
Kemunculan potongan video seorang penceramah dengan cerita-cerita ajaib mendulang banyak komentar pro dan kontra di media sosial. Potongan-potongan video tersebut kini menjadi konten yang banyak disamber netizen. Bukan karena substansi konten yang bagus, melainkan lebih bernuansa peyoratif dan satir. Video-video ceramah ajaib itu kini menjadi bahan olok-olokan sebagian kelompok.
Lalu, sejak kapan style dakwah dengan cerita ajaib dan mistik ini mulai berkembang di Indonesia? Apa saja latar belakangnya? dan Mengapa style dakwah seperti ini tidak lagi digandrungi masyarakat modern, bahkan malah terkesan menjadi bahan lelucon sebagian konten kreator?
Dakwah Mistik, Upaya Dai Tune In dengan Tradisi dan Budaya Nusantara
Sejarah dakwah Islam di Indonesia menunjukkan adanya penyesuaian yang luar biasa antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Islam, yang masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan interaksi budaya, tidak mudah untuk diterima begitu saja dengan pendekatan formal. Oleh karena itu, para wali dan ulama menggunakan pendekatan yang lebih adaptif dan inklusif untuk menarik hati masyarakat. Salah satu pendekatan yang terbukti sangat efektif adalah dakwah mistik.
Menurut M. C. Ricklefs dalam “A History of Modern Indonesia” (Palgrave Macmillan, 2008) dakwah mistik berawal dari ajaran tasawuf yang dibawa oleh para pedagang dan ulama pada masa penyebaran Islam di Jawa dan Sumatra. Ajaran tasawuf mengajarkan pencapaian kedekatan dengan Tuhan melalui pengalaman batin dan pembersihan jiwa, yang sering kali melibatkan praktik-praktik meditatif, dzikir, dan ziarah ke tempat-tempat keramat. Pendekatan ini menarik perhatian masyarakat karena menyentuh dimensi spiritual yang lebih mendalam, jauh dari sekadar kewajiban ritual.
Mengapa mereka bisa lebih relevan dengan tradisi dan budaya di Nusantara? pertanyaan ini mungkin terjawab oleh temuan A.H John yang dikutip Ricklefs, yang menyebut bahwa hal ini ada kaitannya dengan migrasi masal para sufi ke Indonesia melalui jalur perdagangan setelah runtuhnya Baghdad oleh Mongol pada abad ke-13. Untuk membuktikan hal ini memang belum ada literatur yang menyebut terkait persaudaraan Sufi, namun Ricklefs menyebut bahwa Islamisasi di Nusantara, khususnya di Jawa lebih dipengaruhi unsur mistis dan sufisme, meski ortodoksi sudah ada sebelumnya.
Selain unsur budaya, Ricklefs menambahkan bahwa kemampuan holy man yang memiliki kekuatan supranatural lebih mudah diterima oleh kalangan kerajaan seperti Majapahit, yang mungkin memandang pedagang (sebagai penyebar Islam) tidak setara dengan mereka.
Dongeng, Cerita Ajaib, dan Kemampuan Mistik demi Mendulang Loyalis
Salah satu karakteristik dakwah mistik adalah penggunaan cerita-cerita ajaib yang mengandung pesan moral dan spiritual. Dongeng-dongeng ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran agama dalam bentuk yang lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Keajaiban-keajaiban yang diceritakan dalam kisah-kisah tersebut memberikan pesan bahwa Islam bukan hanya tentang hukum dan peraturan, tetapi juga tentang kemampuan untuk mengubah hidup dan menemukan kedamaian batin.
Salah satu cara dakwah mistik yang paling efektif adalah melalui penguatan spiritual para pengikut melalui dongeng dan kisah-kisah ajaib tentang kemampuan mistik seorang dai atau ulama. Para wali atau ulama dalam tradisi dakwah mistik sering kali digambarkan memiliki kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang biasa, seperti kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, atau bahkan melakukan perjalanan ke dunia gaib.
Cerita-cerita ini tidak hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi juga untuk memperkuat iman dan memperdalam rasa loyalitas masyarakat terhadap ajaran yang disampaikan oleh dai atau ulama tersebut. Selain itu, cerita terkait kemampuan luar biasa ini memberikan dampak psikologis yang mendalam, karena pengikut merasa bahwa ajaran yang mereka terima adalah sebuah jalan yang nyata dan efektif untuk memperoleh kedamaian dan keselamatan. Seorang messenger perlu memiliki kemampuan di luar nalar manusia yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sakti dan tumpuan masyarakat. Sehingga masyarakat yang jadi pengikut mereka akan merasa terhubung dengan pemimpin yang memiliki kemampuan luar biasa, memperkuat ikatan emosional dan spiritual mereka. (Max Weber, The Sociology of Religion).
