazali hendak menulis sebuah kitab yang dikarangnya tiba-tiba ada seekor lalat datang menghampirinya. Lalat tersebut dengan pelan-pelan masuk ke dalam wadah tinta. Al-Ghazali yang dikenal dengan orang yang santun penyayang tentu beliau membiarkan lalat tersebut minum karena Al-Ghazali tahu bahwa lalat tersebut pasti haus.
Kemudian Allah memerintahkan Al-Ghazali dalam mimpi itu “Masuklah kamu bersama hambaku ke surga”.
Berangkat dari kisah ini, kira-kira perbuatan apa yang pantas kita andalkan menuju Allah. Sementara kita terus-terusan sibuk mengkapling seseorang ini surga, ini neraka, mengintimidasi seseorang dengan ayat-ayat perang. Al Ghazali yang sudah kaya dengan prestasi tidak bisa menghantarkan dirinya ke surga. Apalagi kita yang tiap hari hanya ngurus perbuatan orang sana-sani.
Perbedaan dalam politik dan sudut pandang jangan dianggap sebagai perpecahan, melainkan sebagai kekuatan dan tonggak persatuan. Jangan karena perbedaan politik dan sudut pandang lantas kita sangat berhak mengahakimi seseorang dengan label surga dan neraka. Jangan karna tak seiman dalam politik lantas kita berhak mengecap kafir. Perbedaan itu rahmat, setiap rahmat pasti akan memberikan kedamaian. Akan tetapi jika perbedaan itu dianggap laknat maka tunggulah kehancuran.
Masih ingat saat Umar bin Abdul Aziz memberi komentar menarik, “Saya tidak suka kalau para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab kalau mereka hanya memiliki satu pendapat, tentu manusia akan berada dalam kesempitan, padahal mereka itu adalah paara pemimpin yang dijadikan panutan oleh umat. Kalau ada seseorang mengambil salah satu dari beberapa pendapat sahabat yang ada, maka ia berada dalam keluasan.” Ini salah sau contoh wujud demokrasi.
Dalam pusaran politik banyak para elit politik mendadak jadi ustad, sebaliknya ustad mendadak jadi politikus. Ketika itu terjadi, pola dakwah yang mereka tontonkan nampak kaku dan tak mencerahkan.
Dengan pengelabuhan seperti itu, tentu mereka sangat lihai dalam mempolitisasi surga sebagai alat politik dengan dalil-dalil yang siap saji (fast food). Pola prediksi melalui sekumpulan dalil untuk menyatakan apa yang sedang dan akan terjadi telah tersurat dalam ajaran agama dan belaku final.
Dengan berbekal ajaran Ali bin Abi Thalib yang melansir “Ballighu ‘anni walau ayah” sampaikan tentang diriku yaitu kebenaram walaupun satu ayat. Kalangan politikus setengah ustad itu mereplikasi ajaran keagamaan secara kuantitatif-simplikatif, meskipun tidak memahami apa esensi dan substansi sebuah ajaran yang patut disampaikan kepada publik.
Padahal setiap kebenaran yang lazim disampaikan harus berimplikasi pula pada adanya tanggung jawab pencerahan kepada pihak lain agar sebuah pesan keagamaan tersampaikan, dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sosial.
Memang sulit untuk mencari da’i professional, hampir semua ustad lebih-lebih yang ada di media hasil request dan serba instan. Tidak lulusan pondok pesantren yang sarat dengan nilai-nilai islam berdasarkan kitab salaf.
Maka tak heran jika ada ustad dadakan dan politikus dadakan, karena di situ ada semacam kepentingan yang mendesak untuk menaikkan daya tawar dirinya di hadapan publik.
*Artikel ini bisa juga di baca di sini gubuktulis.com media komunitas asal Malang