
Tumben-tumbenan Kang Jalidin pagi-pagi datang ke rumah. Suaranya berisik memanggil-manggil saya, seolah ada sesuatu yang gawat.
“Sini, Mad, penting ini,” katanya, begitu melihat saya muncul di pintu. Saya menyalaminya dan menemaninya duduk di teras. Ia segera mengeluarkan handphone dari sakunya. “Sambungkan ke wifi-mu, Mad,” katanya, lebih terdengar sebagai perintah daripada permintaan. Saya menurut kemudian menyerahkan hp itu. Kang Jalidin buru-buru menggulir-gulir layar mencari konten yang tampaknya telah menyibukkan pikirannya.
“Tidak ada acara, kan? Hari Minggu waktunya istirahat.”
Saya senyum saja. Naga-naganya bakal jadi Minggu yang berat ini, batin saya.
“Ada gosip baru apa, Kang?” Saya mencoba membelokkan pembicaraan. Ia mengabaikan godaan saya. Jempol dan pikirannya masih sibuk ke layar handphone-nya.
“Lihat ini, Mad,” katanya sambil menyodorkan hp-nya, menunjukkan beberapa kompilasi video. Isinya tentang seseorang yang karena disarankan agar belajar sunah agar hidupnya lebih tenang dan islami.
Ia menuruti saran itu dan belajar tentang wudu. Dicarinya video-video seputar pelajaran wudu. Dari satu ustad ia mendapat penjelasan bahwa rukun wudu itu ada 6. Ustad di video lainnya menyebut ada 3, sementara dari ustad lainnya ia mendapat penjelasan bahwa rukun wudu itu jumlahnya hanya ada 2.
Karena bingung dengan penjelasan yang berbeda-beda, pemilik konten akhirnya memutuskan untuk menyerah. Dari ekspresinya seolah ia hendak mengatakan bahwa dengan sunah nyatanya ia makin bingung, bukannya jadi tenang.
“Nah, ini lagi,” Kang Jalidin terus membombardir saya dengan temuan-temuannya yang sebenarnya sudah lama beredar di dunia maya. Kali ini tentang poligami. Satu ustad menjelaskan bahwa poligami adalah syariat yang harus dilaksanakan. “Siapa lagi kalau bukan kita, pembela sunah yang akan melaksanakan syariat tersebut,” terdengar suara lantang si ustad dalam video.
Lalu, ustad lain menyebut kalau mau berpoligami yang sesuai sunah harus memberi tahu istri. Minta restu dan izinnya. Tapi video berikutnya justru menyerukan kebalikannya, “Tidak perlu izin”. Lalu kedua penjelasan yang bertolak belakang itu diputar ulang berkali-kali sehingga terdengar seperti perbantahan yang menggelikan.
“Nah, ini Mad,” katanya kemudian. Hpnya dimatikan. Dia kemudian menjadi serius. Saya tidak bisa lain kecuali hanya mendengar dan mengikuti saja arah pembicaraannya, seperti seorang karyawan kepada bosnya.
“Dakwah itu bagus. Saya tidak menyangkal itu. Mereka tentu ingin mengajak kepada kebaikan. Tapi kalau simpang siur begitu kan jadi kacau,” kata Kang Jalidin kemudian. Saya belum berani menyela.
“Apalagi orang-orang ini berbicara dengan mengatasnamakan Nabi,” Kang Jalidin tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dan kemarahannya.
“Bukannya perbedaan pendapat semacam itu sudah biasa, Kang? Pemahaman dan tafsir orang terhadap hadis Nabi bisa berbeda-beda,” saya mencoba menanggapi.
“Iya. Karena itulah jamaah harus diberi pengertian mengapa perbedaan-perbedaan itu terjadi, agar mereka memahami batas dan tidak main klaim atau menyerang orang lain. Tapi ustad-ustad itu tidak melakukannya. Saya pikir mereka tidak berusaha mengajak orang untuk berpikir,” kata-kata Kang Jalidin tiba-tiba menyentak seperti biasa.
“Apakah adil kalau Kang Jalidin baru melihat beberapa potongan video lalu berkesimpulan jauh seperti itu? Bisa saja kesimpulan itu karena Kang Jalidin termakan oleh framing yang dibuat oleh pembuat video,” saya mencoba meredakan emosinya.
“Iya sih. Video-video yang aku tunjukkan ke kamu itu memang potongan, Mad. Tapi aku sudah berusaha melihat beberapa videonya yang panjang. Dan kesimpulanku untuk sementara ini tetap sama.”