Pendekatan seperti ini memiliki efek ganda: pertama, meningkatkan loyalitas pengikut karena mereka merasa dekat dengan tokoh yang mereka hormati, dan kedua, memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan, karena mereka percaya bahwa kemampuan mistik yang dimiliki oleh para dai atau ulama tersebut adalah manifestasi dari kedekatannya dengan Tuhan. Hal ini disebutkan Mircea Eliade dalam The Sacred and the Profane. Ia menulis bahwa kemampuan luar biasa seorang tokoh spiritual dianggap sebagai manifestasi dari yang sakral, memperkuat keyakinan dan kedekatan pengikut dengan Tuhan. Dengan mengisahkan kisah-kisah tentang para ulama yang diberi keistimewaan luar biasa, para dai dan ulama tersebut tidak hanya menjadi pengajaran teoritis, tetapi juga menjadi figur yang dikagumi dan dihormati. Hal yang sama juga diungkap Sami Zubaida ketika ia menulis terkait konteks Islam dan politik di Iran dalam Islam, The People and The State. Ia menyebut bahwa kisah-kisah tentang tokoh-tokoh agama memperkuat rasa hormat dan kedekatan spiritual di kalangan pengikut.
Selain itu, kisah-kisah mistik ini juga memberikan pengikut rasa aman dan harapan. Mereka yang terlibat dalam kegiatan dakwah mistik sering merasa bahwa dengan mengikuti ajaran yang disampaikan, mereka akan mendapatkan bantuan dan perlindungan dari kekuatan gaib yang lebih tinggi. Ini menciptakan ikatan emosional yang sangat kuat antara pengikut dan dakwah Islam, memperkuat perasaan komunitas dan meningkatkan kepercayaan kepada pemimpin spiritual mereka. Jika pernah membaca Durkheim, ketika mendefinisikan agama, ia menyebut bahwa simbol-simbol sakral, termasuk tokoh dengan kemampuan luar biasa, berfungsi untuk memperkuat kohesi sosial dan identitas kolektif pengikut (Durkheim, The Elementary Form of Religious Live). Meskipun definisi Durkheim terkait agama ini merujuk pada gereja, namun sejatinya teori ini masih cukup relevan jika dikaitkan dengan Islam.
Unsur mistik berperan penting dalam memperkenalkan konsep Islam yang lebih inklusif, tidak hanya sebagai agama yang mengatur aturan hidup, tetapi juga sebagai sistem spiritual yang dapat membawa kedamaian batin dan keajaiban-keajaiban yang dapat dirasakan secara langsung oleh pengikutnya. (Robert W. Hefner, Islam in an Era of Nation-States, University of Hawai, 1997)
Mengapa Dongeng Mistik Kini Jadi ‘bulan-bulanan’ (Netizen)?
Di dunia modern, unsur mistik yang pernah menjadi pilar utama dalam membangun kepercayaan dan kesetiaan pengikut terhadap tokoh agama semakin tidak relevan. Perubahan sosial, teknologi, dan kemajuan ilmu pengetahuan mengubah cara pandang masyarakat terhadap dunia spiritual. Dalam masyarakat modern, banyak individu yang lebih mengedepankan rasionalitas dan bukti empiris dalam menjalani kehidupan sehari-hari, yang sering kali menentang praktik mistik yang dianggap tidak rasional.
Masyarakat modern cenderung lebih mengedepankan pemahaman rasional dan kritis terhadap agama, yang mengarah pada pengurangan pengaruh praktik mistik yang lebih sering ditemukan di masyarakat tradisional. Masyarakat modern yang mayoritas rasional ini jauh berbeda dengan kondisi saat Islam pertama kali masuk ke Nusantara, ketika unsur mistik memiliki posisi yang siginifikan dalam membantu menyebarkan ajaran agama, dengan pengaruh tokoh-tokoh agama yang memiliki kemampuan luar biasa dalam masyarakat yang masih sangat bergantung pada dunia gaib.
Ditambah, para pembelajar agama sekarang adalah masyarakat modern yang lebih banyak dilatarbelakangi oleh kelompok teknokrat atau ilmuwan, yang lebih mengutamakan pendekatan ilmiah dan rasional dalam memahami setiap hal. Seperti yang saya amati, masyarakat ini memiliki kecenderungan untuk menilai hal-hal yang bersifat spiritual dengan standar rasional dan ilmiah. Generasi Y dan Z yang menjadi mayoritas saat ini juga cenderung lebih rasional.
Dakwah salafi yang menekankan anti-mistik mendapat relevansi yang besar dalam konteks ini, mengingat banyak kelompok ini lebih memfokuskan diri pada pemurnian ajaran agama tanpa campuran unsur-unsur kepercayaan yang dianggap tidak rasional. Konsep purifikasi ini semakin memperoleh tempat di kalangan kelompok masyarakat modern. Kelompok ini menolak pengaruh mistik yang sering kali diasosiasikan dengan amalan keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam.
Kelompok-kelompok keagamaan yang bersifat fundamentalis, seperti Salafi, berusaha untuk mengembalikan agama pada praktik dan ajaran yang lebih murni, dengan menolak kepercayaan yang dianggap sebagai penyelewengan dari teks-teks suci. Pandangan ini semakin relevan dalam konteks masyarakat modern yang lebih skeptis terhadap fenomena mistik, karena mereka lebih mendasarkan keimanan pada teks dan tafsiran yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Nah, beginilah agama, setiap cara memiliki masanya, setiap tokoh memiliki zamannya. Dengan membaca beberapa penjelasan di atas, seharusnya kita mengerti bahwa dalam sejarah dakwah di Nusantara, dongeng ajaib dan mistisme adalah hal yang tidak bisa dilepaskan. Namun, dakwah juga harus menyesuaikan zaman. Di kelompok masyarakat modern yang lebih rasional, pendekatan dongeng mistis seperti masa lampau juga tidak relevan jika masih terus-terusan digunakan.
(AN)