“Jangan galak-galak gitu to, Kang,”
“Kamu kan belajar hadis juga to, Mad. Belajar hadis itu perlu tahu dasar-dasarnya. Misalnya, mulai pengertiannya. Apa itu hadis, apa itu sunnah? Apakah hadis itu otomatis jadi sunnah? Hal-hal begitu penting diketahui. Tapi yang begitu justru jarang sekali kita dengar diajarkan di video-video mereka,” Kang Jalidin makin serius. Saya manggut-manggut saja, teringat penjelasan guru ketika sekolah dulu.
“Teori-teori semacam itu kan jadi terlalu serius kalau diajarkan di forum pengajian besar, Kang?”
“Tergantung cara mengemasnya juga, Mad. Saya kira para ustad itu pasti paham caranya. Jamaah itu juga perlu dikenalkan bagaimana hadis dipahami oleh ahli hadis dan ahli ushul. Bagi ahli hadis, misalnya, semua hal yang terkait dengan Nabi dianggap hadis. Sebaliknya, bagi ahli ushul hadis itu terbatas pada riwayat-riwayat tentang Nabi yang terkait dengan hukum. Begitu kan?”
Saya manggut-manggut saja. Sebab dalam pembelajaran hadis yang pernah saya ikuti memang demikian. Perbedaan pandangan tentang definisi hadis itu yang selanjutnya menjadi sebab mengapa sesuatu yang dikaitkan kepada Nabi disikapi berbeda. Ada yang menganggap itu harus diikuti sebagai sunnah tapi ada yang menganggapnya tidak perlu karena tidak mengandung hukum. Misalnya tentang kebiasaan Nabi berpakain, cara Nabi memotong kuku dan kebiasaan-kebiasaan lainnya.
“Nah, pengertian semacam itu saja memiliki arti akibat yang luas. Dengan begitu orang tidak gampang bicara dengan mengatasnamakan hadis,” lanjut Kang Jalidin.
“Belum lagi soal-soal lainnya. Seperti hadis dhaif dan sebagainya. Itu kan persoalan yang pelik. Untuk menentukan apakah sebuah hadis itu dhaif atau bukan perlu kajian panjang. Mulai meneliti kualitas tiap rawi hingga membandingkan dengan hadis lain. Dan kesimpulannya juga bisa berbeda. Menurut ulama A itu dhaif, menurut yang lain hasan, yang lain sahih. Nah, kita kan masih sering tidak paham mengapa sebuah hadis diangggap dhaif? Bagian mana yang membuatnya dhaif? Bagaimana kalau ada hadis lain yang menjadi penguatnya? Tapi gaya kita seperti paling paham soal hadis. Iya, kan, Mad?”
Saya senyum-senyum saja menanggapi pertanyaan retoris Kang Jalidin.
“Sayangnya, meski ada persoalan-persoalan penting semacam itu, banyak majelis yang lebih memilih model tanya jawab saja. Mereka menuliskan beratus-ratus pertanyaan dan semuanya dijawab dengan begitu mudahnya oleh sang ustad. Luar biasa mereka itu. Ha ha ha…,”
“Jamaah memang butuh jawaban praktis, butuh kepastian, Kang,”
“Bukan praktis. Itu adalah akibat dari cara mereka yang tidak mengajari berpikir, sehingga persoalan-persoalan sederhana yang jawabannya bisa dipikir sendiri atau dicari jawabannya di buku atau internet mesti mereka tanyakan di forum pengajian,”
“Lalu menurut Kang Jalidin baiknya bagaimana?”
“Bagi orang awam seperti kita sederhana saja, Mad. Ajari dasar-dasarnya, jelaskan bahwa ini adalah pandangan versi kita, kalau memang ada beda dengan pandangan lain terangkan alasannya, tanpa perlu menyalahkan dan merasa pandangan kita paling benar, paling sesuai sunnah dan yang lain pasti salah. Dengan begitu kita akan belajar memahami pendapat orang lain dan tidak buru-buru anti dengan pendapat yang berbeda,” terangnya.
Dari dalam rumah terdengar istri saya memanggil. Mungkin ingin menawari minum atau nyamikan. Atau ia mulai gelisah karena saya tidak kunjung selesai. Padahal pekarangan belakang belum disapu dan ayam-ayam di kandang belum sempat saya kasih makan.
“Kang Jallidin, mau kopi atau teh?” Akhirnya saya punya alasan untuk berganti topik setelah sekian lama mendengar gerutuan dan curhatannya.
“Kopi saja, Mad. Bilang sama istrimu, sekalian sarapannya, kalau sudah siap,” katanya sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Wah, bakalan berlanjut lagi ini acaranya.